Oleh: Wahjudi Djaja*
Masjid Kauman, 27 Mei 2022. Kami berdua menunggu jenazah Buya Ahmad Sjafi’i Maarif untuk diberangkatkan. Waktu yang ada saya gunakan untuk belajar pada ilmuwan asal Sumatra Barat ini. Belajar tentang keteguhan memegang prinsip kesederhanaan, total berkompeten dalam keilmuan, dan disiplin memegang amanah organisasi kelembagaan.
Lahir pada 14 Februari 1945 di Bukit Tinggi Sumatra Barat, Prof Sjafri tumbuh dalam tradisi Minangkabau yang tegas dan rasional. Seolah mewarisi para pendiri bangsa asal ranah Minang, beliau menjaga betul marwah keindonesiaan. Peneliti yang menjadi rujukan, antropolog yang sering dimintai keterangan.
Terkait hubungannya dengan Buya Syafi’i, Prof Sjafri mengakui telah terjalin sejak 1968. Buya Syafii, katanya, adalah sosok yang berpikir jernih. “Dia bisa mengontrol gerakan-gerakan yang kurang menguntungkan Muhammadiyah. Keteguhan dia dalam memelihara Muhammadiyah dari politik itu kuat sekali. Dan itu, menurut saya, sedikit banyak mempengaruhi Muhammadiyah”, jelasnya. Kedua tokoh ini memang termasuk dalam jajaran PP Muhammadiyah.
Meskipun kuliah di Fakultas Sastra UGM–dimana beliau pernah menjadi dekan–karena saya Jurusan Sejarah tentu tak bisa menimba ilmu darinya. Untungnya, saat itu mahasiswa masih diperkenankan untuk mengambil matakuliah pilihan di luar jurusan sehingga bisa memperoleh sedikit ilmunya tentang kebudayaan. Prof Sjafri adalah Direktur Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UGM.
Dalam sebuah diskusi “Jelajah Pemikiran Budaya Prof Sjafri Sairin” di Pusat Kebudayaan UGM pada 13 Februari 2013, dibicarakan bahwa kebudayaan bukan hanya menyangkut tangible dan intangible. Kebudayaan bisa dilacak dari perilakunya. Sebuah diskusi yang membantu banyak hal bagi saya tentang kebudayaan dan menjadi amunisi saat bergerak di masyarakat sampai saat ini.
Terkait tak berubahnya budaya korupsi yang terjadi sejak Orde Baru sampai Reformasi, menurut Prof Sjafri dalam bahasa Nugroho Trisnu Brata, karena adanya mentalitas “nerabas”. Jalan pintas ingin mendapatkan hasil tanpa harus bekerja keras sesuai norma dan aturan yang berlaku. Itulah faktor penyebab budaya KKN masih saja mewarnai kehidupan pemerintahan sosial politik. Jalur-jalur tidak resmi dan illegal ditempuh untuk mencapai tujuan.

Pertemuan kami berikutnya terjadi di Malaysia. Saya diajak Ketua Perhimpunan Sastrawan Budayawan Negara Serumpun (PSBNS) untuk sebuah acara. Dari hotel saya dijemput Dr Aris Arif Mundayat bersama istri untuk bertemu Prof Sjafri di Kuala Lumpur pada 4 September 2016. Kami diskusi di Restauran Thailand bersama kolega beliau termasuk Dr Muhammad Saleh Rahamad. Anjangsana budaya lintas negara yang benar-benar bernas dan membuktikan betapa kebudayaan merupakan jembatan peradaban yang efektif.
Meraih gelar doktor dari Cornell Universty (1991) dan Guru Besar Antropologi UGM (1998), Prof Sjafri dikenal sebagai pakar perubahan sosial. Beragam jabatan disandang sebagai bentuk kepercayaan yang diterima sebagai sebuah tanggung jawab. Sebuah dedikasi penuh teladan yang harus dijadikan api dan inspirasi generasi muda.
Selamat ulang tahun, Prof Sjafri Sairin. Semoga panjang usia penuh amal dan pahala. Aamiin
Ksatrian Sendaren, 14 Februari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama).



