Yogyakarta, (29/6/2023)
Jika berwisata atau sempat singgah di Yogyakarta, ada salah satu destinasi wisata sejarah yang cukup populer. Akhir-akhir ini kembali menjadi perbincangan publik terkait rencana pembangunan jalan tol karena konon tepat berada di jalur sumbu imajiner.
Monumen Jogja Kembali yang akrab disebut dengan Monjali, destinasi wisata sejarah itu, memang terletak di tepi jalan ring road dan di samping jalan Palagan. Didirikan pada 29 Juni 1985 atas inisiatif Kol. Soegiarto, mantan Walikota Yogyakarta yang kebetulan salah seorang pelaku sejarah. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII. Selesai dibangun kemudian diresmikan Presiden Soeharto pada 6 Juli 1989. Berbentuk kukusan terbalik atau menyerupai tumpeng, simbol yang sangat dekat dengan budaya Jawa.
Monjali sengaja didirikan sebagai tetenger atau penandan kembalinya Yogyakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Belanda harus menarik seluruh pasukannya sebagai realisasi Perjanjian Roem Roijen. Seperti dicatat dalam lembaran sejarah, Yogyakarta menjadi ibukota RI sejak 6 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949. Selama itu, Belanda tak pernah berhenti melakukan provokasi, agitasi dan agresi untuk menjajah Indonesia kembali.
Salah satu peristiwa yang menyedot perhatian dunia adalah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang mampu mematahkan provokasi Belanda yang katanya RI telah tumbang. Dengan serangan itu, Belanda terpaksa harus mengajak berunding dan posisi Indonesia di mata dunia makin diperhitungkan. Kemanunggalan TNI dan rakyat mampu menahan kebrutalan Belanda. Tak ada pilihan, Belanda harus keluar dari Yogyakarta. Tetenger keluarnya tentara Belanda dari Yogyarkarta berada di depan Hotel Garuda berupa sebuah prasasti.
Secara bergelombang sejak 29 Juni 1949 para pemimpin negara berdatangan di bandar udara Maguwo (Adi Sutjipto). Bung Karno, Bung Hatta dan anggota kabinet kembali dari Sumatra. Demikian juga Sjafruddin Prawiranegara dan elemen Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Panglima Besar Jendral Sudirman pun turun gunung setelah berbulan-bulan mempimpin TNI gerilya di Pegunungan Seribu. Mereka kemudian disambut rakyat di Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta.
Itulah kisah singkat dibalik berdirinya Monumen Jogja Kembali. Sebuah peristiwa yang menandai kedaulatan negara. Saat begitu banyak “serangan luar” akhir-akhir ini akibat liberalisasi dunia, kita mengenang perjuangan para pendiri bangsa ini untuk menghalau setiap ancaman dari luar. Benarkah slogan “NKRI Harga Mati” itu masih memiliki makna untuk ditulis dan diteriakkan?
(Jay)



