Oleh: Wahjudi Djaja
Hari ini 3 Januari 2024 Taufik Abdullah genap berusia 88 tahun. Dalam istilah Jawa disebut delapan windu (sewindu ada delapan tahun). Lahir di Bukit Tinggi Sumatra Barat pada 1936, ilmu dan kepakarannya tentang sejarah dan humaniora tak pernah diragukan baik di dalam maupun luar negeri. Sebuah teladan penuh dedikasi yang layak dijadikan inspirasi.
Ada tiga titik kisar saya sebagai alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (FIB) UGM dengan Taufik Abdullah, baik secara intelektual maupun personal. Pertama, kecintaan pada sejarah mendorong saya yang di SMA masuk jurusan A1 (Fisika) masuk ke Fakultas Sastra. Sejak kecil narasi kesejarahan memang dekat dengan kehidupan pribadi saya. Baik melalui peran Ayah (alm) maupun rumah milik Eyang yang pernah menjadi kademangan di Tegalrejo Bayat Klaten. Pernah disinggahi Jenderal Gatot Subroto saat revolusi kemerdekaan dan Jenderal Poniman saat membuka AMD. Kesadaran sejarah sejak dini membuka langkah yang mendekatkan diri pada ilmu sejarah. Jika di almari sekarang banyak kliping tentang sejarah, banyak di antaranya ditulis Taufik Abdullah, adalah kewajaran semata.
Kedua, konsekuensi logis dari hobi membuat kliping itu adalah terbangunnya cakrawala berpikir berbasis sejarah. Jika skripsi yang saya tulis dan selesaikan pada 1995–Bahasa dan Nasionalisme: Peran Bahasa Melayu Dalam Perjalanan Keindonesiaan 1900 sampai 1945–itu antara lain banyak terbantu oleh tulisan Taufik Abdullah di berbagai media. Memilih tema itu jelas memerlukan keberanian mengingat banyak teman lebih memilih sejarah lokal seperti perang dan bambu runcing. Di satu sisi itu terkait Sejarah Intelektual atau Sejarah Pemikiran, di sisi lain memerlukan perluasan pemahaman tentang sastra dan bahasa sebagai media tumbuh kembang nasionalisme. Kecintaan pada ranah sastra budaya nampaknya memberikan perisai yang tangguh saat kesulitan menyelesaikan skripsi menghampiri. Dalam konteks itu, banyak artikel Taufik Abdullah yang memberikan suplai inspirasi, teori dan gagasan, selain mendiang Ben Anderson dan Mochtar Pabottingi. Dua dosen menjadi pembimbing saya, Prof Suhartono dan Dr Kuntowijoyo.
Saat mengerjakan bagian akhir skripsi, Taufik Abdullah menulis artikel Sketsa Sejarah Sekitar Harkitnas: 20 Mei Kebangkitan Berarti Pencarian yang Kreatif (Kompas, 20/5/1995) sungguh melegakan. Dalam artikel itu dia membandingkan secara tajam dua model gerakan, Budi Utomo dan Perhimpunan Indonesia. Mengutip pidato Hatta, “Budi Utomo tak beranjak dari dasarnya yang semula yaitu organisasi para cendekiawan Jawa. Sedangkan PI meskipun tetap organisasi mahasiswa, telah berubah dari asosiasi sosial menjadi gerakan politik nasionalis yang radikal“.
Ketiga, dalam kedua latar itu pertama kali saya bertemu dengan Taufik Abdullah di Solo saat digelar Konferensi International Association of Historians of Asia (IAHA) pada 6 Juli 2012. Saat itu saya memimpin redaksi Penerbit Ombak yang memang memiliki spesifikasi menerbitkan buku-buku sejarah dan humaniora. (Doa tulus untuk yunior di kampus dan senior saya di penerbitan, almarhum M. Nursam, pemimpin Penerbit Ombak). Bertemu idola, dosen dan Guru Besar tentulah sebuah kebanggaan. Belum model selfie, kami sengaja bawa kamera untuk mengabadikan momen berkelas bagi sejarawan dari berbagai negara itu, termasuk berfoto bersama Taufik Abdullah.
Kualitas pemikiran yang melampaui sekat regional ditunjukkan oleh Taufik Abdullah. Alumni UGM (1961), Universitas Cornell tahun 1970 dengan disertasi berjudul School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra. Penguasaan pada detail dan lokalitas menjadi dasar pemikirannya sehingga sering menjadi referensi dan rujukan lintas waktu. Menapaki karier sebagai seorang peneliti sampai menjadi Ketua LIPI (Ahli Peneliti Utama) adalah sebuah pencapaian yang inspiratif dan mengagumkan.
Keberaniannya memperluas sayap sejarah dengan pendekatan antropologis–bergerak dari lokalitas ke spektrum regional yang lebih luas seperti perhatiannya pada studi sejarah Asia Tenggara–mendorongnya berkiprah lebih luas. Saat dianggap “berkhianat” pada Sejarah, kepada Kompas (28/7/1991) Taufik Abdullah menjawab, “Saya tidak berkhianat. Cuma saya tidak mau jadi sejarawan bodoh. Masalahnya, kalau sejarah dalam artian yang sederhana tapi teknis, bukan filsafat, itu kan kisah tentang hari lalu“.
Baginya ilmu sosial memiliki tiga wajah, yakni ilmu sebagai technocratic science untuk rekayasa sosial, ilmu sebagai kritik sosial seperti diperankan Sudjatmoko, dan ilmu sebagai academic exercise dimana harus bergumul dengan teori. Dalam konfigurasi ketiganya, Taufik Abdullah memainkan peranannya.
The Fukuoka Asian Cultural Prize yang diberikan padanya tahun 1991, adalah bukti bagaimana peranan dan pengaruh keilmuannya. Lebih dari 30 buku telah berhasil ditulis. Berhadapan dengan sejarawan, peneliti, dan pengembang ilmu sosial humaniora ini rasanya seperti menyelami kedalaman samudera. Tak pernah terlibat dalam urusan politik praktis, tetapi tak pernah meleset saat ditanya tentang peta dan konfigurasi politik. Itulah karakter seorang ilmuwan peneliti sejati.
Sejarah kini seolah terpinggirkan dari kurikulum pendidikan kita. Bukan mata pelajaran yang penting saat UAN menjadi orientasi para siswa. Jika Mahaguru Sejarah FIB UGM Sartono Kartodirdjo pernah menulis, satu-satunya cara melacak identitas sebuah bangsa adalah dengan sejarah, entah bagaimana bangsa ini menapaki dinamika kehidupannya. Generasi muda yang kian abai dengan sejarahnya adalah gejala krisis identitas yang memprihatinkan.
Selamat ulang tahun Tuanku Pujangga Diraja. Semoga dikaruniai panjang usia, penuh berkah dan manfaat bagi bangsa dan negara. Aamiin
Ksatrian Sendaren, 3 Desember 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



