Bukan, Kita Bukan Bangsa Pelaut

Oleh: Saleh Abdullah*

“Beta ‘toma’ sandiri organisasi ini, Kaka. Tamang-tamang lain su pi. ‘Panggayo’ sandiri sudah.” Begitu pesan singkat seorang sahabat. Dari logat yang ia gunakan Anda tahu ia dari mana. Ya, Indonesia Timur. Maluku tepatnya.

‘Toma’ berarti perahu maju ke muka melawan arus. ‘Panggayo’ berarti mendayung. Keseluruhan kalimat teman di atas berarti, “Ia berusaha keras seorang diri, menghadapi segala rintangan, untuk menghidupi organisasinya.”

Terma-terma seperti “toma” dan “panggayo” jelas muasalnya. Itu kata-kata orang laut. Bahasa mereka yang akrab dengan budaya maritim. Ada banyak contoh lagi.

Di Kei (Nuhu Evav) Maluku Tenggara, ada frasa “meti kei” untuk menggambarkan seseorang yang sudah tidak punya uang sama sekali, alias tongpes, di dompetnya. “Meti” adalah kondisi air laut ketika surut. Surut laut di beberapa wilayah di Kei, bisa sangat jauh dan luas. Bisa berkilometer. Satu hamparan akan kering sama sekali seperti lapangan. Nanti baru digenangi air laut lagi ketika pasang. Keadaan “meti” itulah yang digunakan oleh mereka untuk menggambarkan betapa sedang bokeknya seseorang.

Saya juga pernah mendengar ungkapan seseorang pada orang lain yang dianggap tidak mengerti sebuah persoalan: “Ditanya laut jawab darat. Ditanya darat jawab laut.” Di Sulawesi dikenal peribahasa: “Bila layar sudah terkembang, pantang biduk surut ke pantai.”

Begitulah bahasa dan wacana bangsa-bangsa bahari. Bangsa maritim.

Fariz Alnizar, pengajar lingustik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, menulis sebuah essay “peringatan” di Majalah Tempo, 10 Maret 2024, bertajuk “Bahasa Kita Makin Menjauhi Lautan.”

Katanya: “Predikat negara maritim tampaknya tidak lantas membuat kita memiliki kesadaran tentang kelautan, meskipun kita punya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di hadapan laut, nyatanya kita kesulitan melepaskan diri dari watak agraris. Pola pikir kita, termasuk bahasa kita, tidak hanya membelakangi, tapi justru makin berlari menjauhi lautan.”

Ingat, panjang garis pantai dari seluruh pulau di Indonesia mencapai 81.290 km lebih. Menempatkan Indonesia sebagai negara yang mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada. Tetapi pengaruh semangat budaya maritim kita semakin terkikis. Budaya agraris kita semakin menunjukkan dominasinya. Menurut istilah Alnizar, kita semakin “memunggungi lautan.”

Pernahkah kita mempunyai pemimpin “orang laut” yang benar-benar paham dunia maritim dan budayanya? Hmm…

Usai roman sejarahnya Arus Balik terbit, saya menemani seorang teman mewawancarai Pram. Pram ketika itu bilang kira-kira begini: “Kita ini bangsa maritim. Tapi politik kekuasaannya dikuasasi orang-orang daratan. Makanya budaya maritim tidak pernah berkembang.”

Secara mentalitas dan karakterpun kita lebih dekat ke orang agraris, katimbang orang laut.

*Penulis senior

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co