65 Tahun Sanggarbambu, Setia Memegang Filosofi Bambu

Oleh: Wahjudi Djaja*

1 April 1959 adalah hari lahir Sanggarbambu. Sebuah komunitas yang menjadi kawah candradimuka bagi banyak tokoh besar di bidang seni, sastra dan budaya yang mewarnai panggung kebudayaan nasional. Saya bukan siapa-siapa dalam gemerlap peran kesejarahan Sanggarbambu, hanya seorang pencinta sejarah dan dokmentasi budaya. Dalam batasan itu, saya membuat catatan 65 tahun Sanggarbambu.

Persentuhan pertama saya dengan Sanggarbambu terjadi saat peringatan 36 Tahun Purna Budaya. Kebetulan saya didapuk menjadi ketua pelaksana. Pada Pembukaan HUT Purna Budaya, Jumat 1 Maret 2013 pukul 15.00 dibuka rangkaian event seni sastra budaya dalam rangka 36 Tahun Purna Budaya (6 Tahun PKKH UGM). Ditandai dengan Pembukaan Pameran Lukisan GM Sudarta & Sanggarbambu di Ruang Pameran PKKH UGM Lantai 1 dan 2. Ada Celoteh Oom Pasiom, Geguritan Banyumasan dan Performan Art.

Pameran lukis Sanggarbambu di Purna Budaya (Foto: Wahjudi Djaja)

Yang kedua, saat peringatan 54 Tahun Sanggarbambu di Gedung Purna Budaya (PKKH) UGM 1 April 2013. Komunitas ini memang memiliki catatan sejarah yang fenomenal. Kata Bung Karno di Istana Bogor tahun 1967, “Apa yang dikerjakan Sanggarbambu, sudah benar”. Bahkan pelukis kaliber Affandi pun berkata, “Sanggar yang benar-benar sanggar di Indonesia adalah Sanggarbambu”.

Selain hari lahirnya, 1 April 1959, komunitas ini juga mempunyai catatan sejarah terkait ikrarnya yang senantiasa dijadikan bara perjuangan dan pengabdian. Bunyinya:
IKRAR SANGGARBAMBU:
Tanpa meninggalkan tradisi lama jang baik dan mungkin, Sanggarbambu:
Mejakini bahwa Pantjasila adalah sumber dan semangat perkembangan kebudajaan buat mengangkat deradjat manusia pada martabatnja, dimana manusia mewakili tjinta dan keindahan.
Mejakini satu perdjuangan buat perkembangan kebudajaan tersebut tidak terpisahkannja hubungan antar manusia dan pengabdiannja.
(Jogjakarta, 15 Desember 1963 djam 20.00)

Tiap kali ada acara Sanggarbambu, para anggota dan kerabat senantiasa menyanyikan lagu Hymne karya Kirdjomuljo dengan aransemen lagu FX. Sutopo:
Di sini aku temukan kau. Di sini aku temukan daku. Di sini aku temukan arti. Terasa tiada sendiri.
Pandanglah aku. Pandanglah aku. Aku bicara dengan jiwaku. Dan taruh hati padamu.
Di sini aku temukan hati. Terasa tiada sendiri.

Persentuhan ketiga, tahun 2016 ketika saya mengampu mata kuliah Dokumentasi Budaya di Prodi Kearsipan Sekolah Vokasi UGM. Saya memberi tugas Dokumentasi Budaya kepada mahasiswa dengan membuat biografi para tokoh Sanggarbambu. Sebuah tugas yang tak mudah, karenanya semaksimal mungkin saya dampingi mahasiswa dalam menyelami ruh budaya Yogyakarta melalui pintu Sanggarbambu.

Biografi karya mahasiswa Prodi Kearsipan SV UGM (Foto: Wahjudi Djaja)

Alhamdulillah, buku biografi itu selesai dan masuk menjadi koleksi perpustakaan kampus. Ada sekitar 60 biografi selesai disusun dari beberapa angkatan mahasiswa. Tokoh-tokoh seperti Sunarto Pr, Mien Brodjo, Tertib Suratmo, Djoko Pekik, Sitoresmi Prabuningrat, Liek Suyanto, Tegoeh Ranusastra, Iman Budi Santosa, Fadjar Suharno, Sudarso, Sudargono, Sawung Jabo, dll setidaknya bisa dicatat bagaimana peran, karya dan rekam jejaknya.

Saat begitu banyak sejarah–dalam ukuran mahasiswa Prodi D3 Kearsipan UGM–dicatat, muncul pertanyaan. Bagaimana manajemen Sanggarbambu digerakkan sehingga mampu menapaki zaman yang silih berganti dengan tetap terjaga bara dan karakternya?

Bisa jadi benar kata Guru Besar FIB UGM Prof Faruk HT saat ulang tahun ke-58 Sanggarbambu:
Letak kekuatan Sanggarbambu pada bambunya. Bambu bisa jadi cagak rumah yang keras dan lurus, tapi bisa juga melengkung jadi cagak umbul-umbul janur manten. Bambu juga bisa bertransformasi hampir tanpa batas, terus memperluas dan memperkaya diri.

Ngelmu Pring itu lentur dan fleksibel. Ia mampu beradaptasi dalam lingkungan yang ekstrim sekalipun. Jika angin kencang datang, ia akan meliuk-liuk mengikuti iramanya. Dari tunas (rebung), daun sampai batangnya bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Keberadaan dapuran bambu yang bersatu dan kuat ditopang dengan akar yang kukuh bahkan dalam menjaga tanah dari kemungkinan erosi. Nyaris tak pernah terdengar rumpun bambu roboh karena angin. Bisa jadi hanya air bah yang mampu menyeretnya ke dalam arus sungai lengkap satu dapuran.

Penulis bersama penyair Zawawi Imron melihat pameran lukis Sanggarbambu di Purna Budaya (Foto: Wahjudi Djaja)

Apakah demikian manajemen Sanggarbambu? Rasanya tidak salah. Sebagai komunitas ia bisa dimana saja, berpindah-pindah, tetapi keberadaan dan kekerabatannya menjalar sampai ke berbagai wilayah kota dan desa. Ia tak bisa dipandang sebagai organisasi yang modern, tetapi nyaris tak ada yang menyangsikan peran kesejarahannya. Dalam konteks keistimewaan Yogyakarta, itulah keunikan Sanggarbambu. Peran para personilnya telah dirasakan dalam tumbuh kembang kebudayaan, baik selaku pribadi maupun komunitas, tetapi mereka kemudian seperti slulum dalam arus deras zaman untuk kemudian muncul lagi dalam sebuah peringatan atau pameran.

Dirgahayu 65 Tahun Sanggarbambu. Tetaplah berkibar menapaki jalan sejarah sesuai karakter dan jiwamu. Jayalah selalu.

Ksatrian Sendaren, 1 April 2024
*Pegiat Budaya, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co