Jalan Panjang Demokrasi Kita

Oleh: Wahjudi Djaja*

Kritik tajam dari dalam pernah disampaikan oleh Bung Hatta dalam Demokrasi Kita. Mengawali tulisannya, salah satu proklamator ini mengungkap gejala yang terjadi di kalangan elite waktu itu.

Sedjarah Indonesia sedjak 10 tahun jang achir ini banjak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dengan realita. Idealisme, jang mentjiptakan suatu pemerintahan jang adil jang akan melaksanakan demokrasi jang sebaik-baiknja dan kemakmuran rakjat jang sebesar-besarnja. Realita dari pada pemerintahan, jang perkembangannja kelihatan makin djauh dari demokrasi jang sebenarnja.

Tanggalnya Dwitunggal

Sikap Hatta jelas dan tak bisa ditawar soal demokrasi. Demokrasi Kita yang ditulis tahun 1956 itu menandai tanggalnya mitos Dwitunggal. Keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 1955–hingga disebut pemilu paling demokraris sejak Indonesia berdiri–ternyata tak segera diimbangi dengan kemampuan menata dan mengonsolidasi kekuasaan. Secara tajam Hatta mengkritisi kecenderungan Bung Karno yang tak sabar mengawal demokrasi. Selain mengangkat diri sebagai formatur kabinet, sahabat sejatinya ini juga membubarkan Konstituante dan menjadi seorang diktator atas nama demokrasi terpimpin.

Ketaksabaran menapaki proses demokrasi dan keinginan meraih–lalu mempertahankan–kekuasaan menjadikan demokrasi kehilangan ruh dan arti. Era Orde Baru dengan jelas memberikan bukti betapa demokrasi hanyalah soal seremonial dan pesta. Siapa pemenang dan siapa yang akan menduduki kursi kekuasaan telah bisa dipastikan. Enam kali pemilu selama Orde Baru Golkar menjadi mayoritas tunggal. Kontestan lain sebagai pelengkap semata, sedang rakyat dijauhkan dari kemungkinan berpolitik melalui proyek massa mengambang. Kolaborasi ABG (ABRI, Birokrasi, Golkar) berhasil mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun di bawah kendali asas tunggal.

Pemilu pertama era reformasi tahun 1999 sedikit banyak memberikan optimisme tentang pembangunan sistem demokrasi. Relatif bersih dan merepresentasikan kedaulatan rakyat sebagaimana Pemilu 1955. Semua parpol memiliki wakil di KPU sehingga bisa saling mengawasi. Sayangnya, pemerintahan yang terbentuk justru tidak stabil dan baru pada Pemilu 2004 tercapai. Ketika kemudian pemilihan anggota KPU dilakukan oleh DPR ternyata tak semuanya memberikan jaminan bahwa pemilu akan berlangsung secara Luber dan Jurdil. KPU justru menjadi titik lemah dalam memfasilitasi kedaulatan rakyat–yang konsekuensi logisnya–mengebiri demokrasi.

Reduksi Aspirasi

Itulah yang kita saksikan ketika KPU pada Pemilu 2024 bekerja jauh dari profesionalisme dan berkeadilan. Metode quick count dan aplikasi Sirekap menjadi biang permasalahan. Hanya karena gempuran civil society melalui media sosial, KPU akhirnya minta maaf atas dugaan terjadinya penggelembungan suara untuk salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Aneh bin ajaib bahwa kemudian KPU justru menghentikan rekapitulasi suara di tingkat PPK dan tidak menyinggung bobroknya aplikasi Sirekap yang konon dikendalikan dari luar. Absurd dan ironis!

Panggung politik menjadi ramai setelah Presiden Jokowi secara vulgar memberikan dukungan–dengan istilah cawe-cawe–kepada salah satu pasangan calon dimana di dalamnya ada anaknya. Syarat minimal calon 40 tahun berhasil diatasi melalui sidang MK sehingga Gibran yang masih 36 tahun bisa lolos dalam pilpres. Gempuran bansos menjelang pilpres, diduga menjadi bagian dari skenario itu.

Di tengah hiruk pikuk pilpres, presiden melantik Ketum Demokrat AHY menjadi Menteri ATR. Masih terngiang di telinga kita bagaimana anak SBY itu menyuarakan perubahan–saat masih berada dalam koalisi bersama Anies Baswedan–dan menyerang kegagalan proyek food estate yang menyangkut nama Prabowo. Sebuah langkah pragmatis dilakukan dan diambil anak muda yang sebetulnya masih memiliki masa depan yang panjang. Ketaksabaran berada di posisi oposisi nampaknya menjadi sebab mengapa kabinet tak ubah pasar blantik.

Demokrasi kita tentu saja berada di ambang masa yang kritis. Saat kondisi negara tak baik-baik saja, saat rakyat menanti kepastian beragam masalah hidup, elite mempertontonkan laku politik yang tak elok. Hatta menulis–menyitir ungkapan Schiller–suatu masa besar dilahirkan abad, tetapi masa besar itu menemui manusia yang kecil. Jika demokrasi masih bisa bertahan hidup dan bangkit di Indonesia, Hatta menyebut karena tiga hal: paham sosialisme yang bersendikan peri kemanusiaan, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan, serta karakter manusia Indonesia yang berdasar kolektivisme.

Jika banyak pihak terjebak pada wacana Indonesia Emas 2045 bisa jadi sepanjang itu pula jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan demokrasi kita. Jalan terjal jika semua anak bangsa meninggalkan akal.

Ksatrian Sendaren, 22 Februari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co