4 Januari 1946 Jadi Ibukota Negara, Yogyakarta Selamatkan Indonesia

Oleh: Wahjudi Djaja*

Kisah tentang kesuburan dan kekayaan Nusantara, letaknya yang strategis dalam konstelasi politik militer di Asia dan perlunya membentengi gerakan pasukan Jepang, nampaknya membuat enggan Belanda melepaskan cengkeramannya meski Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Tak rela rasanya melepaskan gabus tempat negeri Belanda mengapung. Upaya dan strategi dilakukan dengan beragam cara untuk kembali menancapkan kekuasaannya.

29 September 1945 di Tanjung Priok, Belanda kembali datang dengan bendera NICA, sebuah siasat busuk untuk mengelabui Indonesia. Atas nama Sekutu mereka mencoba hendak menduduki Jakarta. Cepat, mereka merangsek ke kota, mengintimidasi Indonesia yang belum sebulan merdeka. Tanpa malu mereka memprovokasi dan meneror para pemimpin bangsa. Sjahrir sempat diberondong senjata, para anggota kabinet terancam keselamatannya.

Berita proklaamasi kemerdekaan belum sepenuhnya tersebar di seluruh wilayah. Konsolidasi kekuasaan belum sepenuhnya mampu dilakukan. Sistem pemerintahan pun mengalami transisi. Sementara itu upaya untuk mempertahankan diri coba dilakukan oleh laskar dan pasukan TKR dengan senjata ala kadarnya. Perang dan perundingan mewarnai periode akhir 1945.

Istana Gedung Agung
Istana Gedung Agung

Pada 1 Januari 1946 Bung Karno menggelar rapat dadakan. Ibukota dalam bahaya. Mendengar kabar itu, pada 2 Januari 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirim kurir ke Jakarta. Yogyakarta siap menjadi Ibukota. Bung Karno senang, bangga dan haru melihat Sultan Yogyakarta memiliki kesadaran kebangsaan dan kenegarawanan yang tinggi. Malam tanggal 3 Januari 1945, Bung Karno dan anggota kabinet beserta keluarga boyongan ke Yogyakarta naik kereta api. Seperti main petak umpet dengan tentara Belanda, kadang harus mematikan lampu kereta, turun bersembunyi saat dihadang tentara Belanda. Dini hari menjelang Subuh, 4 Januari 1945 kereta api luar biasa–karena berjalan tidak sesuai jadwal keberangkatan–itu masuk Stasiun Tugu. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VIII, Panglima Besar Sudirman dan para pejabat KNIP Yogyakarta menyambutnya. Mereka kemudian menuju Sitinggil Keraton Yogyakarta. Dimulailah episode terpenting dalam sejarah Indonesia, Yogyakarta Ibukota Revolusi.

Lebih dari sekedar pindah tempat, seluruh kepentingan pemerintahan dan negara ditopang sepenuhnya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kantor, gedung, rumah kediaman, gaji presiden sampai staf dan pegawai termasuk semua biaya penyelenggaraan negara termasuk APBN disediakan untuk negara. Tidak kurang dari 6.000.000 gulden dihibahkan Sinuwun IX kepada negara yang krisis berat. Bung Karno tinggal di Istana Gedung Agung, Bung Hatta di Istana Ngupasan (kini Markas Korem Pamungkas), sedang para menteri mendiami beberapa rumah dan gedung di sekitarnya.

Saat Belanda mencabik-cabik Indonesia melalui proyek negara serikat, Republik tinggal wilayah Yogyakarta. Sejak 1946 sampai 1949 pusat pergerakan berada di Yogyakarta. Bahkan perhatian dunia tertuju ke jantung peradaban Mataram ini. Untuk mengenang perjuangan bangsa saat menghadapi agresi kedua Belanda, pada 19 Desember 1949 Bung Karno meresmikan berdirinya Universitas Gadjah Mada.

Istana Ngupasan

Tercatat dua kali Belanda melakukan agresi militer (1947 dan 1948), bahkan yang kedua pada 19 Desember 1948 mampu menawan Bung Karno beserta para pemimpin negara. Yogyakarta diduduki Belanda tetapi RI masih tegak berdiri berkat kepiawaian Panglima Besar Sudirman yang memimpin perang gerilya, Sjafrudin Prawiranegara yang mengendalikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi dan LN Palar yang memimpin perjuangan delegasi luar negeri di India.

Sebuah negara yang tumbuh organis di hati rakyatnya dimana suara para pemimpinnya didengar dan dipatuhi, akan tetap bertahan dari gempuran penjajahan. Perang dan perundingan masih berjalan karena tiap kali kalah perang Belanda mengajak bertemu di meja perundingan. Patut dicatat bagaimana peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berinisiatif membuat sebuah serangan umum untuk menunjukkan RI masih berdiri pada 1 Maret 1949. Serangan yang mampu membuka mata dunia sekaligus mematahkan klaim sepihak Belanda bahwa RI sudah tumbang. Pada 29 Juni 1949 seluruh pemimpin bangsa kembali ke Yogyakarta dari berbagai lokasi persembunyian dan perjuangan.

Akhirnya, pada 27 Desember 1949 Ibukota kembali ke Jakarta. Dengan sangat berat hati, Ngarsa Dalem IX berkata, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Teringatlah kita pada testimoni Bung Karno, “Yogyakarta menjadi termasyur karena jiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa kemerdekaan itu!”. Yogyakarta, sebuah tempat dimana bara perjuangan terus menyala dan digelorakan.

Ksatrian Sendaren, 4 Januari 2024
*Ketua Umum Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co