Oleh: Wahjudi Djaja*
Awal tahun 1996. Ruang Dosen Jurusan Sejarah di sayap utara FS UGM. Setelah lama menunggu akhirnya saya beranikan masuk. Hari itu jadwal konsultasi bimbingan skripsi Prof Suhartono. Betapa kaget, di dalam ruangan ada Dr Kuntowijoyo dan istrinya Dra Susilaningsih MA. Setelah memberikan sejumlah masukan, Prof Suhartono mempersilakan saya konsultasi langsung ke Prof Kunto yang beliau pandang ahli untuk tema skripsi yang saya tulis.
“Ini Sejarah Intelektual. Menarik. Anda harus membaca lebih banyak karya sastra dan pemikiran masa pergerakan nasional”, kata Prof Kunto dengan bantuan istrinya. Beliau kesulitan untuk berbicara. Pada 1992 dosen dengan jejak kepakaran yang luas ini terkena virus meningo encephalitis. Kami di Angkatan 1990 tak sempat memperoleh ilmu beliau secara langsung. Saya coba dekatkan posisi duduk di hadapan beliau agar lebih memahami masukan, sedang istrinya berdiri di samping beliau untuk menerjemahkan maksud Prof Kunto.
Setelah tiga bulan riset di Perpusnas Jakarta, skripsi berjudul “Bahasa dan Nasionalisme: Peran Bahasa Melayu Dalam Perjalanan Keindonesiaan 1900-1945” pun selesai pada 21 Juni 1996. Bukan tentang sejarah pergerakan nasional, tetapi–seperti kata Pak Kunto, demikian beliau akrab disapa–Sejarah Intelektual. Saya meneliti aspek kebahasaan untuk menemukan interelasi dengan masuk dan meluasnya paham kebangsaan (nasionalisme) pada awal abad XX. Sebuah ruang yang penuh kenangan. Seorang dosen yang sulit saya lupakan. Dan sebuah proses yang mengesankan hingga masih tetap menginspirasi dan menyala sampai saat ini.
Ilmuwan Tiga Jalan
Lebih dari sekedar seorang ilmuwan, Kuntowijoyo adalah profile terbaik untuk seorang ilmuwan yang digadang-gadang Maha Guru Sejarah Prof Sartono Kartodirdjo. Ilmuwan yang multidimensi karena kemampuan menganalisis sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang. Lahir 18 September 1943, meraih sarjana Sejarah UGM tahun 1969. Gelar MA (American History) diraih 1974 dari Universitas Connecticut AS. Gelar PhD Ilmu Sejarah diraih dari Universitas Columbia pada 1980 dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Pada 21 Juli 2001 menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Sejarah FIB UGM berjudul “Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu”.
Jika Fakultas Sastra UGM memiliki nama besar dan sering menjadi rujukan atau diperbincangkan dalam wacana ilmiah, bisa jadi Kuntowijoyo salah satu tokohnya. Tidak saja sebagai sejarawan yang paham detail sekaligus holistik, Kuntowijoyo adalah seorang budayawan yang diakui kepakarannya. Sebagai salah satu anggota PP Muhammadiyah, beliau termasuk berhasil mentransformasikan konsep kebudayaan dalam bingkai Muhammadiyah.
Saat menjadi pembicara dalam Kongres Kebudayaan di Jakarta 29 Oktober – 3 November 1991, Kuntowijoyo mengingatkan masyarakat masa depan:
Mengingat masyarakat masa depan adalah masyarakat rasional, maka harus dikembangkan sebanyak mungkin pemikiran rasional atas khazanah budaya kita. Ukuran penting bagi pengembangan kebudayaan hendaknya bersifat humanistik. Budaya yang mengingatkan harkat kemanusiaan hendaknya mendapat perhatian pemeliharaan dan pengembangan.
Fungsionalisasi budaya agama untuk menunjang pembangunan bukanlah alasan campur tangan pemerintah terhadap apa yang seharusnya dapat berkembang secara internal.
(Kompas, 1/11/1991)
Keluar dari ruangan berdebu–sekedar metafora atas kerja dalam kesunyian sejarawan–lalu terbang dengan gagasan tentang masa depan, jelas merupakan karakter Kuntowijoyo. Tak aneh, meski menjadi anggota ICMI suaranya tetap kritis terhadap kekuasaan meski dalam kemasan penuh kesopanan.
Saat meletus kerusuhan etnis di Kalimantan, Kuntowijoyo menulis Kolom di Tabloid ADIL berjudul “Dayak, Madura, Stereotif” (5/3/1997):
Bagaimana mengatasi stereotif itu? Pertama, dengan penyadaran. Pluralisme ditanamkan dalam kesadaran penduduk. Melalui pelajaran sejarah, wawasan nusantara akan terwujud. Kedua, seperti dilakukan di Amerika untuk mencampur antara Orang Hitam dan Orang Putih, yaitu program “busing”, berupa mengangkut dengan bis anak-anak sekolah supaya ada percampuran antar-ras. Ketiga, materi pluralisme ditambahkan pada bahan pelajaran yang ada muatan lokalnya.
Terlihat visi yang jelas tentang kebhinekaan dengan tetap berbasis sejarah. Pluralisme baru akhir-akhir ini dimasukkan ke dalam kurikulum, itupun tak sepenuhnya berhasil. Kuntowijoyo sudah jauh-jauh hari mengingatkan dan menyampaikan solusinya.

Selain dikenal sejarawan dan budayawan, Kuntowijoyo juga memiliki nama besar sebagai seorang sastrawan. Karya sastra berupa cerpen, novel, naskah drama dan puisi tidak saja bernas tetapi juga berkelas sehingga sering mendapat penghargaan. Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan sangat diminati kalangan sastra. Juga novel Pasar dan naskah drama Rumput-Rumput Danau Bento serta Topeng Kayu.
Jagad ilmu sosial tentu tak bisa melupakan bagaimana Kuntowijoyo mencetuskan Ilmu Sosial Profetik saat Temu Budaya di TIM pada 1986. Sebelumnya pada 1982 beliau secara brilian mencetuskan sastra transendental di TIM. Salah satu yang mendasari dicetuskannya ilmu-ilmu sosial profetik adalah kemandegan terkait peran ilmu sosial yang hanya menjelaskan fenomena sosial, tetapi tidak berusaha untuk mentranformasikannya. Di sisi lain, realitas sosial terus mengalami perkembangan.
Kamis sore (22/2/2024) saya ziarah ke makam Prof Dr H Kuntowijoyo MA. Kubersihkan rumput yang tumbuh di pusaranya, lalu kudoakan tulus ikhlas agar beliau diampuni, diterima amal baiknya dan ilmu yang beliau berikan menjadi amal saleh yang menemaninya di keabadian. Saya pribadi–meski tak banyak berinteraksi selain melalui kliping yang kukumpulkan–sangat beruntung memperoleh sentuhan pribadi yang hangat bersahaja ini.
Ya, Allah. Taburkanlah wangian di kubur Tercinta yang mulia dengan semerbak salawat dan salam sejahtera.
Aku ingin jadi pencuri yang lupa menutup jendela ketika menyelinap ke rumah Tuhan dan tertangkap.
(Makrifat Daun, Daun Makrifat, 1995)
Ksatrian Sendaren, 22 Februari 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



