84 Tahun Sapardi Djoko Damono: Jawa Antara Kata dan Rasa

Oleh: Wahjudi Djaja*

Ada tiga sastrawan yang tumbuh dari harmoni budaya Jawa tetapi besar dengan karakter yang berlainan. Ketiganya adalah Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020), WS Rendra (7 November 1935 – 6 Agustus 2009) dan Umar Kayam (30 April 1932 – 16 Maret 2002). Kebetulan mereka bertiga pernah mengenyam pendidikan di Bulaksumur pada Fakultas Sastra UGM.

Jawa dalam pandangan Sapardi–setidaknya dalam pengantar buku Umar Kayam “Sugih Tanpa Banda”–mengalami paradoks dalam kebudayaan Jawa.
Di satu pihak menarik garis batas (yang sering sangat tegas) antara priyayi dan wong cilik, di lain pihak mensyaratmutlakkan “persamaan derajat” antara keduanya dalam setiap segi keberadaan kebudayaan itu“.

Jawa adalah semesta makna simbolik, tetapi menarik pembatasan pengertian kebudayaan seperti yang disampaikan Sapardi. Penjenjangan antara wong cilik dengan priyayi sangat kentara terlihat dalam pelaksanaan tradisi, tata krama dan kebahasaan. Dalam kehidupan wong cilik hal itu cair dan cenderung egaliter, sedang di kalangan elite priyayi masih kental dan cenderung tertutup.

Lain halnya dengan Umar Kayam. Pak Ageng ini melihat–dengan kejengkelan–orang bukan Jawa, terutama bule, yang menganggap priyayi itu dalam pengertian yang fix.
Seakan-akan priyayi itu merupakan dunia yang jelas sekali. Kan untuk mereka itu penting sekali konsep alus kasar. Ya, memang itu ada. Tapi saya ingin memahami dunia priyayi dari dalam, bagaimana dunia itu dihayati oleh orang-orang yang kepingin menjadi priyayi, ingin mengalami suatu social mobility yang vertikal“.
(Kompas, 3/6/1992).

Sedangkan Rendra menempatkan Jawa sebagai semesta simbolik yang kaya dengan pesan kesejarahan. Saat menyampaikan pidato penganugerakan Doktor Hc UGM (4/3/2008), Rendra membacakan pidato “Megatruh Kambuh, Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu”. Dia mengutip pesan Ronggowarsito mengenai tiga zaman, yakni Kalatida ketika zaman ketika akal sehat diremehkan, Kalabendu yakni hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan dan Kalasuba atau zaman stabilitas dan kemakmuran.

Yang dianjurkan Ronggowarsito agar selamat di masa Kalatida adalah selalu sadar dan waspada, tidak ikut permainan gila. Sedang di masa kalabendu, harus berani prihatin sabar, tawakal, dan selalu di jalan Allah. Saat di zaman Kalasuba ditandai adanya ratu adil“.
(detikNews, 4/3/2008)

Dalam perkembangannya, ketiga sastrawan itu memiliki corak dan karakter karya yang berlainan. Sapardi hadir dengan puisi yang mengharu biru rasa. Kata-kata yang dirangkai menjadi ramah bahkan indah bagi anak muda zaman sekarang. Ambillah contoh puisi Aku Ingin atau Hujan Bulan Juni. Dia selalu nongol di berbagai platform manakala masuk bulan Juni. Sedangkan Rendra konsisten dengan menjaga daya hidup sebagai manusia merdeka. Sajak-sajaknya menghantam tatanan yang mencoba meninabobokan akal sehat, demokrasi dan kohesi sosial dalam artikulasi yang tak berubah. Sedangkan Kayam memotret dunia priyayi yang diangankan dalam novel Para Priyayi. Transformasi menjadi kata kunci dalam balutan jagat gede dan jagat cilik yang dinamis.

Jika Jawa dipahami sebagai ruh budaya, maka dia akan mengalir dalam beragam karya seperti ditunjukkan pada karya ketiganya. Namun, ada juga yang melihat Jawa sebagai laku. Sebuah proses persenyawaan antara manusia dengan semesta dimana kasadaran–dalam bahasa Rendra–adalah matahari. Zaman boleh berganti tetapi selama kesadaran masih bersemayam dalam diri, manusia tetap akan eksis dengan beragam nilai keutamaan dan seperangkat daya hidup.

Sapardi Djoko Damono (Foto: Republika, 17/1/1993)

Hanya saja, dalam pandangan Sapardi, waktu adalah fana. Dia bisa rusak, hilang, berganti atau mati. Kita perlu merenungkan kenapa justru “kita ” yang abadi. Kualifikasi manusia seperti apakah yang menjadikan kita abadi dalam jelajah waktu. Atau, amalan apa yang kita perbuat sehingga kita bisa meng-abadi?

Itulah renungan yang dititipkan Sapardi seiring 84 tahun kelahirannya. Sapardi, sebagaimana Rendra dan Kayam telah mampu mengolah rasa dalam kata yang melintasi ruang dan waktu. Dan itu bukan pekerjaan sesaat atau instan. Ketiganya kuat dalam laku yang mendekatkan mereka pada keheningan, kesunyian, manekung.
Kita abadi memungut detik demi detik
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi

Ksatrian Sendaren, 20 Maret 2024
*Alumni FS UGM


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co