123 Tahun Ir Soekarno: Bahasa Cendekiawan Menatap Penjajahan

Oleh: Wahjudi Djaja*

Lahir di Surabaya (6 Juni 1901), menjadi cendekiawan di Bandung (1921), ditangkap karena menggerakkan perjuangan di Yogyakarta (1929), menyampaikan pledoi pembelaan di landraad Bandung (1930), ditangkap kembali dan diasingkan ke Flores (1934), dibuang ke Bengkulu (1938), membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945), wafat dalam status tahanan rumah (21 Juni 1970). Apa yang bisa kita baca dari titik kisar perjuangan seorang Soekarno bagi bangsa besar dan kaya ini?

Perjuangan sebagai Jalan Hidup

Lahir pada masa penjajahan menghadapkan orang apalagi seorang bangsawa pada dua pilihan. Menikmati status penuh simbol dan kehormatan di bawah ketiak penjajah, atau, berdiri tegak sebagai Putera Pertiwi yang memandu anak-anak bangsa menapaki penderitaan. Soekarno–putera Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai–nampaknya mengambil pilihan kedua. Anak seorang guru memberinya peluang untuk bisa memahami realita bersendikan hati nurani. Jalan hidup mendekatkannya pada Haji Oemar Said Tjokroaminoto–teman ayahnya, guru politik bagi hampir semua tokoh pergerakan–seorang nasionalis yang paling dicari Belanda yang menjulukinya sebagai “De Ongekroonde Koning van Java” atau Raja Jawa Tanpa Mahkota.

Soekarno bukan lulusan STOVIA, tempat para bangsawan baru mengenyam pendidikan tinggi yang kemudian menjadi dapur bagi lahirnya Budi Utomo. Dia memilih Bandung, bukan berarti tak paham dengan dinamika pergerakan. Tetap aktif mengikuti pergerakan, bahkan menjadi eksponen Tri Koro Darmo–tiga tujuan mulia–yakni mempersatukan pelajar pribumi, menyuburkan minat pada kesenian dan bahasa nasional, serta memajukan pengetahuan umum untuk anggotanya. Perkumpulan ini muncul justru sebagai kritik atas elitisme Budi Utomo. Pada harian Oetoesan Hindia, Soekarno giat menyampaikan gagasan dan pemikiran melalui tulisan.

Penulis di Landraad Bandung

Bandung pelan-pelan menjadi dapur bagi tumbuh kembang nasionalisme. Sebuah kota yang tidak saja mempertemukannya dengan Marhaen–petani miskin yang menginspirasi lahirnya ideologi Marhaenisme–tetapi juga menyimpan beragam jejak perjuangan dan karya monumentalnya. Setidaknya masih tersisa lima bangunan karya Soekarno di Kota Bandung. Soekarno merasakan bagaimana kehidupan di penjara di Penjara Banceuy Bandung (dibangun Belanda pada 1877) bersama Maskoen, Soepriadinata, dan Gatot Mangkoepraja, tetapi dari kota ini pula Soekarno menghantam praktik kolonialisme dan imperialisme saat menyampaikan pledoi melalui tesis yang terkenal Indonesie Klagh Aan (Indonesia Menggugat) di depan Landraad (Pengadilan Pemerintahan Kolonial Belanda dibangun Belanda pada 1907).

Penulis di depan Gedung Merdeka tempat KAA

Kelak, pada 1955 Soekarno menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) yang menghasilkan Deklarasi Dasasila Bandung, sebuah roadmap bagi perjuangan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Latin Amerika dalam menghadapi penjajahan. Dari Bandung, ide Soekarno meluas memasuki relung kehidupan bangsa-bangsa di muka bumi yang masih terjajah. Semangat Dasasila.Bandung juga yang mendorong Soekarno menginisiasi lahirnya Gerakan Non Blok (1963) saat dunia terbelah akibat Perang Dingin.

Tulisan sebagai Media Perjuangan

Kelebihan Soekarno dibanding para pemimpin dunia lainnya, apalagi Indonesia, adalah ketajamannya dalam menghadirkan tulisan. Tidak saja terkonsep dengan amat baik, berlandaskan teori dan luas dalam menyampaikan pesan, tetapi juga disajikan dalam bahasa yang hidup dan menggerakkan. Bertebaran di berbagai media masa kolonial, hadir dengan penuh nyali, menjadikan Soekarno sosok cendekiawan tanpa bandingan. Selain dikumpulkan dalam dua jilid Di Bawah Bendera Revolusi, tulisan–kemudian pidato kenegaraan setelah memegang tampuk kekuasaan–dibaca dan dipelajari oleh beragam peneliti sejarah, politik dan kekuasaan.

Dalam Indonesia Menggugat (Penerbit SK Seno, 1951) Soekarno menulis tidak saja mencerahkan tetapi juga menyadarkan dan menggerakkan:
Maaflah, Tuan-tuan Hakim, kalau kami di dalam pidato ini minta Tuan-tuan punja perhatian sampai berdjam-djam lamanja. Maaflah pula, kalau kami disana sini mendalilkan beberapa dalil dari beberapa buku. Sebab, dalil-dalil itu perlu sekali untuk membuktikan kepada Tuan-tuan, bahwa apa jang kami utjapkan–terutama jang pahit dan getir–bukan isapan djempol kami sendiri, tetapi bersendi atas pengetahuan orang-orang bidjaksana dan tulus hati (p.12-13)

Membaca pidato pembelaan Soekarno tidak saja seperti belajar relasi kekuasaan dalam konfigurasi kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga dituntun memahami konstelasi politik dunia, aspek kesejarahan, filsafat, dan kisah pergerakan dunia dalam menghadapi penjajahan. Tidak ada tulisan yang tidak disertai referensi dan catatan kaki. Dari awal sampai akhir Soekarno menguraikan secara mendetail dan holistik beragam kasus dan konsep imperialisme dan kapitalisme, imperialisme di Indonesia, pergerakan di Indonesia sampai peranan Partai Nasional Indonesia (PNI) organisasi dimana Soekarno adalah pendirinya.

Sisa bastion penjara Banceuy

Tulisan, lebih dari sekedar untaian kata dan kalimat, adalah representasi pemikiran. Ia lahir dari proses dialektis dalam diri manusia dan mengendap menjadi konsep atau gagasan. Jika ditransformasikan ke dalam media–pidato atau tulisan–akan menggerakkan kesadaran. Menulis, apalagi bagi tokoh pergerakan sekelas Soekarno, jelas bukan hanya soal keterampilan berbahasa tetapi juga dilandasi visi tentang masa depan dan pesan yang menggerakkan. Dalam konteks ini, Soekarno mampu membahasakan dengan brilian apa itu imperialisme, kapitalisme dan nasionalisme–tanpa harus terjebak dalam sloganisme–menuju Indonesia merdeka.

Kemerdekaan, begitulah kami sering-sering terangkan di dalam rapat-rapat umum, kemerdekaan tidaklah bagi kami. Kemerdekaan adalah buat anak-anak kami, buat tjutju-tjutju kami, buat bujut-bujut kami jang hidup dikelak kemudian hari. (p: 102)

Kini, 123 tahun kemudian setelah Soekarno lahir, Indonesia telah merdeka. Apakah negara ini telah benar-benar memberikan hak kepada anak-anak dan cucu-cucu sebagaimana telah diamanatkan dan diperjuangkan Soekarno cs pada abadi silam? Benarkah kita telah benar-benar menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat lahir batin? Apakah para elite kita mewariskan tradisi menulis sebagaimana Soekarno meletakkannya sebagai media perjuangan sehingga senantiasa bisa dibaca dan dipelajari dari zaman ke zaman?

Ksatrian Sendaren, 6 Juni 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kasagama), Penulis Buku Biografi (Bilingual) Ir Soekarno.


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co