Oleh: Wahjudi Djaja*
Entah sampai kapan kita bisa melihat peradaban politik kita maju, damai, guyup, dan bersendikan nilai keutamaan. Kesadaran kebangsaan dan kenegaraan seolah sulit menemukan konteksnya ketika tema pembicaraan kita adalah soal kontestasi politik. Dua kutub–cebong vs kampret–mulai memudar dan membentuk konfigurasi baru, tetapi kerja politik belum sepenuhnya beradab.
Visi vs Ambisi
Tidak di panggung politik, tidak pula di jalanan umum, upaya menyakiti liyan masih juga dilakukan. Tidak dalam ucapan dan ancaman, tetapi juga kebiadaban di pepohonan tepi jalan. Kata-kata berhamburan menyindir, mengolok, membuli, meremehkan lawan politik menghiasi wacana publik. Nyaris tak ada pendidikan politik, yang ada hanya mobilisasi dan hura-hura politik. Entah politik macam apa yang hendak dimainkan di panggung kebangsaan ketika etika dan moralitas tak menjadi dasar dan landasan dari tiap kerja politik.
Sejenak berhenti, tertegun dan menangis rasanya melihat pohon-pohon perindang tepi jalan–yang tiada lelah mensuplai oksigen bagi kehidupan–justru tiada henti disakiti, diperkosa dan didzalimi. Bukan saja untuk pemilihan presiden, tetapi juga pemilihan anggota legislatif untuk–sosok yang padanya kemudian memperoleh predikat wakil rakyat yang terhormat–provinsi dan kabupaten/kota. Kebiadaban dilakukan lima tahunan terhadap makhluk Tuhan yang diberi peran menjadi paru-paru kehidupan. Lebih dari sekedar sampah visual, tetapi ini adalah saksi bisu atas laku hidup yang banal!
Jangankan menyampaikan visi tentang penyelamatan dan pelestarian tumbuhan dan lingkungan, memahami peran sebagai calon wakil dan pemimpin yang jadi teladan pun mereka belepotan. Ini ruang demokrasi. Oke, silakan. Tetapi demokrasi selalu dilandaskan pada etika, keadaban dan keteladanan. Demokrasi bukan hanya soal coblosan atau hura-hura konvoi di jalanan. Demokrasi adalah mekanisme rasional yang disepakati bersama untuk menjaga harmoni kehidupan dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban.
Cobalah sejenak berhenti. Hitung berapa jumlah paku yang ditancapkan dengan kekerasan di tiap sisi pepohonan. Bertahun lamanya. Cobalah timbang, berapa berat paku-paku yang ditancapkan untuk sebuah ambisi itu! Bisakah kita membayangkan rasa sakit yang diderita pepohonan yang diam membisu melihat kedunguan manusia yang mendaku diri sebagai warga dari sebuah bangsa yang berkepribadian?
Sulit kita menemukan korelasi positif antara laku politik keseharian dengan narasi besar soal kebangsaan dan kenegaraan. Visi dan janji tinggal di laci. Merasa diri mampu karena uang tetapi gagal melakukan edukasi pada kader, adalah indikasi awal bahwa–kelak–tak ada harapan yang bisa dibuktikan. Maka, omong kosong bicara ekonomi kerakyatan, perluasan lapangan pekerjaan, kelestarian lingkungan, dan meningkatnya kehidupan jika strategi yang dimiliki tak lebih sebar amplop dan tebar pesona.
Rasional Memilah, Opsional Memilih
Kesadaran politik dan lingkungan harus terus disuarakan dan diperjuangkan. Tak ada ruang kehidupan yang bebas dari kepentingan. Kitalah–rakyat–yang berdaulat dan memiliki kedaulatan. Bukan zamannya lagi hidup kita terbeli hanya karena amplop apalagi hanya untuk sosok yang wajahnya menghiasi jalan terpaku diantara pepohonan. Mereka bukan jenis manusia yang mampu menempatkan relasi diri secara pas diantara semesta dan Tuhan sebagai penciptanya.
Gunakan rasio untuk memilah dan memilih calon wakil apalagi calon pemimpin. Tuhan menganugerahi akal agar bisa kita gunakan untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Tak ada hidup yang tak dipertanggung jawabkan. Tak ada dosa dan kesalahan yang tak memperoleh hukuman. Bukan saja pada sesama manusia tetapi juga pohon dan tumbuhan yang mempunyai hak yang sama untuk hidup di hamparan alam semesta. Kurang terang apa alam semesta memberi pembelajaran?
Hidup adalah pilihan. Apakah kita berdiri pada sisi yang tiada lelah berbuat kebaikan atau justru berdiri pada pihak yang penuh ambisi meraih kekuasaan dan–kemudian–membuat kerusakan lingkungan. Dan pilihan itu bisa jadi sedang dibuka pada 14 Februari 2024. Sekali kita salah memilih dan melangkah, jangan heran jika kehancuran dan bencana singgah di dalam kehidupan kita. Bukankah telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia?
“Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Itu kata WS Rendra. Semoga bermanfaat.
Merdeka!
Ksatrian Sendaren, 14 Januari 2024
*Pembelajar demokrasi



