Nulada laku utama tumrape wong tanah Jawi. Wong agung ing Ngeksiganda Panembahan Senopati. Kepati amarsudi sudane hawa lan nepsu. Pinepsu tapa brata tanapi ing siyang ratri. Amamangun karyenak tyasing sesama.
Tembang Sinom mengalun syahdu dibawakan budayawan Wahjudi Djaja mengiringi seratusan anggota Komunitas Kandang Kebo. Siter dan rebab yang dimainkan Komunitas Kekandhangan membangun suasana menjadi hening. Mereka mengawali prosesi ziarah sekaligus kajian mengenai nisan tua yang berada di kompleks Makam Kyai Demakijo pada Minggu (25/2/2024) pagi.
Sesampai di makam tua yang terletak di dukuh Banyumeneng Banyuraden Gamping Sleman, dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Muh Yaser Arafat MA memimpin doa bersama. Setelah tabur bunga dilanjutkan kajian singkat hasil identifikasi atas nisan-nisan yang ada.
Dalam paparannya, Yaser menyampaikan, posisi makam sepuh biasanya berada di sisi utara pasarean (pemakaman). “Sebagaimana orang Jawa sampai sekarang, kalau membuat ancar-ancar mesti di utara. Makam wali Jawa juga berada di sisi utara sebagai pathok yang dalam istilah Arab disebut kutub. Tak aneh di Yogyakarta dikenal Masjid Pathok Negara di Babadan, Plosokuning, Mlangi dan Dongkelan”, tandas antropolog budaya materi ini.
Lebih jauh disampaikan, orang-orang yang dimakamkan di sisi barat masjid sering disebut Wali Pathok Negara. “Dari deretan nisan yang ada di utara ini, merupakan nisan paling sepuh yang oleh warga disebut Mbah Demakijo. Tinggi nisan 65 cm, dan baru saya temukan di makam Banyumeneng. Ini biasa dipakai di Jawa sekitar tahun 1400-1500. Jika dikurangi rata-rata usia orang sebelum meninggal 100 tahun, berarti beliau-beliau yang semare di sini sudah hidup pada tahun 1400. Bisa disimpulkan kampung Banyumeneng ini usianya sudah 600 tahun. Nisan ini buktinya”, tandas penulis buku Nisan Hanyakrakusuman ini.

Jenis nisan lain yang ada di kompleks makam itu juga ada yang berasal dari zaman Sultan Agung sampai Amangkurat sekitar 1600-an. “Inilah warisan peradaban yang tidak terkira harganya. Keunikan nisan makam Banyumeneng adalah ada ukiran sada lanang dan lambang purnamasidi yang melambangkan keahlian tertentu orang yang dimakamkan. Jika nanti ditemukan batuan nisan atau candi, tolong disimpan dan dilestarikan”, pesan pakar nisan kelahiran Medan ini.
Sementar itu Ketua Komunitas Kandang Kebo Dr Maria Tri Widayanti menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dukuh Banyumeneng yang memperbolehkan anggotanya meneliti nisan dari sisi arkeologis. “Tadi disampaikan peradaban Banyumeneng sudah 500-an tahun. Monggo kita rawat bersama agar bisa manjadi bukti sejarah keberadaan masyarakat Banyumeneng. Ini akan mendorong keingintahuan orang, kami berharap dijaga semaksimal mungkin agar tidak hilang apalagi rusak”, pesannya.
Salah seorang Pengulon Kraton Yogyakarta yang juga hadir, RM Rachmadi, menyambut baik dilakukannya kajian nisan. “Ada ratusan makam yang ada di Yogyakarta. Kami berharap Komunitas Kandang Kebo bisa membantu mengidentifikasi jejak leluhur. Selain menjadikan tahu diri, kita juga harus percaya diri. Modernisme menjadikan orang malu untuk ziarah atau nyekar ke makam. Kepada warga Banyumeneng kami minta dibuat papan nama Makam Kyai Demakijo agar diketahui masyarakat”, pintanya.
Hadir dalam acara itu Dukuh Banyumeneng Sidiq Wijanarjo AMd, Ketua Komunitas Kekandhangan Sutejo, Penasihat Komunitas Kandang Kebo Dr Minta Harsana dan warga Banyumeneng yang tengah melakukan besik makam. Selepas dari Makam Kyai Demakijo, Komunitas Kandang Kebo menuju ke Makam Somakaton Margokaton Seyegan Sleman.
(*)



