Oleh: Wahjudi Djaja*
Sepeninggal tokoh yang dilahirkan di Jombang Jawa Timur pada 17 Maret 1939 ini, cakrawala intelektual Indonesia seolah berlubang. Makin lama lubang itu membesar dan nyaris tak menyisakan keindahan untuk dilihat dan disimak. Pelan-pelan cakrawala dipenuhi mendung hitam yang senantiasa menutupi matahari.
Nurcholish Madjid. Salah satu dari Tiga Pendekar Chicago–bersama Amien Rais dan Sjafii Maarif dalam istilah Gus Dur (Tempo, 27/3/1993)–telah meletakkan posisi dan peran intelektual begitu dihargai. Jernih dalam berpikir, santun dalam bercakap, dan egaliter dalam bergaul. Pemikirannya autentik dan mempertimbangkan keindonesiaan sebagai bingkai dengan memasukkan keimanan sebagai ruh. Pada era 1970-1980 ketika kekuasaan Orde Baru hadir dalam konfigurasi triangle, Cak Nur–demikian akrab disapa–telah menawarkan beragam pemikiran alternatif.
Dalam bahasa Naning Mardiniah (KR, 28/6/1991), Cak Nur dan Gus Dur dikategorikan pendukung neomodernisme Islam yang cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Konsekuensi logisnya, Islam harus dikembangkan dalam kerangka sistem politik sosial dan budaya lokal. Ini berbeda, masih menurut Naning, dengan kelompok Islam Sosialisme Demokrat dimana ada Dawam Raharjo, Kuntowijoyo dan Adi Sasono. Dalam pandangan kelompok kedua ini, Islamisasi harus diterjemahkan dalam bentuk refleksi pemikiran dan karya produktif yang berotientasi pada perubahan sosial ekonomis dan politis menuju masyarakat demokratis.
Tetapi menurut Kuntowijoyo (Jawa Pos, 12/3/1991) tidak ada perubahan yang berarti dalam arus pemikiran Islam. Ini, kata Kunto, bisa dilacak sejak Tjokroaminoto yang memilih sosialisme berdasarkan Islam sebagai satu-satunya ideologi yang sah. Melalui buku Islam dan Sosialisme, Tjokro ingin membuktikan bahwa Islam tidak hanya menyelamatkan umatnya tetapi juga umat manusia keseluruhannya.
Pembaruan pemikiran Cak Nur, juga diungkap oleh Ridwan Saidi (Kompas, 7/6/1991). Pidato Cak Nur “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, tulisnya, didorong oleh kenyataan bahwa kaum muslimin Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking forces. Alternatif yang ditawarkan adalah sekularisasi. Inilah yang saat itu melahirkan polemik.
Menanggapi beragam respon atas pemikirannya, dalam wawancara panjang dengan Kompas (12/10/1997), Cak Nur antara lain mengatakan, ungkapan “Islam Yes, Partai Islam No” sebenarnya ditaruh dalam tanda tanya:
Waktu itu saya sinyalir adanya pikiran-pikiran yang kuat sekali Islam diklaim oleh partai dan menjadi partisan. Sampai-sampai ada satu anggapan linier, kalau orang itu Islam harus menjadi anggota partai ini, sebaliknya bila tidak menjadi partai ini, bukan Islam.
Saya ingin melepaskan Islam dari partisanship, dari klaim oleh salah satu kelompok tertentu. Menjadikan Islam milik nasional dan itu harus bisa dilepaskan dari partai. Waktu itu partai menjadi suci, sakral, padahal kan hanya instrumen. Alhamdulillah stigma itu sudah tidak ada.
Begitulah Cak Nur. Dididik dalam lingkungan kiai dan pesantren, mengalami transformasi pemikiran yang tajam selepas menyelesaikan program doktor di Universty of Chicago. Disertasinya berjudul Ibn Taimiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam. Salah satu penggagas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), satu-satunya Ketua PB HMI yang menjabat dua kali, dan Rektor Universitas Paramadina ini meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati.
Semoga damai bahagia di keabadian, Cak. Biarkan ide, ilmu dan pemikiranmu menjadi prasasti yang selalu dibaca dan digali anak-anak negeri.
Ksatrian Sendaren, 17 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



