Oleh: Wahjudi Djaja*
20 Januari 2024 Rocky Gerung tepat berusia 65 tahun. Lahir di desa Rambunan, Sonder, Minahasa, Sulawesi Utara, selepas SMP mengepakkan sayap keluar pulau Sulawesi menuju Jakarta. Tidak saja menjalani petualangan intelektual, RG juga mengalami pengayaan kepribadian. Dalam konteks mengaresiasi ide, gagasan, gerakan dan keberaniannya, tulisan singkat ini disajikan.
Beda Amien Beda Rocky
Meskipun “hanya” seorang sarjana S1–sama seperti pakar politik UI Arbi Sanit atau Ashadi Siregar pakar komunikasi UGM sekedar menunjukkan kualitas akademisi yang tak menuhankan gelar–rasanya tak ada yang menolak jika ada yang menyebut RG sebagai akademisi yang komplit. Sejak kecil menyukai matematika dan fisika, diwisuda menjadi seorang humanis dengan kompetensi filsafat. Pembaca buku yang aktif sekaligus pecinta alam dengan daya jelajah yang cukup mengagumkan. Aktivis demokrasi yang–dengan keluasan diksi sampai level detail–ini pernah menjadi bagian Forum Demokrasi, sebuah lembaga bonafide dalam menyuarakan hak asasi manusia era Orde Baru yang didirikan 17 Maret 1991.
Ada kesamaan antara Rocky Gerung (RG) dan Amien Rais (AR) terkait upaya membangkitkan kesadaran kebangsaan dan kenegaraan. Keduanya jualan gagasan dalam berbagai forum dialog dan diskusi dengan stamina yang kuat dan perjalanan yang panjang. Bedanya, AR nyaris tak pernah sarkas, sedang RG dikenal dengan kata-kata ekspresif yang vulgar. Keduanya–kemudian kita kenal–mengkritisi kekuasaan Presiden Jokowi dengan mempertimbangkan akal sehat dan kepentingan rakyat.
Dikenal sebagai cendekiawan muslim yang keras, AR sejak 1993 telah berjualan ide dari kampus ke kampus. Saat Sidang Tanwir Muhammadiya di Surabaya pada 11-13 Desember 1993, AR pertama kali melemparkan wacana perlunya segenap anak bangsa memikirkan suksesi kepemimpinan nasional pasca Soeharto. Tujuannya jelas, jangan sampai mengulangi sejarah transisi kekuasaan 1965-1966. Dengan bernyali AR mendatangi undangan untuk berbicara di hampir semua kota-kota besar di Indonesia di saat rezim Orde Baru sedang kuat-kuatnya. Buya Sjafi’i Maarif suatu kesempatan sampai berkata, “Orang ini sudah putus syaraf takutnya. Lebih keras dibanding orang Medan kalau bicara”. Berbicara dan berjualan ide sukssi kepemimpinan nasional sambil bergerak di berbagai forum sejak 1993 baru memperoleh momentum pada 1998 saat AR menjadi bagian penting gerakan reformasi yang meruntuhkan rezim Soeharto.
Jika orang sekarang bisa dengan mudah mengolok dan mendelegitimasi peran AR saat mengkritisi kekuasaan otoriter, tentu salah satunya karena sekarang ada banyak media bagi kebebasan berbicara. Faktanya, dulu tak banyak yang berani apalagi bernyali menyampaikan kritik–apalagi dilakukan oleh level pimpinan sebuah organisasi–terhadap otoritarianisme Soeharto. Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Azhar Basyir dan Ketua ICMI BJ Habibie merasakan betul bagaimana dampak gerakan AR sehingga harus mendapat tekanan Soeharto.
Dalam beberapa hal, itu juga dilakukan dan dialami oleh RG. Zaman atau kontekslah yang membuat keduanya terlihat berbeda. Tajam saat menulis artikel atau opini di media massa, RG menjelma menjadi bintang tidak saja di media online tetapi juga di forum-forum perdebatan. Melejit sejak berbicara di Indonesia Lawyer Club–pada 18 Januari 2017– yang dikomandoi wartawan senior Karni Ilyas, RG membombardir publik dengan tema, wacana, diksi, dan data yang nyaris tak pernah salah. “Beliau ini peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi”, kata Karni memperkenalkan RG pertama kali, hal yang tak pernah diulangi lagi oleh Karni karena RG langsung meroket di cakrawala pemikiran Indonesia kontemporer.
Rezim itu, kata RG di forum bertema Hoax vs Kebebasan Berpendapat itu, “Kalau terus menerus mengendalikan kebenaran, artinya ada kebohongan yang hendak disembunyikan. Itu dalilnya”. Setelah menguraikan etimologi siluet–Étienne de Silhouette, seorang menteri keuangan Perancis–RG membuat simpulan, “Hoax artinya informasinya nol atau lebih kecil dari nol. Jadi kebohongan itu ada standarnya”. Sejak saat itu RG mendidik–jika frasa ini boleh dilekatkan–bangsa ini untuk mengedepankan rasionalitas, akal sehat, dan kemerdekaan pikiran.
RG akhirnya, apa boleh buat, lebih besar dari ILC. Pengaruhnya meluas dan membesar sampai ILC berhenti tayang. Sampai 2023 masih banyak orang yang mencibir atau mengoloknya–bahkan ada yang mendatangi rumahnya–hingga menjelang Pilpres 2024 mereka tersadar tentang apa yang dulu disampaikan RG. RG benar. Dia menjadi rujukan debat, adu pemikiran dan gagasan serta bangkitknya kesadaran bersama.
Retorika dan Wacana
Tak mudah, memang, menjelaskan dan mendidik sebuah bangsa yang masih terjebak pada budaya tutur untuk benar-benar mau mengeskolorasi pemikiran berbasis sumber dan rasionalitas. Ada beragam alasan, tetapi depolitisasi yang masif dilakukan di ranah akademis nampaknya cukup berpengaruh. Tak ada lagi think thank di kampus dimana para dosennya aktif untuk menyuarakan aspirasi rakyat, HAM dan demokrasi. Semua seperti terkooptasi oleh kekuasaan yang menjadikannya status quo.
Dalam kondisi mental intelektual seperti itu, RG hadir dan berteriak dengan lantang. Dia mampu mengartikulasikan beragam kejumudan dan keterbelakangan dalam diksi yang khas. Dia dianggap bisa mewakili aspirasi rakyat, peran yang semestinya dilakukan oleh parpol. Orang sering menuduhnya sebagai seorang retoris belaka. (Yunani, rhêtôr, artinya teknik bujuk rayu dengan persuasi). Lupa bahwa istilah itu memiliki catatan sejarah panjang dengan beragam makna dan peran. Apa yang dilontarkan pun dianggap sebagai wacana atau diskursus semata. Orang lupa tentang peranan ide atau gagasan dalam studi Sejarah Pemikiran. Sejarawan Kuntowijoyo pernah menyampaikan, sejarah pemikiran itu bukan hanya tentang ide atau gagasan semata, tetapi juga bagaimana proses dan dinamika saat ide atau gagasan itu dibumikan atau digerakkan menjadi realita.
Bangsa dan negara ini lahir dari sebuah gagasan yang tiada henti dibumikan oleh founding parents–dalam istilah RG–melalui beragam gerakan dan organisasia. Indonesia adalah konsep baru yang menjadi norma supraetnik–menurut istilah Khaidir Anwar–yang mampu mengatasi sekat primordialisme. Nasionalisme yang digagas dan dioperasionaisasikan dalam beragam organisasi pergerakan nasional pun content-nya diambil dari jatidiri dan katakter bangsa, bukan mengadopsi begitu saja konsep Barat.
Kekuasaan Jokowi sudah di ambang batas. Apa yang digelisahkan dan disuarakan RG sejak 2017 seperti mendekati momentum. Entah soal mismanajemen pemerintahan yang melahirkan ketakadilan, sirkulasi kekuasaan yang tidak transparan dan akuntabel atau kerusakan lingkungan alam akibat eksploitasi oligarkhi. Adalah RG dari segelintir cendekiawan kita yang menguasai data vegetasi dan lanskap alam begitu detail sejak Aceh sampai Halmahera dan Papua. Semua dia dapat dari hobi dan ketekunannya naik gunung dan menyapa rakyat di berbagai penjuru Nusantara. Sebuah perjalanan dan pengabdian yang luar biasa dari seorang akademisi yang layak diteladani dan dihormati.
Sebagaimana pidato kebudayaannya pada 10 Nopember 2010 di Dewan Kesenian Jakarta, saya sepakat bahwa langkah terbaik dalam merawat Republik adalah dengan mengaktifkan akal sehat. Selamat ulang tahun ke-65 Bung Rocky Gerung, semoga senantiasa berkah, sehat dan memberi manfaat bagi bangsa dan negara ini.
Ksatrian Sendaren, 20 Januari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



