Supersemar dan Bablasan Orde Baru

Oleh: Wahjudi Djaja*

Dalam sebuah acara, pada 1966, Cindy Adams bertanya kepada Bung Karno tentang pemberitaan sejumlah media massa terkait pengambilalihan kekuasaan. Sambil menunjuk kening, Bung Karno berkata, “Crazy!”. Dia lalu menguraikan dan memberikan klarifikasi kepada Cindy yang tengah membuat biografinya. Karyanya, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia masih bisa dibaca. Tetapi, sampai Bung Karno wafat 1972–bahkan sampai Orde Baru tumbang 1998 dan sampai sekarang–suksesi kekuasaan di sekitar 1966 itu masih diliputi kabut misteri.

Surat Perintah Sebelas Maret yang kemudian akrab disebut Supersemar bagaikan pusaka sakti bagi Suharto. Digunakan untuk merebut dan melegitimasi kekuasaan lalu hilang tanpa jejak. Di ANRI ada beberapa versi tetapi mana yang resmi, autentik dan legal belum ada kepastian.

Sakralisasi Kekuasaan

Bulan Maret kemudian mengalami glorifikasi yang luar biasa masif selama era Orde Baru. Suharto nampaknya paham benar bagaimana membingkai momentum dengan sakralisasi. Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak saja diangkat dan direkayasa dengan memasukkan dirinya sebagai aktor utama, tetapi juga dikemas dalam bentuk buku dan film. Prahara 1965 pun demikian, disusun buku dan film berjudul Pengkhianatan G 30 S/PKI. Program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang digerakkan tak lepas dari sakralisasi bulan Maret, dimulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974. Ini berulang setiap lima tahun sampai tumbang pada 1998. Para mahasiswa miskin yang berprestasi merasakan peranan beasiswa Supersemar.

Secara sistematis Suharto menata kekuasaan dalam bingkai aristokrasi Jawa dengan sumbu utama Pangeran Sambernyawa (Mangkunegara I) yang dianggap menurunkan keluarga Siti Hartinah (Bu Tien). Ajaran Tripama–kombinasi tiga watak Patih Suwanda, Adipati Karna dan Raden Kumbakarna–karya Mangkunegara IV dijadikan pilar utama. Sedang terkait kepemimpinan dia mendasarkan pada watak delapan unsur alam dewata yang dikenal dengan Astabrata. Representasi yang diangkat adalah tokoh Semar, Sang Pamomong. Praksisnya, disusunlah Eka Prasetya Panca Karsa dengan 36 butir yang diambil dari lima sila dalam Pancasila yang dijadikan satu-satunya asas.

Jiwa anak petani tak luput diangkat sebagai upaya mendekati rakyat. Terngiang bagaimana Suharto dengan luwes dan menguasai dunia kepertanian saat ada acara Kelompencapir. Dia kemudian memperoleh penghargaan FAO atas keberhasilan swasembada. Tokoh militer dengan basis budaya Jawa kemudian disegani dunia karena kemampuannya mengelola kekuasaan. Kegaduhan politik era Orde Lama dijadikan pelajaran untuk melakukan fusi hingga hanya ada Golkar dan dua partai politik (PPP dan PDI). Kombinasi Golkar dan ABRI terbukti efektif menopang kekuasaan sampai tiga puluh tahun.

Gaya militeristik dengan pola sentralistik mempersempit kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sirkulasi proyek hanya bertumpu pada lingkaran terdekat, AMPI (Anak, Menantu, Ponakan, Istri). Tentu, tak berarti tak ada korupsi sebagaimana Eddy Tansil yang “hanya” merampok uang sekitar 1,3 T. Dengan korupsi sebesar itu, publik digegerkan dalam waktu yang lama terkait “katebelece” yang membuka praktik kotor itu.

Kekuasaan yang akut tak mampu menghadapi dinamika perubahan zaman. Rezim Orde Baru tumbang setelah serangkaian krisis moneter dan politik mengiringi tahun 1997-1998. Suharto harus realistis menatap kekuasaan saat akumulasi kemarahan rakyat tak lagi bisa dibendung. Beragam cara dan siasat dilakukan demi buying time dengan peluang yang ada. Rasa percaya dirinya hilang saat satu demi satu orang kepercayaannya di kabinet mundur. Suharto harus lengser keprabon pada 21 Mei 1998 akibat kuatnya gerakan reformasi.

Sejarah yang Penuh Sumpah Serapah

Tak pernah diduga bahwa gerakan reformasi yang menelan ratusan korban meninggal hanyalah jeda kekuasaan. Bisa jadi sama dengan era awal Orde Baru sampai 1974 saat bulan madu demonstran dan kekuasaan terjadi. Setelah itu, kekuasaan memperkuat diri dengan caranya sendiri, sementara kalangan demonstran sulit melalukan konsolidasi demokrasi. Bagaimana bisa orang yang paling lantang teriak reformasi, merasakan sekapan penjara, justru kemudian berdiri di jajaran kekuasaan yang menegasikan hak asasi manusia dan demokrasi.

Benar kata mendiang Mochtar Pabottingi, kita perlu mewaspadai apa yang dia sebut sebagai “bablasan Orde Baru”. Orde Baru, katanya dalam sebuah kesempatan, adalah sebuah praksis seperti gelembung Rahwana yang meskipun rezimnya sudah tidak ada tetapi gelembung itu memasuki mereka yang berada dalam kekuasaan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuannya. Bagaimana bisa di era yang sedemikian transparan–dimana rekam jejak bisa dengan mudah ditemukan dan diangkat–praktik penyimpangan dan penyelewengan bisa dilakukan tanpa rasa takut dan bersalah. Praktik KKN jauh lebih parah dibanding era Suharto, bahkan ketatanegaraan kita jauh lebih kedodoran dibanding era Orde Baru.

Sejarah hanyalah kisah masa lalu. Tetapi mengulangi kesalahan yang sama hanya bisa dilakukan oleh orang yang dungu. Saat 280 juta penduduk menghadapi masa depan penuh dengan ketakpastian, kita melihat elite dengan tenang menata kekuasaan. Sungguh, sebuah pemandangan yang tak elok dilihat. Benar kata Cak Nun, kalau dalam kondisi seperti sekarang Anda tak cemas, artinya akal sehat Anda tak waras.

Ksatrian Sendaren, 11 Maret 2024
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *