112 Tahun RM Dorodjatun: Sultan Bangsawan Negarawan

Oleh: Wahjudi Djaja*

Rumah saya dekat dengan Selokan Mataram. Setiap hari selalu diingatkan pada karya monumentalnya yang dibangun tiga tahun setelah naik tahta. Seorang raja muda yang sangat dipercaya ayahandanya untuk melanjutkan tampuk kekuasaan dan kejayaan Mataram. Seorang bangsawan yang sejak awal Republik telah menempatkan diri dalam jajaran kelompok negarawan.

Gusti Raden Mas Dorodjatun. Lahir pada 12 April 1912 di Dalem Pakuningratan yang berlokasi di Sompilan, Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Bangunan yang didirikan 1872 bergaya Jawa dan masih lengkap strukturnya. Mulai regol, kuncungan, pendapa, pringgitan, gandhok, dalem ageng dan gadri. Sebagian bekas rumah pangeran ini pernah digunakan untuk kampus Akademi, Seni, Drama dan Film (ASDRAFI). Banyak tokoh seni yang lahir dari kampus ini.

Selokan Mataram dan pembangunan jalan tol (Foto: Wahjudi Djaja)

Dididik dalam nuansa Barat, tidak dengan sendirinya tercerabut dari akar tradisi. GRM Dorodjatun justru mampu mengkombinasikan kepribadian Jawa yang kaya rasa simbolik dengan pola pikir Barat yang rasional. Lahirlah sosok bangsawan yang paham makna tahta dalam konteks kesejahteraan rakyat, sekaligus negarawan yang lihai menempatkan posisi kerajaan dalam bingkai keindonesiaa.

Visi dan komitmen di atas bisa dilacak dalam pidato penobatannya sebagai Sultan Yogyakarta. Setelah dinobatkan sebagai Putra Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 18 Maret 1940. Pidato penobatannya menjadi klasik:

Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa.

GRM Dorodjatun menjadi raja pada masa transisi. Belanda yang beratus tahun bercokol di Nusantara dan mengembangkan sistem penjajahan mulai kedodoran karena harus menghadapi realita agresifnya Jepang dalam menyapu dan menduduki kawasan Asia Tenggara. Di kalangan pejabat Belanda, GRM Dorodjatun–yang sejak kecil dipanggil Henkie karena ikut dalam keluarga Belanda–sangat dihormati. Selepas HBS Bandung pada 1930, Henkie ke Belanda dan kuliah di Jurusan Indologie Universitas Leiden, sekampus dengan Ratu Juliana. Namun, pada 1939 dipanggil pulang Ayahandanya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sejarah kemudian membuka ruang setelah Ayahandanya wafat pada 22 Oktober 1939.

Dinobatkan sebagai raja pada usia muda (28 tahun) bukan berarti hijau pemahaman dan pengalaman akan prinsip dan makna demokrasi. Sebagaimana isi pidatonya di atas–yang kemudian dilabeli Tahta Untuk Rakyat–GRM Dorodjatun mampu mentransformasikan kekuasaannya dengan indah dan bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. Meskipun masih hidup dalam cakrawala religio magis–seperti wisik yang beliau dengar menjelang penandatanganan kontrak politik dengan Gubernur Luciane Adam–GRM Dorodjatun mampu secara jitu memainkan peran selama transisi kekuasaan.

Keinginan Jepang untuk memobilisasi rakyatnya ditepis dengan taktis melalui pembangunan selokan yang menghubungkan Kali Progo di barat dengan Kali Opak di timur. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas dan orientasi kekuasaan. Selokan Mataram (Kanal Yoshiro) pun menjadi monumen terpanjang di dunia yang membuktikan kecerdikan Sultan HB IX dalam menghadapi invasi Jepang. Sebagaimana pejabat Belanda, para pemimpin Jepang pun segan padanya.

Saat mendengar berita proklamasi 17 Agustus 1945 sesegera mungkin mengirimkan ucapan selamat kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Bahkan sebulan kemudian mengeluarkan amanat yang visioner dan legendaris:

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat menjatakan:

Bahwa Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.

Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngayogyokarto Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876
HAMENGKU BUWONO IX

Sebagai penguasa kerajaan yang berdaulat, Ngarsa Dalem bisa dan boleh saja melanjutkan sistem monarkhi. Apalagi dengan jejak kebesaran Mataram yang masih terjaga, Yogyakarta tak bisa diusik oleh siapapun. Namun, di situlah letak visi kenegarawanan Ngarsa Dalem. Sinuwun paham betul bagaimana negara Indonesia didirikan dan kemana kekuasaan hendak diorientasikan. Oleh karena itu, amanat yang dikeluarkan dengan jelas menyiratkan bagaimana hubungan Yogyakarta dengan Indonesia. Bahkan, Sinuwun memerintahkan kepada kawulanya untuk taat dan patuh dengan negara yang baru saja didirikan.

Visi dan komitmen keindonesiaan Ngarsa Dalem tak pernah diragukan. Ketika NICA datang dan Belanda memanfaatkan kesempatan itu untuk memprovokasi Jakarta, Sinuwun segera ambil sikap untuk menawarkan Yogyakarta sebagai ibukota kepada Bung Karno. Konsekuensi logisnya, Sinuwun menanggung seluruh biaya dan anggaran bagi jalannya pemerintahan mulai 1946 sampai 1949. Bahkan dana kesultanan digunakan sebagai APBN pertama Republik Indonesia. Tanah, gedung dan sarana prasarana yang ada di Yogyakarta digunakan untuk kepentingan pemerintah. Tak boleh dilupa, Serangan Oemoen 1 Maret 1949 adalah ide beliau hingga membukakan mata dunia tentang Republik Indonesia yang dikatakan Belanda telah hancur.

Visi pendidikan dan nasionalisme yang ditanamkan Ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dijalankan betul oleh Ngarsa Dalem. Pagelaran kraton digunakan sebagai kampus Universitas Kebangsaan Gadjah Mada. Bisa jadi hanya Yogyakarta yang membangun asrama mahasiswa bagi putra putri bangsa. Dan itu adalah bukti visi Ngarsa Dalem yang ingin bangsanya maju, beradab dan dihormati bangsa-bangsa di dunia. Bukan berlebihan jika kemudian Yogyakarta dikenal sebagai miniatur Indonesia.

Ngarsa Dalem IX, Bung Karno dan Paku Alam VIII di Yogyakarta (Foto: ANRI)

Peran kesejarahan Ngarsa Dalem berlanjut selama pemerintahan Presiden Soekarno. Beragam jabatan dan kepercayaan diberikan sebagai bentuk kepercayaan atas kemampuan dan tanggung jawab kenegaraan. Saat transisi Orde Lama ke Orde Baru, Ngarsa Dalem adalah salah satu triumvirat bersama Soeharto dan Adam Malik. Bahkan kemudian menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1973-1978. Beliaulah yang meletakkan jatidiri Pramuka sebagai organisasi resmi di level pendidikan. Sinuwun menjabat Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama empat periode sejak 14 Agustus 1961 – 27 November 1974. Tak aneh jika 12 April kemudian ditetapkan sebagai Hari Bapak Pramuka Indonesia.

Dalam bahasa sejarawan UGM Djoko Suryo, Ngarsa Dalem adalah sosok yang berintegritas:
Untuk melangkah dari sikap feodal ke demokrat terletak pada integritas pribadi dan konsistensi berkorban HB IX yang mengagumkan. Integritas dan konsistensi pribadi beliau dalam berkorban demi negara dan bangsa telah teruji dalam tiga zaman, yakni zaman penjajahan, Orde Lama dan Orde Baru.
(Kedaulatan Rakyat, 8/11/1990)

Begitulah sekilas sosok bangsawan negarawan. Dicintai rakyatnya, dipercaya negaranya dan dihormati para pemimpin dunia. Bangsawan merakyat yang bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga ‘Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat itu wafat pada 2 Oktober 1988. Ribuan orang berjajar di tepi jalan sejak bandara Adisutjipto sampai kraton dan Imogiri. Beliau dimakamkan di Astana Saptorenggo Imogiri Bantul.

Keteladaban Ngarsa Dalem sangat terasa diperlukan ketika kita melihat elite politik yang hanya bisa berkuasa. Kita mengawali surplus politisi tetapi defisit negarawan. Semoga Sinuwun Kaping IX senantiasa damai dan bahagia di keabadian, amin.

Ksatrian Sendaren, 12 April 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co