Oleh: Wahjudi Djaja*
15 Februari 1958. Jalan terjal harus ditempuh Ahmad Husein. Seorang kolonel–kelahiran Padang dari keluarga Muhammadiyah–melakukan kritik secara terbuka kepada pemerintahan Soekarno melalui sebuah gerakan. Ultimatum yang berisi aspirasi agar pemerintah pusat lebih memperhatikan pembangunan daerah kemudian ditanggapi dengan operasi militer. Cinta, kadang harus dinyatakan dalam bahasa yang berbeda, melahirkan beragam fenomena dan bahasa.
Begitulah. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) didirikan dalam belutan kontroversi dan kepentingan. Konfigurasi kekuasaan dengan kekuatan militer bertemu aspirasi otonomi dan polarisasi konstelasi dunia akibat Perang Dingin. Negosiasi Djuanda tak menemu solusi, proklamasi PRRI tak bisa lagi dikanalisasi. Perang saudara pun meletus hingga melahirkan trauma dan tragedi. Antusiasme masyarakat Minang kepada Indonesia–dalam bahasa Taufik Abdullah–berbalik arah hingga “di kampung rasa di rantau”.
Minangkabau, sebagai entitas sosial budaya yang melahirkan begitu banyak tokoh utama negeri ini mengalami transformasi. Secara internal, masyarakat menjadi enggan bicara politik, secara eksternal terjadi gelombang perantauan warga yang cukup besar ke Jakarta. Dalam konteks itu, upaya militeristik tak mampu secara tuntas menyelesaikan persoalan daerah. Soekarno justru menguat pengaruhnya, diimbangi masuknya PKI dalam kekuasaan. Puncaknya, demokrasi terpimpin menjadi kukuh sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peristiwa PRRI menjadi kajian para sejarawan dalam dan luar negeri, seperti Kahin, Leirissa, Mestika Zed, Mochtar Naim, dll. Juga keterlibatan Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Sumitro Joyohadikusomo, Maludin Simbolon, Mohd Syafei, JF Warouw, M Saleh Lahade dll. Tapi bukan kesana arah tulisan ini.
Otonomi daerah telah lama disuarakan termasuk oleh Hatta jauh sebelum Indonesia merdeka. Desentralisasi pun telah dijadikan salah satu usulan pendekatan pembangunan. Bahkan model federalisme–bedakan dangan strategi van Mook–telah menjadi perdebatan dalam persidangan BPUPKI. Permasalahannya, mengapa pemerintah yang terbentuk–bahkan sampai rezim berikutnya–seolah gagal menangkap mutiara pemikiran para pendiri bangsa dari berbagai latar belakang tetapi memiliki semangat keindonesiaan yang kuat?
Perdebatan Jawa vs Luar Jawa selalu saja mengemuka sampai saat ini. Ada pemusatan kekuasaan dan pembangunan di Jawa–baca Jakarta–dan ada pengabaian permasalahan krusial di luar Jawa. Orde Baru membuat UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Era Reformasi membuat UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Terakhir keluar UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Namun, mengapa kekayaan yang dimiliki daerah tidak secara simetris berdampak pada kesejahteraan warganya? Kesenjangan pendapatan dan pembangunan terlihat nyata, penumpukan kekayaan terjadi sangat timpang.
Ekonom Revrisond Baswir menyebut, 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 45% kekayaan nasional. 10% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 77% perekonomian kita. Dalam sirkulasi perekonomian nasional seperti itu, rakyat dihadapkan pada Pemilu 2024. Bisakah rakyat–melalui mekanisme demokrasi–menyalurkan aspirasinya untuk melakukan perubahan? Kanalisasi aspirasi melalui partai politik dan para kandidat calon presiden/wakil presiden telah dilakukan.
Cukup fenomenal hasil sementara real count yang didapat dari Aceh dan Sumatra Barat–sekedar mengaitkan dengan narasi yang dibangun–sehingga Anies Baswedan menang mutlak. Bukankah pada pemilu sebelumnya Sumatra Barat adalah lumbung suara Prabowo Subianto? Tentu masih terlalu dini untuk membuat simpulan dan untuk itu perlu penelitian lebih lanjut. Tetapi dari aspirasi yang disuarakan, rakyat telah memberikan sinyal penting kepada pemerintah pusat.
Indonesia adalah negara luas dengan kekayaan alam, hutan dan laut yang mencengangkan mata dunia. Namun cukup memprihatinkan bahwa utang kita mencapai 800 triliun, yang diikuti jumlah pengangguran, stunting, dan kesenjangan sosial ekonomi. Kurang cerdas apa para pendiri bangsa meletakkan fondasi kenegaraan? Atau kita telah menjadi bangsa yang kufur nikmat sehingga anugerah pelan-pelan berubah menjadi musibah? Yakin kepemimpinan nasional mendatang akan mampu memberikan solusi atas aspirasi rakyat di berbagai daerah sehingga bangga menjadi warga negara Indonesia?
Ksatrian Sendaren, 17 Februari 2024
*Pembelajar demokrasi, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



