Oleh: Wahjudi Djaja*
Pendiri Republik Yang Sejati, Tan Malaka telah 75 tahun meninggalkan republik yang dia dirikan. Lahir pada 2 Juni 1897 di di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota Sumatra Barat, sosok ini benar-benar revolusioner dalam ucap, sikap dan tindak. Nyalinya tak pernah ciut meski berjuang seorang diri. Saat kini kita melihat elite bergelantungan di antara cabang ranting kekuasaan lalu membandingkan dengan rekam jejak Tan Malaka, sungguh jauh bedanya.
Pada usia 17 tahun berlayar ke Belanda untuk sekolah. Berinteraksi dengan tokoh dan pemikir besar saat itu. Dari buku De Fransche Revolutie, Tan memperoleh inspirasi mengenai revolusi yang cocok untuk mengubah Indonesia. Mulailah dia memperdalam pemahaman tentang pemikiran Marx, Lenin, Engels dan Nietzsche, lalu berinteraksi dengan Sneevliet, pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), yang tak lain cikal bakal Partai Komunis Indonesia.
Pada 1924, lahirlah pemikirannya yang orisinil “Naar de Republiek Indonesia”, buku pertama yang ditulis kaum intelektual pribumi tentang imaji keindonesiaan. Idenya brilian, cerdas, orisinil sekaligus dia coba diterapkan dalam perjuangan secara konsisten. Suatu ketika Bung Karno berkata kepadanya, “Kalau saya tiada berdaya lagi, maka kelak pimpinan revolusioner akan saya serahkan kepada saudara”. Sejarah kemudian mencatat, kedua tokoh itu beda jalan perjuangan.
Ketika banyak organisasi hanya berani berkata “demi kemajuan” dalam gerakannya, Tan Malaka telah melangkah dengan program nyata setelah merdeka. Pada usia 28 tahun, pemikirannya benar-benar membedah wacana intelektual kita masa itu. Lalu, meluncurlah: Madilog, Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara, Actie Massa, Menuju Indonesia Merdeka. Dari judulnya saja, kita baca betapa revolusioner seorang Tan Malaka dan disempurnakan dengan amat bagus oleh Harry A. Poeze.
Baca nukilan tulisannya, ”Jika kita bayangkan kapitalisme sebagai satu gedung dan negeri-negeri di dunia adalah tiang-tiang yang mendukung gedung itu, maka Indonesia merupakan salah satu dari tiang-tiang itu. Kita mengetahui sebelumnya bahwa cepat atau lambat gedung itu sekali waktu akan runtuh seluruhnya”.
Sebuah analog yang amat dahsyat. Tan Malaka telah menduga, tanpa fondasi ekonomi yang kuat dengan tetap bersumbu pada kemerdekaan penuh maka Indonesia tetap dalam bahaya. Konsekuensinya, pemerintah harus mematuhi keinginan rakyat, dan perkebunan maupun industri milik asing harus dinasionalisasi.
Impiannya melampaui bangsanya. Cita-citanya untuk Indonesia yang merdeka, mandiri, bermartabat dan terbebas dari pengaruh Belanda mendorongnya melanglang buana ke berbagai belahan dunia dengan penyamaran. “Naluri Minang” benar-benar menyatu dalam dirinya. Kala Soekarno-Hatta lunak dengan Belanda dan Sjahrir berdiplomasi, Tan Malaka dan Sudirman memimpin revolusi. Dengar katanya, “Tak akan ada tuan rumah yang mau berunding dengan maling di rumah sendiri”.
Tak ada pejuang yang sedemikian konsten dalam sikap revolusionernya selain Tan Malaka. Diburu Belanda, dikejar bangsa sendiri, keluar masuk penjara menjadi bagian dari dinamika kecintaannya pada Indonesia. Perjuangan dan idenya tak pernah tenggelam meski ia dibunuh –menurut Harry A Poeze–pada 21 Februari 1949 oleh tentara atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Seorang revolusioner pendiri republik dengan akhir yang tragis. Selamat jalan, Tan.
Ksatrian Sendaren, 21 Februari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



