Oleh: Wahjudi Djaja*
Ada banyak cara bagi seniman untuk bisa berkreasi dan berinteraksi–lalu membangun keintiman–baik dengan sesama seniman maupun dengan masyarakat. Ada yang menguat pada diri dengan segala pencapain, ada yang berbagi energi dalam membangun kebersamaan dalam kebudayaan.
Membumi Dalam Lagu dan Laku
Sawung Jabo, yang lahir 4 Mei 1951 di Surabaya dan besar tumbuh di Yogyakarta, memahatkan diri di antara keduanya. Mengajak terbang di antara awan-awan imaji dalam berbagai lirik lagu lalu tiba-tiba bisa ngobrol berjam dengan beragam komunitas. Dalam bahasa liriknya:
Teratai merekah indah
Mata hati merekah indah
Kubiarkan diriku tersihir
Tertidur di pelukan bumimu
(Bumi Dewa Dewi)
Kang Jabo–demikian dia minta aku menyapanya–membumikan imaji yang dirangkai dalam beratus lirik lagunya menjadi beragam gerakan kebudayaan. Secara intern, Kang Jabo menjadikan Sirkus Barock–yang dia sebut kapal kreatif–sebagai ruang tegur sapa budaya. Tidak saja membuka ruang itu untuk munculnya ide, gagasan dan konsep kesenian baru tetapi juga–secara ekstern, mengabdikan diri untuk membangun kohesi sosial masyarakat. Interaksi demi interaksi dilakukan dalam berbagai kegiatan mulai pentas sampai workshop soal musik dan proses kreatif yang menyertainya.

Senioritas dan keakuannya tidak membatu dan mengeras dalam diri, tetapi luruh dan bersenyawa dengan beragam generasi bahkan yang jauh di bawahnya. Tidak alergi dengan sebutan Cak meski itu disampaikan anak-anak muda yang pantas jadi anak cucunya. Egaliter, tetapi–dalam beberapa hal–itu tak pernah mengurangi rasa hormat. Prinsip yang dibawa jelas dan tegas, ingin sekali melihat lahirnya generasi pencetus, dan bukan generasi penerus.
Kang Jabo paham betul tentang bagaimana dinamika kebudayaan yang melatari berdirinya Sirkus Barock. Tetapi itu tidak pernah dia jadikan kartu truf untuk melegitimasi posisi dan perannya dalam berkesenian. Dia membuka lebar pintu kreatifitas mulai bedah lirik sampai menyusun sebuah aransemen lagu. Didiskusikan dalam lingkaran kecil selama latihan sebelum pentas, dan sama-sama saling memberi masukan serta evaluasi seusai pementasan.
Pengalaman digembleng Bengkel Teater nampaknya membekas dan tak pernah hilang dari proses kreatifnya. Mampu melengking, bergumam atau aksi kocak tetrikal di atas panggung dilakukan secara spontan. Lihai meredam kebringasan massa saat mereka terbakar irama dan lirik lagu. Kanalisasi atas keberingasan penonton ini sering menjadi pembeda Jabo dengan musisi lain.
Yogyakarta, Lebih dari Sebuah Kota Bagi Jabo
Ada status atau tidak, diakui atau tidak, Yogyakarta tetap istimewa. Dengan yakin Kang Jabo mengawali sebuah orasi budaya di Hotel Garuda Inna pada 6 Oktober 2014. Dia berhak berkata begitu karena tumbuh dan berkembang dari kota yang–kala itu–benar istimewa bagi seniman dan sastrawan. Kecintaannya pada Kota Budaya yang banyak memberinya energi kreatif ini didokumentasikan dalam lagu “Jogja”:
Aku bangun kembali
Setelah tidur yang panjang tanpa pernah kusadari
Ingin menyanyi
Untuk apa saja yang pernah terjadi dikota ini
Kota ini telah mengalami banyak perubahan, tetapi dia tetap mengajak siapapun untuk ‘cawe-cawe’ demi kota ini. Kesempatan harus diperjuangkan, agar ‘generasi pencetus’ bisa tumbuh dengan kualitas hidup lebih baik. Pusat kebudayaan harus dibuka lebih luas dan luwes. Yogyakarta sudah membuka pintu, harus siap menerima konsekuensinya. Begitu katanya saat itu.

Perkawanannya dengan Sudargono semakin menancapkan bagaimana dia menjadi bagian tak terpisahkan dari Yogyakarta. Di sebuah Joglo Jago–demikian nama persenyawaan kedua tokoh ini–Kang Jabo mencoba merawat energi keyogyakartaan melalui beragam gerakan. Harus berbagi ruang dan cinta kasih dengan keluarga di Australia, tak menjadikan Kang Jabo kehilangan kepribadian.
Hidup Adalah Petualangan
Tidak saja mengajari bagaimana berproses menjadi manusia yang wajar, Kang Jabo tanpa sungkan memberi teladan bagaimana merespon tantangan agar menjadi peluang hidup. Kewajaran hidup perlu mendapat penekanan mengingat pada titik itu banyak orang gagal dalam merespon tantangan zaman. Selalu mengasah mata batin, menjaga kohesi sosial, mengalir dalam menjalani hidup, bahkan terkait manajemen musik. Ini yang sering membuat heran banyak orang terutama kalangan muda. Bagi Kang Jabo itu tentu bisa dipahami mengingat dia adalah “petarung hidup”. Seperti pada liriknya:
Nasib baik itu tidak jatuh dari langit
Hidup ini bukan cuma badut-badutan
Lemparkan ke api debu masa gelapmu
Bebaskan dari ilusi yang membiusmu
Keteguhan memegang prinsip itu melekat pada dirinya. Kang Jabo memberi garis tegas tentang beberapa hal mendasar dalam hidup dan kebudayaan. Dalam “Kalau Batas Tak Lagi Jelas” dia menulis:
Kalau batas tak lagi jelas
Mata hati harus awas
Kata harus berjiwa
Langkah harus bermakna
Itu pedoman yang dia pegang. Tanpa mendengar dan menjadikan mata hati sebagai pedoman–apalagi saat menapaki krisis–hidup akan kehilangan makna. Manusia kehilangan kesejatian selama dia mengabaikan kewajaran. Wajar dalam berujar, wajar dalam menakar.

Kita berterima kasih pada Kang Jabo dalam tiga hal. Pertama, keteguhan dalam memegang prinsip dan idealisme dalam berkebudayaan. Kedua, kesediaan mendengar kegelisahan kaum muda yang ingin menunjukkan eksistensi diri. Ketiga, kelapangan dada dalam merawat dan membangun kohesi sosial dengan masyarakat untuk sama-sama mengisi kehidupan. Kepada penulis Kang Jabo pernah bercerita bagaimana dia leluasa menikmati surga pergaulan yang nyaris tak bisa dimiliki dan lakukan musisi lain.
Kang Jabo telah berusia 73 tahun. Kita kawal dengan doa dan harap agar petualangannya bersama awan senantiasa menemu kebahagiaan dan keberkahan. Seperti lirik Petualangan Awan yang dia tulis pada 1977:
Awan di langit kini berpencar
Memisah diri terkena badai
Entah kapan dapat berkumpul
Ataukah mungkin tidaklah mungkin
Sugeng ambal warsa Kang Jabo, mugi tansah berkah sadengah lampah, rahayu sadengah laku, aamiin
Ksatrian Sendaren, 4 Mei 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), dosen STIE Pariwisata API Yogyakarta



