Easy Run Menyusur Sepenggal Sungai di Eropa (2)

Oleh: Anif Punto Utomo*

Mencicipi Romantisme Sungai Seine

Apa yang tidak boleh terlewatkan ketika berwisata ke Paris? Setiap googling mengenai wisata di Paris, lima besar lokasi wajib dikunjungi yang selalu muncul adalah Menara Eiffel, Museum de Louvre, Arch de Triomphe, Place de la Concorde, dan Notre Dame Cathedral. Tempat lain yang tidak wajib tapi sering direkomendasikan adalah Champs-Elysées, sebuah jalan yang dikenal sebagai La Plus Belle Avenue du Monde (jalan terindah di dunia).

Apakah lokasi wisata tersebut jauh dari sunga Seine? Begitu buka googlemap, ternyata kelima lokasi wisata tersebut bersisian dengan sunga Seine. Lokasi tepatnya hanya dipisah oleh jalan. Kebetulan sekali. Berarti lari pagi di Paris ini menyusur sungai sembari melihat landmark Paris berupa tempat-tempat wisata yang kata traveller tidak boleh dilewatkan.

Sungai Seine merupakan salah satu sungai terkenal di Eropa yang berkelok meliuk melintasi kota Paris. Seine menjadi saksi sejarah panjang perjalanan negara Perancis dan telah menjadi bagian penting dari kehidupan kota selama berabad-abad. Sungai ini menjadi lambang keindahan dan romantisme Paris.

Mencicipi romantisme Sungai Seine

Sungai Seine memiliki panjang sekitar 777 kilometer dan mengalir dari Plateau Langres di timur laut Prancis ke Teluk Biscay di Laut Atlantik. Namun, daya tarik utama dari sungai ini terletak di kota Paris, di mana Seine membentuk sebuah lengkungan yang membelah kota menjadi dua bagian: Rive Droite (sisi kanan) dan Rive Gauche (sisi kiri). Samping kiri dan aknan berupa pedestrian yang lebar sehingga nyaman untuk jalan atau lari.

Pagi itu, hari Senin 3 Juni 2023, ketika sebagian masyarakat Paris sedang bersiap-siap mengawali aktivitas saya sudah mulai melakukan peregangan di depan hotel di kawasan Medeline. Setelah pemanasan dirasa cukup, tepat pukul 06.30, sport watch saya pencet, running, berarti lari dimulai.

Malam sebelumnya rute sudah dirancang, dari hotel menuju Arch de Triomphe, kemudian ke menara Eiffel, lantas menyusur sungai Seine, dan menyeberang sungai di jembatan Pont de l’Alma. Dari situ menuju ke Champs-Elysées, lantas ambil arah kanan menuju Place de la Concorde, dan kemudian ke de Louvre sebagai terminal terakhir sebelum kembali hotel.

Sebetulnya hari sebelumnya sudah lari pagi dengan Lilies menyusur sungai. Tak begitu jauh, hanya sekitar 4,8KM, tetapi cukup untuk mencicipi romantisme sungai Seine.

Begitu tombol start dipencet, langkah kaki bergegas memulai perjalanan. Suhu udara sejuk cenderung dingin untuk ukuran orang Jakarta, sekitar 21 derajat selsius. Kondisi jalan masih relatif sepi. Rupanya lari di pusat kota Paris harus sering berhenti karena banyak perempatan. Sebagai warga yang baik, tentu tidak menyeberang manakala lampu merah, meskipun tak ada mobil melintas. Di jalan tak terlihat orang yang lari pagi.

***
Sekitar 25 menit sampailah ke Arch de Triomphe. Terlihat kokok dan megah. Monumen berupa gerbang yang dibangun pada 1806 oleh Napoleon Bonaparte ini didirikan untuk menyambut kemenangannya dalam pertempuran Austerlitz. Desain monumen ini ditangani oleh arsitek Jean-François-Thérèse Chalgrin.

 

Namun Napoleon tidak sampai selesai membangun monumen tersebut karena keburu jatuh pada 1814. Pembangunan sempat terhenti, dan baru pada tahun 1826, setelah Restorasi Bourbon, pembangunan dilanjutkan di bawah arahan Raja Louis-Philippe. Satu dekade kemudian pembangunan Arch de Triomphe selesai dan diresmikan pada 29 Juli 1836.

Monumen ini memiliki tinggi 50 meter dan lebar 45 meter. Arsitektur monumen terinspirasi oleh Arco di Tito di Roma dan Arco di Costantino, dan terdiri dari gaya klasik dengan ornamen dan relief yang menggambarkan momen-momen penting dalam sejarah Prancis. Setiap tahun pada tanggal 11 November, upacara Penghormatan Armistice diadakan di bawah kubah monumen untuk menghormati para korban perang Perancis. Armistice adalah kesepakatan formal para pejuang untuk mengakhiri sebuah konflik bersenjata

Jika kepengen lihat Arch de Triomphe tetapi belum punya kesempatan ke Paris, kita bisa bertandang ke Kediri, Jawa Timur. Di kota itu, pemerintah setempat membangun monument persis dengan Arch de Triomphe, lokasinya di Simpang Lima, Gumul, Kediri. Monumen berupa gerbang dengan ketinggian 25 meter itu mulai dibangun pada 2003, dan kemudian selesai langsung diresmikan pada 2008.

Setelah selfi-selfi sejenak, ‘perlarian’ dilanjutkan menuju menara Eiffel. Hanya beberapa ratus meter jaraknya. Menara tinggi sudah terlihat dari jauh, sehingga tanpa melihat peta pun sudah pasti mengarah ke Eiffel. Ketika menyeberang sungai Seini untuk mendekat ke menara, secara bersamaan datang rombongan wisata. Sepertinya mereka rombongan wisatawan pertama untuk hari itu. Suasana sekitar Eiffel masih sepi.

***

Menara Eiffel dirancang oleh seorang insinyur Perancis bernama Gustave Eiffel. Rencana awalnya dibuat untuk Pameran Dunia 1889 (World’s Fair 1889) di Paris yang diadakan di Paris sebagai peringatan 100 tahun Revolusi Perancis. Tujuan dari proyek ini adalah membangun monumen spektakuler yang akan menjadi pusat perhatian pameran.

Menara Eiffel yang menakjubkan

Konstruksi menara Eiffel dimulai pada tahun 1887 dan selesai pada 1889. Proses pembangunan melibatkan lebih dari 300 pekerja dan menggunakan sekitar 18.000 potongan besi yang disambungkan dengan sekitar 2,5 juta paku. Menara ini adalah prestasi rekayasa yang luar biasa pada masanya.

Eiffel memiliki tiga tingkat observasi yang dapat diakses oleh pengunjung melalui lift atau tangga. Tingkat puncak menawarkan pemandangan spektakuler Paris yang menakjubkan. Selain sebagai daya tarik wisata, menara ini juga digunakan sebagai pemancar radio dan televisi serta sebagai tempat untuk mengadakan acara-acara khusus seperti konser dan pesta kembang api. Sejak dibuka pada tahun 1889, menara Eiffel telah didatangi lebih dari 300 juta orang. Belakangan tak kurang dari 7,2 juta pengunjung per tahun.

Saya lari memutari setengah halaman menara Eiffel dan kemudian mengelilingi taman Champ de Mars yang berada di belakang. Dari taman terlihat menara begitu menjulang, megah dan kokok berdiri.

Sayang pagi itu taman terkotori sampah. Bisa jadi karena pagi belum sempat dibersihkan oleh ‘pasukan oranye’-nya Paris. Baik di rerumputan maupun di jalan sekeliling banyak sampah berserak. Ada dua tempat sampah besar sudah penuh tak mampu lagi menampung sampah.

Terlihat ada seorang berpakian kumuh membungkuk mengambil sesuatu. Pemulung. Ya pemulung. Hanya saja yang diambil bukan botol plastik melainkan logam. Pemulung itu memakai tongkat yang ada magnet diujungnya, jika ia melihat kilauan, ujung tongkat didekatkan, barang itu terambil. Saya tidak tanya barang apa yang dipungut, karena tampaknya pemulung itu enggan didekati. Mungkin yang diambil uang logam yang jatuh.

Setelah puas memandangi Eiffel, rute lari berikutnya adalah menyusur sungai Seine. Nah di sepanjang sungai ini cukup banyak orang-orang berolahraga, terutama lari. Ada kulit hitam, kulit putih, kulit kuning, kulit sawo matang, lengkap adanya. Ada yang larinya lebih pelan dari saya, tetapi banyak yang jauh lebih cepat.

Di tepi sungai bersandar kapal wisata dan kapal restoran. Kapal mulai beroperasi pukul 10.00 sampai 22.00. Pagi itu, crew masih terlelap. Kapal wisata akan mengantarkan wisatawan menyusur sungai sembari meihat landmark kota Paris. Kapal restoran juga sama, hanya bedanya di sini wisatawan berkeliling sambil makan, ada pilihan makan siang dan makan malam. Makan malam makin romantic karena bisa menikmati kilauan lampu Eiffel.

Saya hanya belasan menit menyusur pinggir sungai. Sekitar satu kilometre dari Eiffel saya menyeberang jembatan Pont de l’Alma. Jembatan ini dibangun pada tahun 1854 sebagai bagian dari pembangunan proyek urbanisasi di Paris oleh Napoleon III. Peristiwa terkenal terkait jembatan ini adalah ketika Putri Diana mengalami kecelakaan mobil di di terowongan di bawah Pont de l’Alma pada 31 Agustus 1997.

Dari jembatan saya mengambil jalan lurus menuju ke jalan Champs-Élysées. Nama Champs-Élysées secara harfiah berarti “ladang kebahagiaan” dalam bahasa Prancis. Jalan ini terletak di distrik ke-8 Paris. Jalan ini menghubungkan Place de la Concorde di sebelah timur dengan Arc de Triomphe di sebelah barat.

Sejarah Champs-Élysées dimulai pada abad ke-17. Pada awalnya, jalan ini adalah ladang dan taman yang digunakan sebagai tempat berburu oleh para raja Prancis. Raja Louis XIV mengubah area tersebut menjadi taman umum pada tahun 1667. Pada saat itu, Champs-Élysées masih terletak di luar batas kota Paris.

Pada tahun 1709, Champs-Élysées mulai diubah menjadi sebuah jalan dan dirancang sebagai jalan yang indah oleh arsitek André Le Nôtre. Jalan ini menjadi tempat populer bagi para bangsawan dan orang kaya Paris untuk berjalan-jalan dan bertemu. Pada abad ke-18, sejumlah kafe, restoran, dan toko-toko mewah mulai dibangun di sepanjang jalan ini.

Selama Revolusi Prancis, Champs-Élysées menjadi simbol kebebasan dan kesetaraan. Pada tahun 1789, Parade 14 Juli yang terkenal, yang memperingati jatuhnya Bastille, dilakukan melalui jalan ini.

Perkembangan Champs-Élysées sebagai pusat perdagangan dan hiburan terus berlanjut Banyak toko-toko terkenal, restoran, bioskop, dan teater dibangun di sepanjang jalan ini. Champs-Élysées juga menjadi tuan rumah sejumlah acara bergengsi, termasuk akhir Tour de France.

***

Ketika kaki menginjak jalan Champ Élysées, sudah banyak lalu lalang orang yang berangkat kerja. Di kiri dan kanan jalan berdiri toko-toko barang branded yang masih tutup. Resto-resto di trotoar mulai menyiapkan meja kursi. Dari titik itu menengok ke kiri terlihat Arch de Triomphe yang tadi saya lalui. Menengok ke kanan terlihat samar Place de la Concorde. Di situlah tujuan berikutnya.

Uff.. tenggorokan mulai kering. Sebelum melanjutkan lari saya teguk dulu air mineral yang selalu saya bawa ketika lari agak jauh.

Place de la Concorde adalah alun-alun yang menjadi saksi penting sejarah Perancis. Terletak diujung terletak di antara ujung jalan Champs-Élysées dan langsung terhubung ke Taman Tuileries yang indah. Alun-alun ini dirancang oleh arsitek Jacques Ange Gabriel pada tahun 1755 dan selesai pada 1772.

Pada awalnya, Place de la Concorde adalah tempat di mana patung Louis XV berdiri sebagai lambang kekuasaan kerajaan. Namun, selama Revolusi Prancis pada tahun 1789, patung tersebut dihancurkan oleh para pemberontak sebagai simbol monarki yang ditentang. Alun-alun ini kemudian berganti nama menjadi Place de la Révolution.

Pada tahun 1795, setelah Revolusi Prancis mereda, alun-alun ini berganti nama lagi menjadi Place de la Concorde, yang berarti “Tempat Persatuan.” Nama ini dipilih untuk menandai perubahan politik dari republik radikal menuju stabilitas politik yang lebih moderat di bawah Konsulat Napoleon Bonaparte.

Ketika melewati jalan Champs- Élysées yang mendekat alun-alun sudah terpasang bangku tribune untuk menyambut peserta Tour de France. Begitu juga di halaman Place de la Concorde, sudah terpasang pula tribune berikut tenda untuk tamu-tamu istimewa pada saat lomba balap sepeda itu mencapai titik finish.

Lebih dari separuh jalan sudah saya lalui, tepatnya sudah Km 9. Tujuan tinggal menuju museum Museum de Louvre. Sebetulnya bisa ambil rute kembali menyusur sungai untuk ke musem itu, tinggal belok kanan sekitar 300 meter sudah sampai sungai. Tetapi saya lebih memilih menembus taman Tuileries yang hijau teduh. Di tengah taman ada kolam dengan air mancurnya. Sambal selfi sempat duduk sebentar menikmati pemandangan taman.

Taman Tuileries dibangun pada abad ke-16 oleh Catherine de’ Medici, istri Raja Henry II dari Prancis. Catherine de’ Medici memerintahkan pembangunan sebuah istana di lokasi tersebut dan memperindahnya dengan taman bergaya Italia yang terinspirasi oleh Villa Medici di Firenze, Italia. Taman ini awalnya disebut “Jardin des Tuileries” karena sebelumnya merupakan tempat pembuatan genteng (tuileries).

Selama sejarah Prancis, Taman Tuileries juga menjadi saksi peristiwa-peristiwa penting. Pada masa Revolusi Prancis, taman ini menjadi tempat pertempuran dan konflik politik. Pada tahun 1792, taman ini menjadi tempat penahanan raja dan ratu Prancis, Louis XVI dan Marie Antoinette, sebelum mereka dieksekusi di Place de la Concorde. Pada tahun 1871, taman ini juga menjadi lokasi pertempuran selama Pemberontakan Komune Paris.

Sayangnya, pada tahun 1871, sebagian besar istana yang terletak di Taman Tuileries dihancurkan selama Pemberontakan Komune. Bagian istana yang tersisa kemudian dirobohkan pada tahun 1883. Namun, taman ini tetap dipertahankan dan dibuka untuk umum. Pada tahun 1991, Taman Tuileries bersama dengan Louvre dan Palais Royal dijadikan sebagai Situs Warisan Dunia Unesco.

***

Setelah selfi dan duduk-duduk di taman dirasa cukup, lari dilanjutkan ke Musem de Leuvre. Tidak jauh, hanya 400an meter. Matahari sudah menampakkan keperkasaan, panas mulai terasa. Sembari lari, saya teguk lagi air mineral secukupnya. Begitu sampai di museum, pelataran piramid kaca yang bergungsi sebagai pintu masuk sudah ramai orang. Tampaknya mereka menunggu pintu dibuka.

Museum Louvre merupakan museum terbesar di dunia. Hampir 35.000 benda dari zaman prasejarah berupa koleksi seni dan artefak hingga abad ke-19 dipamerkan di area seluas 60.600 meter persegi.

Piramida Museum de Louvre

Sejarah Museum Louvre dimulai pada abad ke-12 ketika struktur aslinya, yang dikenal sebagai Louvre, dibangun sebagai benteng oleh Raja Philippe Auguste. Louvre awalnya berfungsi sebagai benteng pertahanan sebelum bertransformasi menjadi istana kerajaan oleh Raja Charles V pada abad ke-14. Istana ini digunakan sebagai kediaman resmi oleh para raja dan ratu Prancis selama beberapa abad.

Pada tahun 1793, selama masa Revolusi Prancis, Louvre diubah menjadi museum publik oleh pemerintah Revolusioner. Ide ini berasal dari Konvensi Nasional yang memutuskan untuk membuka koleksi seni kerajaan untuk dinikmati oleh publik. Pada saat itu, koleksi seni yang dipajang terdiri dari barang-barang rampasan dari gereja dan bangsawan yang diambil selama Revolusi Prancis.

Salah satu karya seni yang paling terkenal di museum ini adalah “Mona Lisa” karya Leonardo da Vinci, yang menjadi daya tarik utama bagi pengunjung. Museum Louvre juga memiliki karya-karya seni terkenal lainnya yang mampu membius para seniman. Ketika sore harinya saya kembali ke museum dan masuk ke dalam. Dengan sedikit antre dan berdesak-desakan, saya sempatkan untuk berfoto bersama sang Monalisa.

Pada tahun 1989 di halaman tengah museum yang berbentuk U dibangun piramida kaca. Di tengah dibangun piramida besar dengan tinggi 21,6 meter, dan di empat sisi lainnya dibangun piramid dalam skala kecil. Ketika piramida dibangun oleh arsitek IM Pei, kritikan mengalir tak pernah henti. Penyebabnya, bentuk piramida kaca itu dianggap terlalu futuristik, tak cocok dengan museum Louvre yang kuno. Lagi pula bentuk piramida tak pernah ada di Perancis, itu adalah khas Mesir.

Namun sekarang piramida yang sekarang menjadi pintu masuk museum sudah melekat pada Louvre. Bahkan tak jarang datang ke musum itu hanya berfoto di depan piramida, apalagi di malam hari ketika lampu-lampu di piramida itu dinyalakan. Pemandangan menjadi kian indah.

***

Museum de Louvre menjadi titik terakhir lari pagi. Sebetulnya masih ada Notre Dame Cathedral yang berjarak sekitar dua kilometer, tetapi arahnya berbeda dengan arah pulang ke hotel. Lagi pula kathedal itu juga tutup karena kebakran yang melanda pada 15 April 2019, sehingga sampai sekarang masih tutup.

Rute lari kembali ke hotel tidak lagi menyusur sungai karena arah berlawanan. Rute mengambil jalan protokol yang sudah semakin ramai.

Sungai Seine makin menjauh. Tetapi pemandangan indah sungai Seine yang dikelilingi oleh bangunan bersejarah, jembatan cantik, dan tepian yang dihiasi rimbunan pepohonan takkan terlupakan. Semuanya menciptakan suasana yang ngangeni. Aura romantisme Sungai Seine tak pernah pudar.

Lari pagi yang sempurna, karena selain badan menjadi bugar juga dapat menikmati indahnya kota Paris. Sesampainya di hotel, kaos basah oleh keringat. Jarak tempuh menunjukkan angka 12,79 kilometer.

*Jurnalis Senior


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co