73 Tahun Linus Suryadi AG Jadi Bagian Ruwahan Ageng Kiai Panji

Oleh: Wahjudi Djaja*

Minggu pagi (21/1/2024) hujan datang pergi. Sebelum berangkat kerja bakti persiapan Ruwahan Ageng Kiai Panji yang akan digelar 29 Februari – 3 Maret 2024 di Padukuhan Karang Kepanjen, Trimulyo Sleman, ziarah ke makam sastrawan Linus Suryadi AG. Makamnya di Padukuhan Kadisobo I, Trimulyo tak jauh dari arena pusat ruwahan. Hening, sunyi, dan syahdu.

Dari Puisi Sampai Esai

Lahir di Kadisobo 3 Maret 1951 dengan nama Agustinus Suryadi dikenal akrab sebagai Linus Suryadi AG. Meski sempat kuliah, Linus tak pernah berhenti belajar dan mengasah keahliannya sebagai seorang sastrawan. Pernah bergabung dalam Persada Studi Klub (PSK) yang diasuh Umbu Landu Paranggi, Linus terus mengepakkan sayap imajinya. Menjadi redaktur Berita Nasional, mengikuti Program Menulis Internasional dan anggota Dewan Kesenian Yogyakarta. Menjadikan Malioboro sebagai kampus kehidupan–sebagaimana layaknya pionir sastrawan Yogyakarta era 1970-1980 dengan oase di Senisono dan Purna Budaya–Linus dekat dengan Umar Kayam, Bakdi Sumanto, Emha Ainun Nadjib, dll.

Sebagai seorang penyair, Linus tergolong produktif dengan puisi yang memiliki cakrawala luas.

Langit dan bumi bertangkupan
Pegunungan-pegunungan diam
Cuaca dingin. Udara pun basah
Bisik-bisik berkabar maut singgah
(Yerusalem, 1980)

Melukis lanskap dengan indah untuk membuka ruang religi, terlihat dalam puisi di atas. Sebagai seorang penganut Kristiani yang taat, Linus sangat menjiwai bagaimana posisi Yerusalem dalam perjalanan batin dan doanya. Ia sedang bersaksi, doanya melangit, sehingga cakrawala menyatu dalam diri. Tapi dia ngungun, ngunandiko, ada tragedi di sana yang mencabik rasa sehingga mengabarkan kedatangan maut.

Di makam Linus Suryadi AG

Beberapa puisi bertebaran di beragam lembar sastra dan buku antologinya. Tonggak adalah antologi yang monumental bila kita bicara perkembangan sastra Yogyakarta. Antologi puisi Rumah Panggung bahkan mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa (1994).

Jawa Sebagai Cakrawala

Persentuhan Linus dengan budaya Jawa nampaknya tak hanya soal kelahiran. Dalam berkarya, Linus menempatkan Jawa sebagai cakrawala dimana dia meletakkan diri berdiri kukuh di dalamnya. Linus membaca Yogyakarta tidak hanya sebagai locus dimana dia hidup dan memperoleh inspirasi. Ada wawasan kesejarahan yang dia lekatkan pada dinamika Kota Budaya ini. Dalam artikel “Umur Kota Yogya: 44 atau 236 Tahun?” di Harian Bernas (7/6/1991) Linus menulis:

Rupanya justru atas dasar konsep sejarah kota Yogyakarta yang dipersingkat dan diperpendek umurnya itulah, orang dapat menyaksikan tata cara dan sopan santun pembangunan yang diterapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk rekayasa pengelolaan lingkungan di dalam kota dan pinggirannya. Karena itu, gaya pembangunan yang lebih mengutamakan pasar swalayan dan hotel gede, rancangan bongkar gedung Societed Militer dan gedung Senisono dan Kantor Berita Antara, sebenarnya sekadar bagian saja dari konsekuensi penalaran terhadap konsepsi sebuah kota bersejarah. Yaitu sebuah konsepsi pembangunan kota tingkat propinsi yang tanpa mempertimbangkan konteks sejarah yang lebih mapan, lebih jauh dan lebih berdimensi ganda.

Sebuah pemikiran jangka panjang yang membumi dan cukup mencengangkan. Linus memiliki visi sejarah yang jelas dan dibingkai budaya yang kuat. Yogyakarta tengah beranjak–saat itu–dan Linus tak pernah mengedipkan tatapannya untuk melihat kota ini.

Terkait Yogyakarta sebagai Kota Penyair, Linus menulis artikel di SKH Kedaulatan Rakyat (27/6/1991) dengan judul “FKY III: Baca Puisi 21 Penyair Yogya” antara lain sebagai berikut.

Bagi para penyair Yogya sendiri, sejumlah predikat yang nomplok pada kota gudeg sebenarnya merupakan bahan mentah. Bahan mentah demikian, di haribaan para penyair dapat berarti banyak, selaku sumber ilham dan atmosphere kultural yang tidak akan pernah kering. Kenyataan itu dibuktikan dari tahun ke tahun, betapa generasi muda urban yang masuk ke Yogya selalu ada yang terpaut kepada kegiatan penciptaan karya sastra.

Persentuhan dan pergulatan Linus dengan budaya Jawa akhirnya terabadikan dalam karya prosa lirik Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Tidak hanya memasukkan kosa kata bahasa Jawa, Linus juga mengakomodasi aspek lokalitas dan laku hidup Jawa. Bakdi Soemanto pun pada 1999 melakukan penelitian dengan tema Angan-Angan Budaya Jawa: Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem. Karya ini menjadi perbincangan yang melampaui batas usianya.

Pada 30 Juli 1999 sastrawan ini wafat. Jejak karyanya senantiasa dibaca, tidak saja di bangku kuliah mahasiswa sastra tetapi juga khalayak masyarakat. Bila aral tak melintang dalam rangkaian Ruwahan Ageng Kiai Panji pada 29 Februari-3 Maret 2024 akab diisi dengan cara Membaca Linus pada Sabtu malam 2 Maret 2024. Damai bahagialah di keabadian Mas Linus, baramu coba kami angkat sebagai warna desa kelahiranmu.

Ksatrian Sendaren, 21 Januari 2024
*Peraih Penghargaan Kebudayaan Sleman 2023 Katagori Budayawan


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co