Pers dan Perubahan

Oleh: Wahjudi Djaja*

Dalam sebuah tulisan Mahaguru Ilmu Sejarah Sartono Kartodirdjo menyampaikan, pers dan pergerakan nasional adalah saudara kembar. Awal abad XX ketika ide nasionalisme muncul dan berkembang, pers menjadi tulang punggung merebaknya ideologi kebangsaan saat pencarian fondasi bagi negara yang hendak didirikan. Tokoh pergerakan nasional kita adalah juga tokoh pers dan jurnalis andal.

Keinginan yang Menjadi Bumerang

Pers di Indonesia berawal dari keinginan pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi kebutuhan informasi warganya. Belanda mendirikan percetakan pertama pada 1659 di Batavia dan menerbitkan courant. Berkembang pada 1744 menerbitkan De Bataviase Nouvelles di Batavia dan De Locomotief di Semarang pada 1852. Pada 1885 diterbitkan koran Bataviaadch Nieusblad di Batavia.

Akhir abad XIX gelombang liberalisme membuka masuknya kaum pemodal. Kalangan pribumi kemudian menerbitkan koran Bromartani pada 1855 oleh seorang Indo-Eropa GF Winter. Pada 1907 muncullah Medan Prijaji di Bandung. Tokoh seperti RM Tirto Adisoerjo berada di balik koran yang semula untuk kepentingan kaum priayi tersebut.

Memasuki abad XX hubungan pers dan pergerakan nasional menguat. Kaum pergerakan menyadari perlunya surat kabar atau koran untuk menyebarluaskan ide dan gagasan maupun memberitakan aktivitas pergerakan. Tak aneh jika kemudian muncul pers pergerakan seperti Oetoesan Hindia, Sinar Djawa, Pantjaran Warta dan Saroetomo. Pers Tionghoa yang berbahasa Melayu pun muncul seperti Li Po, Pewarta Soerabaia, Warna Warta, Chabar Perniagaan, dan Sin Po. Tokoh pergerakan nasional menuang gagasan dalam tulisan dengan inisial, seperti O.S.Tj (Oemar Said Tjokroaminoto), A.M (Abdoel Moeis), H.A.S (Haji Agus Salim), atau Tj.Mk (Tjipto Mangoenkoesoemo).

Era pergerakan nasional bagaikan tamansari tempat lahir dan tumbuhnya para intelektual dan cendekiawan yang paham akan tanggung jawab moral-sejarah bangsa. Mereka dididik oleh lembaga pendidikan kolonial tetapi menjadi protagonis muncul dan bangkitnya kesadaran nasional. Melawan penjajah tidak lagi melalui peperangan tetapi tulisan dan organisasi pergerakan. Tidak saja kuat dari sisi akar sejarah budaya, mereka mampu mengimbangi pemikiran dan gagasan luar terkait tumbuh kembang nasionalisme.

Pers dan Pergerakan

Ketika keindonesiaan menjadi visi bersama dan menggerakkan dinamika pergerakan, pers tak ketinggalan peran. Majalah Indonesia Merdeka memuat ideologi dan manifesto politik Perhimpunan Indonesia. Douwes Dekker mencatat ada 34 pers pergerakan pada 1909. Pada 1923 sudah menjadi 107 pers termasuk yang dikelola pribumi. Nama-nama koran diambil dari sesuatu yang membawa pencerahan, seperti Bintang, Cahaya, Sinar, Matahari, Pelita, Bianglala atau Doenia Bergerak, Soeara Ra’jat, dan Indonesia Merdeka.

Menguatnya peran pers dan meningkatnya dinamika pergerakan nasional, jelas mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda. Pada 1931 dikeluarkan Persbreidel Ordonantie yang menekan pers beserta para tokohnya. Bahkan banyak diantara mereka yang ditahan atau dihukum pemerintah Belanda, seperti R Taher Djindarbumi, Rangkayo Rasuna Said, Maruto Nitimihardjo.

Ideologi persatuan yang menjadi salah satu pilar pergerakan disambut kalangan jurnalis. Pada 1914 didirikan Inlandsche Jurnalisten Bond di Surakarta oleh Sumarko Kartodikromo. Pada 1931 berdiri Persatoean Kaoem Jurnalist di Semarang oleh Saerun dan Parada Harahap. Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi) berdiri pada 1933 antara lain oleh Sutopo Wonoboyo.

Peran dan kepeloporan pers kian berkembang era Jepang seiring menguatnya perjuangan kemerdekaan. Asia Raya, Jawa Shinbun, Djawa Baroe, Pandji Poestaka, Keboedajaan Timoer atau Matahari menjadi elemen utama perjuangan. Jika kemudian rakyat di berbagai wilayah bisa melihat berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tentulah karena peran pers yang monumental.

Pers kini mengalami transformasi, tidak saja menyangkut media yang digunakan–tekstual ke digital–juga orientasi keberpihakan pada demokrasi dan kemanusiaan. Geliat Pilpres 2024 bisa dijadikan indikator dan barometer posisi pers sebagai–katanya–pilar ke empat demokrasi. Tidak saja harus taktis tetapi juga tak boleh menanggalkan aspek idealis. Pers era digital tak boleh kalah dengan majalah Jong Indie yang pada edisi Nomor 3 tanggal 18 Juli 1908 menulis:
Janganlah salah menilai gerakan orang muda itu, apalagi meremehkannya. Di mana dan kapan evolusi rakyat tidak terlebih dulu tumbuh di kalangan muda para pelajarnya?

Selamat Hari Pers 2024. Tetaplah berjuang bagai Api nan Tak Kunjung Padam! Merdeka!

*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), Penulis buku Pers & Perjuangan Kemerdekaan

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *