21 Juni 1970 Bung Karno meninggalkan kita. Tokoh yang padanya layak disebut Pahlawan Nasional Yang Utama ini mengakhiri kisah hidup dengan amat tragis. Dikucilkan dan dilarang menginjakkan kakinya di Jakarta. Bung Karno dipaksa tinggal di Istana Bogor, lalu dipindah ke Istana Batu Tulis Bogor dalam kondisi sakit parah.
Melalui Rachmawati, putrinya, Bung Karno mohon pada Pak Harto, penggantinya, untuk diizinkan kembali ke Jakarta. Boleh. Tapi, dia dikarantina di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala) dengan status “tahanan rumah”. Bung Karno bilang kepada Ali Sadikin ingin melihat Monas yang terakhir kalinya pun tak diizinkan rezim kala itu.
Penjagaan wisma itu teramat ketat. Tak seorang pun boleh menjenguknya, kecuali anak-anaknya. Dengan tubuh membengkak, karena tak berfungsinya ginjal, Bung Karno dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto Jakarta.
“Apa kabarmu, No?”
Sapa Bung Hatta, teman setia dalam perjuangan, penuh kesedihan saat menjenguknya. Air mata Bung Karno pun meleleh melihat kedatangan teman seperjuangannya itu.
“Hoe gaat het met joe…”
Senang bisa bertemu denganmu, balas Bung Karno lirih dalam bahasa Belanda. Kedua sahabat itu kemudian berjabat tangan erat lama sekali. Mereka mengenang saat bergandengan tangan menghadapi kolonialisme.
Akhirnya, 21 Juni 1970, tokoh dengan berderet jasa dan gelar itu wafat dalam status tahanan rumah. Bung Karno ingin dimakamkan di bawah pohon yang rindang di Jawa Barat, tempatnya mengenal petani Marhen. Namun, rezim Suharto melarang dan kemudian memakamkan Proklamator itu di Blitar, berdampingan dengan ayah bundanya.
Lulus dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB) Bandung dengan mengambil jurusan Teknik Sipil pada tahun 1926, Sukarno dikenal sebagai seorang nasionalis peletak fondasi kebangsaan, orator ulung dan pemimpin dunia yang disegani. Dua karyanya yang sangat menginspirasi dunia adalah Konferensi Asia Afrika di Bandung (1955) dan mendirikan Gerakan Non Blok (1961).
”Engkau dan kita sekalian mengalami cobaan yang besar dalam menentukan nasib kita sendiri, dan adalah memilih satu antara dua: ikut Musso dengan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin negara.”
Bung Karno pidato radio pada 19 September 1948 saat PKI semakin brutal mencoba merebut kekuasaan. Panglima Besar Sudirman kemudian memerintahkan Kol. AH. Nasution dengan Divisi Siliwangi untuk menyapu PKI Madiun. Bung Karno harus tegas bersikap. Nation yang dia dirikan dan perjuangkan diambang krisis yang menentukan nasib bangsa.
Sukarno lalu kita ketahui melenggang ke puncak kekuasaan menjadi Pemimpin Besar Revolusi melalui Demokrasi Terpimpin (1949-1965) hinggal tanggallah Dwitunggal bersama Bung Hata. Kedua sahabat itu berpisah haluan politik pada 1956 saat Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Namun, persahabatan kedua pendiri bangsa itu tak luntur meski beda haluan politik. Sebuah pembelajaran yang sangat penting bagi elite dan bangsa ini.
(Jay)
21 Juni 1970, Bung Karno Wafat



