Oleh: Wahjudi Djaja*
Jika ada penulis cerita yang mempunyai rekam karya lintas zaman dan selalu diperbincangkan khalayak bisa jadi dia orangnya. Karyanya tidak saja menjadi candu bagi pembacanya tetapi juga menginspirasi orang untuk mengenal dan mempelajari sejarah. Agung Sedayu, salah satu tokoh dalam Serial Api di Bukit Menoreh–karya monumentalnya–menjadi nama sebuah raksasa properti.
Singgih Hadi Mintardja atau akrab disapa SH Mintardja seolah dilahirkan sebagai perekam zaman. Seperti elang dia terbang dari gunung ke gunung menyinggahi lembah ngarai mematuk tema sejarah lalu dibawa terbang tinggi menaklukkan cakrawala yang luas. Bukan seorang sejarawan, tidak pula dilahirkan dari kampus sastra, tetapi patukannya selalu tepat dan inspiratif saat diubah menjadi tema cerita atau kisah. Sejarah memilih bulan Januari untuk dijadikan batas rentang kehidupan (26 Januari 1933-18 Januari 1999). Tetapi, kita bersaksi, 400-an buku dan berpuluh cerita lakon telah melampaui usianya. Serial Api di Bukit Menoreh menjadi yang terpanjang yang pernah ditulis oleh seorang pengisah.
Cara terbaik untuk membaca seorang SH Mintardja adalah dengan menelisik karakter dalam beragam etape kehidupannya sebagai inspirasi kita untuk berkarya. Berikut beberapa nilai karakter SH Mintardja yang bisa dijadikan motivasi.
Yang Ditekuni Akan Memberi
Berkarya dengan bekal mesin ketik untuk sebuah cerita panjang berkesinambungan hanya bisa dilakukan orang jika pada dirinya ada ketekunan. Benar kata Mahaguru Sejarah UGM Sartono Kartodirdjo, “Yang ditekuni akan memberi”. Pekerjaan atau tugas bidang apapun selama tak ditekuni hanya akan melahirkan kesia-siaan. Buang waktu, tenaga, pikiran dan kesempatan. Hobi sejarah, tekun menulis, kuat menjalani proses, pasti akan memberikan sesuatu pada hidup.
Umar Kayam–budayawan UGM–pernah bercerita bagaimana “nikmatnya” bengong di depan mesin ketik menunggu keluarnya ide cerita. Itu kemewahan tersendiri. Hidup sak titahe, sak madya, ora nggege mangsa, hanya bisa ditemukan saat berada di depan mesin ketik, bukan komputer atau laptop dengan jaringan internet. Otak dibiarkan mengeksplorasi ide atau gagasan tanpa terburu-buru dengan tetap mempertimbangkan autentisitas dan orisinalitas. Dan itu, lahir dari pribadi yang tekun, sabar, percaya diri. Kebiasaan itu juga mengasah sang penulis untuk sabar menjalani proses. Itu semua lahir dari kecintaan pada bidang yang digeluti.
Biarkan Imaji Terbang Tinggi
Bisa jadi SH Mintardja memiliki hobi membaca sejarah. Konon Babad Tanah Jawa telah dia kuasai. Berbeda dari Sartono Kartodirdjo yang menghadirkan sejarah sebagaimana diberitakan sumber, Mintardja sama dengan Umar Kayam memberi ruang pada imaji. Fakta sosial diangkat tinggi-tinggi bukan dalam konteks mengangkat sebuah kejadian atau tokoh, tetapi menghadirkan cerita dan tokoh baru. Sartono tidak berani bermain terlalu bebas dalam imaji, Mintardja memberi ruang luas, sedang Kayam membatasi imajinya dengan pendekatan lain.
Jika Sartono menempatkan imaji sebagai semen perekat batu bata pada sebuah bangunan, Kayam menjadikannya kerangka konstruk yang didirikan, maka Mintardja menempatkan imaji sebagai ruang baru yang hanya ada dan benar-benar hidup dalam bayangan. Itulah kenapa cerita yang disusun Mintardja seolah tak terbatas, tak pernah selesai sampai ajal menjemputnya.
Sejarah Itu (Ilmu) Hidup
Tak sedikit orang yang berpandangan bahwa sejarah itu ilmu mati. Masa lalu, apa yang bisa dipetik darinya? Betapa tak mudah mengedukasi bangsa ini bahwa pada masa lalu itu ada pengalaman dan pelajaran. Bahwa sejarah itu bukan kronik sejarah dengan tokoh, tanggal dan peristiwa di masa lalu semata. Sejarawan Kuntowijoyo menyebut dalam sejarah ada empat dimensi, yakni perkembangan, kesinambungan, pengulangan dan perubahan.
Mintardja boleh jadi tak pernah mengikuti kuliah sejarah, tetapi narasi cerita yang dia susun memberi pemahaman pada kita untuk belajar tentang (dan dari) sejarah. Tentang kesetiaan, perjuangan, harga diri, dan pengkhianatan boleh jadi seperti kata-kata klise, tetapi di tangan Mintardja menjadi kisah yang mengharu-biru dan menyedot perhatian. Orang menjadi terbuai, terkesima, dan menanti kisah berikutnya yang dia tulis di beragam media secara bersambung. Di tangan Mintardja, sejarah menjadi ilmu tentang hidup yang karenanya membuka ruang kontemplasi dan refleksi untuk menemukan sesuatu yang baru–energi, semangat, pemahaman, pelajaran dll–yang bisa dijadikan bekal.
Berkarya Itu Memberi Nilai
Menghadirkan tokoh atau peristiwa dalam sebuah karya adalah keniscayaan penulis cerita. Tetapi memberinya karakter yang senantiasa melekat dan membombardir pembaca dengan nilai, bisa jadi kelebihan Mintardja. Lihat bagaimana Mintardja menampilkan Mahesa Jenar yang penuh karakter saat menyampaikan penggal Kerajaan Demak. Tidak saja autentik–dalam pengertian ketokohan–tetapi juga leluasa dia tautkan dengan tokoh-tokoh besar yang ada dalam sejarah. Bukan hanya diselipkan sebagai penyambung cerita agar panjang tetapi menjadi warna tersediri.
Dalam setiap tokoh tidak saja berkarakter tetapi juga memberikan nilai bagi kehidupan. Orang atau pembaca menjadi memiliki pemahaman tentang kerajaan, pemerintahan dan lengkap peristiwa serta tokohnya sehingga mampu membangun kecintaan. Jika diorientasikan pada zaman sekarang, kita menjadi tahu bagaimana negara dioperasionalkan dan seperti apa sikap yang harus diberikan oleh warga negara. Itu sekedar contoh bagaimana Mintardja mampu menginspirasi pembacanya untuk aktif menggunakan imajinya dalam menghadirkan masa lalu.
Nilai dan karakter yang muncul dari diri Mintardja di atas, tentu hanya lahir dari tafsir atas karya dan rekam jejaknya. Setiap orang atau pembaca bisa jadi menemukan sesuatu yang lain. Itulah subjektifitas pembaca. Ia boleh secara leluasa menfasirkan karya Mintardja dan mengambil pelajaran atau pengalaman darinya. Itu sah dan mestinya memang begitu. Dengan demikian, karya-karya SH Mintardja menjadi ladang amal yang tak berkesudahan.
Akhirnya, terima kasih Pak SH Mintardja atas dedikasi dan totalitas dalam berkarya bagi masyarakat, kebudayaan dan peradaban. Semoga damai bahagia di keabadian.
Ksatrian Sendaren, 18 Januari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



