Oleh: Wahjudi Djaja*
“Mengapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky yang Raja Jawa, Bu? Apakah Ibu tidak malu berjualan sukun goreng? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat“.
“Iya, sayang. Ibu mengerti. Tapi dengarkan, ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita mengambil milik orang lain yang bukan hak kita. Atau, mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu“.
Perbincangan klasik penuh kasih sayang itu terjadi sekitar 1948. Bukan di kalangan rakyat jelata, tetapi dalam sebuah keluarga petinggi negara yang belum genap tiga tahun merdeka. Antara Icah dan Tengku Halimah. Mereka adalah anak dan istri Sjafrudin Prawiranegara–sebagaimana ditulis dalam buku Belajar Integirtas Kepada Tokoh Bangsa terbitan KPK–tokoh utama yang menyelamatkan eksistensi NKRI saat ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dan para pemimpin negara ditawan lalu dibuang ke luar Jawa. Sjafrudin mendeklarasikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi Sumatra Barat.
Jika bukan integritas, keimananlah yang menjadi alas kehidupan mereka. Tak pongah setinggi apapun mereka, tak goyah seberat apapun ujian hidup mereka. Hidup adalah soal kesetiaan dan komitmen. Dan Sjafrudin–bersama barisan pertama para pendiri Indonesia–telah meletakkan karakter prima sebagai model terbaik teladan bangsa. Andai mau, Wakil Perdana Menteri dan Gubernur Bank Indonesia pertama ini tentu bisa saja merekayasa kebijakan untuk kepentingan diri dan keluarganya. Tetapi, laku hidup utama menjadi keseharian, dalam kondisi apa saja atau bertemu siapa saja. Kekayaan para pendiri bangsa adalah buku, pikiran, pengetahuan, dan pengalaman.
Saat negara dihantam badai krisis–utang, inflasi, dan harga yang sama-sama tinggi–bisa memporak porandakan persatuan, Sjafrudin mengambil langkah kuda. Saat menjadi Menkeu dalam Kabinet Hatta II, dia menerapkan kebijakan moneter yang fenomenal pada 10 Maret 1950. Saat itu ada tiga mata uang yang masih berlaku: Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang keluar De Javasche Bank, dan mata uang NICA Belanda. Untuk mengendalikannya, Sjafrudin memutuskan pecahan Rp 5 ke atas uang De Javasche Bank dan uang NICA digunting menjadi dua. Guntingan sebelah kiri sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai nominal setengahnya, sedang sebelah kanan ditukar dengan obligasi negara. Kebijakan ini kemudian dikenal sebagai “Gunting Sjafrudin”.
Mentalitas pemimpin yang berintegritas dan bernyali jelas dibutuhkan saat negara dilanda krisis. Merekalah–para pendiri bangsa itu–yang memiliki karakter elang, rajawali, garuda. Tak sembunyi saat badai datang, tetapi justru terbang di ketinggian perspektif. Pada diri mereka ada keteladanan yang bersumber dari kuatnya menjaga etika dan moralitas. Tanpa pamrih selain demi normal dan kukuhnya perekonomian bangsa. Dan di ujung sana, nasib hidup rakyat tengah di pertaruhkan.
Indonesia telah merdeka 79 tahun. Amanat sejarah untuk mewujudkan keadilan sosial masih jauh panggang dari api. Sementara itu, prevalensi stunting di Indonesia tahun 2023 masih 21,6%. Di sisi lain, rakyat masih harus antre beras miskin justru belum lama setelah janji politik diucapkan pada Pilpres 2024. Negara agraris dengan sawah yang subur dan sumber daya alam yang kaya raya tetapi belum juga lepas dari jerat kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan lama didengungkan tetapi membentur praktik korupsi yang kian bebas dan menggurita.
Bagaimanapun kepemimpinan nasional adalah kunci utama yang masih terus dicari model terbaiknya. Bukan lagi soal sipil dan militer, Jawa dan luar Jawa, atau politis dan teknokrat. Namun, pasangan yang berani menyalakan kembali api sejarah, meneladani dan melaksanakan pesan kejuangannya dan membumikan dalam konteks keindonesiaan masa kini ke depan. Tak perlulah meniru Orde Baru–yang mengangankan Era Tinggal Landas–dengan membuat impian Indonesia Emas 2045. Cukup buka kembali Pembukaan UUD 1944 dan laksanakan empat visi untuk apa negara ini didirikan.
Ksatrian Sendaren, 10 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)



