Bakda Pisan, Bakda Pindho, dan Kearifan Jawa Dalam Mengelola Perbedaan

Oleh: Wahjudi Djaja*

Ada fenomena budaya yang menarik selama Lebaran. Bukan dalam konteks perbedaan penentuan 1 Syawal, tetapi pada perayaan yang menyertainya. Salat Ied bisa dilaksanakan secara bersamaan, tetapi bakda (pasca, lebar) yang ditandai dengan tradisi ujung dilaksanakan pada hari yang berbeda.

Di pedalaman Klaten, mungkin juga di beberapa daerah, tradisi lebaran itu masih dilaksanakan sampai saat ini. Bahkan, juga saat digelar bakda kupat, merahapi hidangan dengan nasi ketupat, sayur rambak krécék atau opor ayam. Ini masih dilakukan di masyarakat dusun Gamping. Meskipun namanya dusun, tetapi Gamping mencakup dua kalurahan, yakni Tegalrejo dan Gunung Gajah, keduanya di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Uniknya, secara geografis keduanya hanya dipisahkan oleh sebuah sungai. Sehingga dikenal wétan kalén (timur sungai) dan kulon kalén (barat sungai).

Sejak zaman dahulu, kami yang tinggal di wétan kalén selalu melaksanakan lebaran pada hari pertama setelah salat Ied. Keluarga atau sanak saudara yang menerapkan bakda pisan (lebaran pertama) menggelar kenduri syawalan. Biasanya dilaksanakan di rumah Budhe Carik, seorang tokoh masyarakat yang rumahnya luas. Dipimpin oleh Mbah Modin (sekarang mungin kaum atau rois) tetapi nonstruktural. Setelah upacara kenduri syawalan, mereka pulang dan baru kemudian datang ke rumah untuk tradisi ujung, meminta maaf pada keluarga.

Pada kesempatan itu, masyarakat yang melakukan tradisi bakda pindho (bakda kedua) belum datang. Mereka masih asyik di rumah masing-masing untuk menyiapkan hidangan bagi lebaran keesokan harinya. Mereka–yang berasal dari Gamping (Gunung Gajah) dan Gunungan (Tegalrejo) baru datang ke rumah pada hari kedua lebaran. Secara bergelombang mereka datang ke rumah. Rombongan bakdo pisan datang pada hari pertama, rombongan bakdo pindho datang pada hari kedua. Semua berlangsung secara alami, bersahaja, dan saling menghormati. Tak ada saling sindir apalagi olok-olok. Tradisi ini mengakar dalam kehidupan masyarakat desa kami dari generasi ke generasi.

Tradisi bakdan adalah kearifan Jawa untuk sama-sama menapaki hari dan lembaran baru di bulan Syawal. Kohesi sosial masih hangat terjaga, saling mengunjungi di hari yang berbeda, demi saling menghormati. Dalam perkembangannya, bakda sepisan identik dengan warga Muhammadiyah, bakda kapindho identik dengan warga nahdliyin, meski tidak harus berlaku secara zaklijk atau kaku.

Lain lagi dengan perayaan bakda kupat, lebaran ketupat. Biasanya baru digelar pada hari ke tujuh. Warga masak besar setahun sekali pada saat lebaran untuk dinikmati keluarga dan sanak saudara. Bahkan tamu yang datang untuk ujung (minta maaf) pun dipersilakan untuk menikmati kupat. Fenomena ini serupa sedekah, berbagi rezeki untuk sanak saudara dan tetangga.

Perbedaan bakda justru menjadi jalan tengah bagi banyak orang. Hari pertama bisa merayakan bakda sepisan di rumah, hari kedua ke rumah mertua atau sanak saudara yang menggelar bakda kepindho. Tradisi itu dengan demikian menjadi mekanisme budaya khas Jawa yang adil berkeadaban. Bagi anak-anak perayaan bakda pisan dan bakda pindho jelas akan membuat mereka senang dan tidak repot. Mereka bisa mengatur jadwal ujung sesuai “peta ekonomi” terkait angpao.

Begitulah, masyarakat Jawa memiliki tradisi dan mekanisme budaya untuk mengatur dan memfasilitasi kepentingan warganya. Bila kemudian urusan penentuan 1 Syawal menjadi hiruk pikuk dan diributkan, sungguh kami tak bisa memahami. Sedemikian akutnya kepentingan (politik?) sehingga penentuan 1 Syawal diperdebatkan sedang bagi kami kapan pun salat Ied digelar tetap saja ada bakda pisan dan bakda pindho.

Selamat Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1445 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Ksatrian Sendaren, 11 April 2024
*Budayawan Sleman, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama).

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *