Oleh: Wahjudi Djaja*
Lahir dari setting yang berbeda, latar pendidikan yang tak sama dan karakter yang bertolak belakang, disatukan visi untuk membangun negeri. Lalu, berkolaborasi saling memperkuat dan melengkapi selama memimpin revolusi, saling mencarikan solusi bagi permasalahan negeri.
Ketika pecah kongsi, persahabatan yang berakar di hati tak berhenti. Begitulah, Bung Karno dan Bung Hatta, adalah anugerah besar bagi bangsa ini. Kombinasi terbaik sepanjang zaman, antara dua pribadi yang lahir dan ditempa kolonialisme, menjadi Dwitunggal yang legendaris: solidarity maker yang fenomenal dan administrator yang ulung.
Konstelasi berubah. Sukarno menguat, seiring gerak langkah PKI yang lihai mengatur posisi. TNI kian menepi saat ada bias ideologi. Lalu, surat pun dia tulis kepada Ketua DPR Mr. Sartono:
“Merdeka, bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi.”
Bagi Hatta, di negara yang menerapkan kabinet parlementer, Kepala Negara sekedar lambang saja dan Wakil Presiden tidak diperlukan. Hatta bersikukuh: “Sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia tamat, setelah UUD 1950 menetapkan sistim kabinet parlementer”.
Sukarno menguat dengan Demokrasi Terpimpin-nya, hal yang lama diingatkan dampaknya oleh Hatta. “Demokrasi Terpimpin tujuannya baik, tapi cara dan langkah yang hendak diambil untuk melaksanakannya kelihatannya malahan akan menjauhkan dari tujuan yang baik itu.”
Bagi Hatta, dengan susunan DPR di mana semua ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi Terpimpin Soekarno–menurut Hatta–menjadi suatu diktator yang didukung oleh golongan-golongan tertentu.
Begitulah, Dwitunggal telah tanggal, tetapi hubungan pribadi keduanya tetap hangat. Di Wisma Yaso 20 Juni 1970. Di sebuah kamar yang bau dan jorok, dua orang paling berjasa dalam memerdekakan bangsa ini menangis sambil berjabat tangan erat. Ada sesuatu yang menyesakkan dada. Hingga Hatta berkata pelan penuh kesedihan:
“Bagaimana kabarmu, No”
“Hoe gaat het met Jou?”
Kata Bung Karno dalam bahasa Belanda dengan nada pelan: Senang bisa bertemu denganmu. Kedua pendiri bangsa itu menangis saling berpandangan tanpa berkata lebih jauh. Ketika kepentingan politik tak bisa toleran pada rasa kemanusiaan, air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Itulah pertemuan dan perbincangan terakhir Bung Hatta dan Bung Karno, ketika Bung Karno mengalami tahanan rumah rezim Soeharto. Keinginan yang dia sampaikan kepada Ali Sadikin (Gubernur DKI) untuk melihat Monumen Nasional kebanggaannya untuk yang terakhir kalinya pun tak kesampaian. Keesokan harinya, 21 Juni 1970, anak didik HOS Tjokroaminoto, inisiator Gerakan Non Blok, bintang Konferensi Asia Afrika, itu pergi selamanya.
Hatta bersaksi tentang teman seperjuangannya, “Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini”
Dwitunggal yang fenomenal dengan beragam peran yang monumental. Berkat usul pemuda Sukarni, dua tokoh pendiri bangsa itu tertera namanya pada teks Proklamasi. Itu menjadi arsip abadi yang permanen. Entah berapa abad lagi bangsa ini melahirkan Dwitunggal seperti mereka, atau tidak sama sekali.
Ksatrian Sendaren, 1 Desember 2023
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



