Oleh: Ancah Yosi Cahyono
“…Amoghapasa yang tiada taranya, yang kulitnya putih bersinar bagaikan cahaya bulan di musim gugur muncul dalam sikap Samabhanga (berdiri tegak) … bermuka satu, dan digambarkan sebagai dewa berlengan delapan.
Dua dari empat lengan kanan memegang rosario dan jerat. Dua lainnya menunjukkan Abhayamudra dan Varadamudra. Di ke empat tangan kiri terdapat tridandi (tongkat dengan tiga tunas), buku, batang teratai, dan guci bundar.
Amoghapasa mengenakan Dhoti panjang berwarna putih (pakaian bawah) dengan kulit harimau melingkari pinggangnya. Kulit kijang tergantung di bahu kirinya sebagai benang suci. Mahkota sanggulnya bertanda Amitabha. Wajahnya tersenyum. Dihiasi dengan ornamen surgawi, Amoghapasa memiliki Prabhamandala putih, cahaya dari tubuh lima Tathagata, yang memancar dari tubuhnya sendiri. Dia memandang (tatapan mata) dengan belas kasih pada makhluk hidup….”
Begitulah kurang lebih penggambaran Amoghapasa dalam Sadhana ajaran Acarya Sakyasribhadra. Bisa dibilang penggambaran tersebut tepat bila disandingkan dengan arca Amoghapasa yang berada di halaman Candi Jago, Tumpang, Malang ini.

Arca dengan batu berwarna keputihan, berdiri tegak dengan delapan lengan. Dari delapan laksana yang disebutkan, lima di antaranya masih terlihat. Dua tangan kiri terlihat rosario dan jerat, Tiga lengan di kanan terdapat pustaka, tridandi, dan batang teratai yang tersisa sebagian.
Benang suci terlihat menjalar dari pundak kanan dan terus turun ke bawah, walau tak terlihat penggambaran kulit kijang, namun pada paha kiri masih terlihat adanya pahatan tipis berupa ukiran harimau dengan kepala di kanan paha. Batang teratai tanpa pot muncul di kiri dan kanan arca, yang konon merupakan ciri khas dari arca-arca era Singhasari.
Bagian atas terdapat prasasti dengan huruf Devanagari yang terpahat melintang melewati kepala.
Kepala telah patah, menurut keterangan Raffles kepala ini dipenggal dan diambil orang Belanda dan dibawa ke Malang tidak lama sebelum ia sampai. Akan tetapi ia sempat menggambarkan sketsa kepala tersebut, dimana terdapat ukiran Amitabha di tengah mahkota, bulan sabit dengan bindu di atasnya yang di ukir pada tengah dahi.
Brandes menyatakan jika arca ini dahulunya berada di ruang utama candi berdiri di atas teratai ganda yang ditopang lapik persegi yang kini masih terlihat pula di halaman candi, yang untuk detailnya mungkin akan kita bahas di lain lapak.

Amoghapasa, adalah salah satu aspek dari Avalokitesvara, ia mendapatkan nama dari Jerat (pasa) yang menjadi ciri khasnya. Namanya memiliki arti jerat yang tiada terputus/jerat yang tidak pernah lepas. Dimana dengan jerat ini ia menyelamatkan mahkluk-makhluk yang terlahir di tiga alam rendah, atau menyelamatkan orang-orang yang sakaratul maut agar terhindar dari kelahiran alam rendah.
Hal inilah yang mungkin memicu Krtanagara membuat banyak prototypenya baik logam ataupun batu dan tersebar di berbagai wilayah.
Amoghapasa-Lokesvara, meskipun nama dan aspeknya telah di kenal pada abad VI namun dalam bentuk arca ia bau muncul di abad IX.
Ikonografisnya tidak ditemukan dalam Sadhanamala, yang bisa jadi memang tidak populer dalam bentuk arca di kalangan Buddhis saat itu. Temuan bentuk arca, lebih masif ketika abad XI-XIII yang Amoghapasa delapan lengan justru populer di luar wilayah India.
Jago merupakan salah satu persimpangan perkembangan Agama Buddha di Nusantara, periode inilah bukti fisik yang menjelaskan banyak mengenai “sekte” baru Buddhisme era klasik muda, yang sebelumnya mengalami kegelapan pasca kejayaan Syailindra.
Bagi saya secara pribadi, Candi Jago, adalah permata candi di Jawa Timur, detail ukiran dan ornamennya menunjukkan keagungan arsitektur, bukan Penataran ataupun Candi Jawi, Walau hanya menyisakan reruntuhan, namun kemegahannya masih sangat terasa.
Masih banyak hal yang bisa kita gali dari reruntuhan ini, walau hanya meraba dari fragmen-fragmen yang tersisa dan mencoba menebak isi sesungguhnya.
Bantul, 100224
*Praktisi percandian, anggota Komunitas Kandang Kebo



