Oleh: Wahjudi Djaja*
Hari ini 12 Desember 2023 bertepatan dengan 29 Jumadil Awal 1957 tahun Jawa, pada 277 tahun silam, Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat resmi berdiri. Sebuah kerajaan bercorak Islam yang–oleh sejarah diberi amanah–menjaga api kebesaran Mataram. Menjadi simpul penting yang menandai perjalanan keindonesiaan.
Perang Suksesi menandai liciknya VOC dalam memecah belah Mataram. Beragam siasat digelar hanya agar bisa menaklukkan kerajaan agraris terbesar di Jawa ini. Perang saudara di kalangan internal Mataram membuka kesempatan Belanda untuk cawe-cawe. Tiga ksatria Mataram yakni Pangeran Prabusuyasa, Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Sambernyawa terlibat dalam konflik segitiga. Tanah Jawa membara. Klimaksnya terjadi setelah Pangeran Prabusuyasa (Paku Buwana II) wafat dan digantikan RM Suryadi (Paku Buwana III). VOC menggelar Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, membelah Mataram menjadi dua wilayah dengan batas Kali Opak (Prambanan).
Pangeran Mangkubumi yang memperoleh wilayah Mataram sebelah barat, kemudian berdiam (mesanggrah) di Pesanggrahan Ambarketawang. Setahun pendiri Kasultanan Ngayogyakarta itu tinggal di Ambarketawang, Gamping, Sleman sambil menunggu pembangunan kraton. Pada Kamis Pahing 7 Oktober 1756, raja yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I itu pun pindah (boyongan) ke desa Pacetokan yang kini menjadi Kraton Yogyakarta. 7 Oktober kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Yogyakarta.
Pemilihan dan perpindahan tempat–bagi orang Jawa–sangat penting untuk diperhatikan. Tanah (kisma) adalah faktor penting dalam kehidupan, sampai muncul ungkapan sadumuk bathuk sanyari bumi. Entah kebetulan atau memang dibimbing leluhur, Pangeran Mangkubumi menempati lokasi yang tidak jauh dari jantung peradaban Mataram yakni Kotagede. Di Alas Mentaok inilah Panembahan Senopati mendirikan Wangsa Mataram (1586-1613). Pusat kekuasaan kemudian pindah ke Karta
(1613–1645) dan Plered (1646–1680) di Bantul lalu Kartasura di Sukoharjo (1680–1745).
Jika kemudian Pangeran Mangkubumi lenggah dampar kencana menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I di wilayah Yogyakarta, tentu ada benang merah dengan leluhurnya. Apalagi pajimatan para nata (makam raja-raja) juga berada di Imogiri tepatnya di Yogyakarta sisi selatan. Dalam kaitan itu, saya pernah menulis opini di SKH Kedaaaulatan Rakyat (7 Oktober 2023) bertepatan HUT Kota Yogyakarta. Sebuah kota yang memiliki tujuh sungai sebagai karakter. Itulah yang disebut sapta sendavah (sapta artinya tujuh, sendavah atau sindu artinya sungai).
Nagari Ngayogyakarta atau akrab disebut Kraton Yogyakarta kemudian berkembang maju mengikuti dinamika sejarah. Belanda dan Inggris seolah belum puas jika belum bisa menguasai secara penuh wilayah Mataram sisi barat ini. Hal yang kemudian melahirkan perang silih berganti.
HB II harus berhadapan dengan Gubernur Jenderal Daendels. HB III melahirkan tokoh Perang Jawa Pangeran Diponegoro. HB IV yang masih belia harus menghadapi aneksasi Belanda. HB V harus menghadapi konflik internal. HB VI menghadapi gempa bumi dahsyat yang menghancurkan hampir seluruh simbol kraton. HB VII atau Sultan Sugih berhasil membangun 17 pabrik gula di wilayah Yogyakarta. HB VIII memiliki visi jauh dengan mendirikan sekolah dan mengirim anaknya, GRM Dorodjatun, sekolah ke Belanda. HB IX atau Raja Terpelajar dan Bangsawan Merakyat menjadi pilar utama tetap tegaknya Republik Indonesia. HB X memimpin Reformasi Damai pada 1998.
Dinamika sejarah sering hanya dimaknai sebagai catatan belaka. Timbul tenggelam dalam sejarah, menjadi tugas penting kaum sejarawan. Satu hal yang penting direnungkan, Yogyakarta telah memainkan beragam peristiwa penting dalam lembaran sejarah Indonesia. Kedudukannya sebagai Ibukota Revolusi (1946-1949) tidak saja fenomenal dan tak tergantikan, tetapi juga menyediakan narasi penting yang bisa dijadikan inspirasi. Tak terbayang apa yang akan terjadi jika pada 1 Maret 1949 TNI dan rakyat tidak menggelar serangan umum.
Belum banyak diungkap peranan Yogyakarta sebagai tuan rumah Konferensi Colombo Plan pada 26 Oktober sampai 14 Nopember 1959. Sebuah konferensi era Perang Dingin yang setara dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (KASAGAMA) pernah menggelar Seminar Tumbuk Ageng Peringatan Konferensi Colombo Plan pada 11 Nopember 2023 di Sonobudaya. Ini diikhtiarkan sebagai upaya awal untuk melacak peristiwa sejarah pada masa Orde Lama itu.
Sejarah akan terus berjalan mengikuti rel yang ditentukan Sang Pemilik Kehidupan. Dan Kraton Yogyakarta harus bisa menjadi oase, sumur inspirasi sekaligus pusat peradaban Jawa dalam arti sebenarnya. Semoga dengan keberadaan Kraton Yogyakarta bisa dijadikan pintu pembuka peradaban Mataram dan Jawa. Dari sanalah generasi penerus bangsa khususnya Yogyakarta akan memahami akar sejarah leluhurnya.
Nderek mangayubagya Pengetan Kaping 277 Hadeging Nagari Ngayogyakarta. Mugi tansah berkah sadengah lampah.
Rahayu
Ksatrian Sendaren, 12 Desember 2023
*Budayawan, Ketua Umum KASAGAMA (2022-2027)



