Oleh: Wahjudi Djaja*
18 Februari 2001. Kota Sampit Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah mencekam. Konflik antar etnis Dayak dan Madura meletus dan mengakibatkan ratusan korban meninggal dan ribuan lainnya harus mengungsi. Ratusan orang diantaranya dipenggal kepalanya. Sebuah tragedi menyesakkan dada yang selayaknya menjadi pelajaran bersama.
Sebuah peristiwa tak pernah terjadi secara tunggal. Selalu ada rentetan kejadian sebelumnya yang menjadi sebab. Bisa ditarik ke masa kolonial Belanda, bisa pula dilacak dari kegagalan negara dalam merawat dan menjaga kebhinekaan dalam konfigurasi penuh kesetaraan dan keadilan. Bahwa masing-masing etnis memiliki budaya yang menjadi karakter, tentu bisa dipertimbangkan. Namun, jika Indonesia tak bisa lagi menjadi tamansari bagi tumbuh kembang keanekaragaman, konflik dan kekerasan etnis maupun sosial tinggal menunggu waktu.
Dalam bahasa Nasikun, mengutip Ignacio Ellacuria, kekerasan yang orisinal, yang menjadi akar dari semua bentuk kekerasan yang lain, tidak lain adalah kekerasan struktural berupa ketidakadilan struktural yang dilindungi oleh sistem hukum dan sistem kebudayaan yang tidak adil (ADIL, 15 Januari 1997). Dengan kata lain, konflik sosial tidak akan terjadi manakala negara memberi ruang yang setara dan berkeadilan.
Dialog dan temu aspirasi harus didahulukan sebelum keluar kebijakan. Memang dibutuhkan kesabaran dan kecermatan pada fase awal untuk melahirkan kebijakan yang benar-benar adil. Dalam konteks Sampit, imbas program transmigrasi yang telah dilaksanakan sejak tahun 1930an menyebabkan populasi etnis Madura mencapai 21%. Di sisi lain, hal itu melahirkan perasaan terdesak di kalangan etnis Dayak terkait sumber daya dan ruang-ruang ekonomi.
Pada 1997 pernah meletus kerusuhan di Sanggau Ledo (Pontianak). Menurut pengamatan antropolog Masri Singarimbun, hal itu disebabkan banyaknya kegetiran yang dirasakan suku Dayak. Mereka yang paling banyak merasakan dampak timber boom dari hasil kayu hutan. Kecemburuan sosial bukanlah rumor ketika hak yang diterima pendatang jauh lebih besar dari masyarakat asli (ADIL, 19/2/1997).
Indonesia masih akan bergerak ke masa depan. Latar belakang penuh kebhinekaan jelas harus menjadi perhatian negara. Masing-masing etnis memiliki akar budaya, baik di wilayahnya sendiri maupun di perantauan. Yang dibutuhkan adalah kesediaan negara memperhatikan aspirasi mereka dengan pendekatan dialogis kebudayaan yang proporsional. Kerusuhan dan kekerasan tak pernah akan bisa diselesaikan dengan kekerasan militeristik. Fanatisme bisa saja meledak dalam beragam ekspresi ketika satu sama lain merasakan ketidakadilan.
Kita berharap kepemimpinan nasional yang terpilih melalui Pemilu 2024 mampu mengobati luka, merawat kebhinekaan, dan bersama-sama membangun Indonesia dengan prinsip kesetaraaan dan keadilan. Pembangunan IKN kiranya perlu perhatian serius terkait dampak sosial, ekonomi dan budayanya bagi warga sekitarnya. Sejarah hanyalah catatan masa silam, tetapi tanpa kesadaran kebangsaan maka bisa jadi banyak anak bangsa akan kehilangan masa depan. Pilihan terbaiknya, mari rawat dan jaga tenun kebangsaan yang susah payah dianyam oleh para pendiri bangsa.
Ksatrian Sendaren, 18 Februari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



