Tradisi Ujung: Kehangatan Kohesi Sosial di Hari Lebaran

Oleh: Wahjudi Djaja*

Kepareng matur wonten ngarsanipun Bu Haji, kula ing mriki sowan hamakili sadoyo pengurus takmir Masjid Baitul Jannah ngaturaken Sugeng Riyadi, nyuwun pangapunten awit sadoyo kelepatan ingkang kula sengaja tuwin mboten, mugi-mugi linebur wonten ing diten Riyadi punika. Pangestunipun Bu Haji ingkang kula suwun.

Senja hujan selepas Magrib, datang tiga orang mewakili pengurus takmir Masjid Baitul Jannah, dusun Gamping, Gunung Gajah, Bayat, Klaten. Mereka adalah Tukisman, Sukisno dan Tukimin. Secara sosilogis mereka lahir dan tumbuh dalam budaya agraris meski Bayat dikenal sebagai daerah tandus. Pemahaman agama (Islam) mereka berbasis Jawa. Lama dusun ini tak memiliki masjid, belajar mengaji Alquran hanya dilakukan di rumah tokoh, itu pun dengan ejaan yang njawani. Tak aneh jika bacaan Surat Al Kautsar, innaa a’taina kal kauthar berubah menjadi Eno taeno kal kausar.

Namun soal etika, tata krama, subasita, mereka empan papan mapan manggon. Tahu diri kepada siapa mereka bicara dan bertingkah laku. Seperti yang terjadi pada saat selesai salat Ied di Lapangan SD Tegalrejo I. Mereka sudah bertemu dan salaman, tetapi belum sempurna kalau belum sowan pinisepuh (berkunjung ke orang tua atau dituakan di kampung). Itulah yang terjadi senja selepas Magrib.

Tetangga menghampiri Ibu seusai salat Ied (Foto: Wahjudi Djaja)

Setelah saya temani berbagi cerita tentang masa lalu atau menjawab beberapa pertanyaan mereka seputar kehidupan di Sleman, Ibu (Hj. Sundari) datang di ruang tamu dengan bantuan penyangga. Maklum, usia Ibu sudah relatif sepuh, beliau lahir 1940. Dituakan bukan karena usia, tetapi kesetiaan mendampingi Bapak (alm) dalam hidup bermasyarakat di Gamping, termasuk saat awal membangun Masjid Baitul Jannah era 1990-an. Meski berbeda kalurahan hanya berbatas sungai kecil, kami justru hangat bermasyarakat dengan sanak sedulur dusun Gamping (Gunung Gajah dimana ada masjid) dibandingkan dengan dusun kami sendiri di Gamping (Tegalrejo). Bahkan, itu jauh dilakukan Mbah Demang Darmorumekso. Orang tua mereka dulu selalu sambang ke kademangan di kala malam. Kami hanya meneruskan tradisi sejarah, termasuk tradisi ujung.

Tiap lebaran warga datang ke rumah dari berbagai penjuru. Simbah dulu demang, lalu lurah, dan rumah adalah kademangan atau kantor kalurahan. Bapak (alm) dan Ibu hanya menyambung silaturahmi sampai sekarang. Itu sebuah kehormatan bagi kami.

Ujung pada sosok yang belum terlalu sepuh (Foto: Wahjudi Djaja)

Terkait tradisi ujung, tentu telah berakar lama dalam kehidupan kami. Dua pengertian bisa dicatat dari tradisi itu. Pertama, secara bergelombang sanak sedulur dan tetangga berjalan dalam kelompok-kelompok. Dipimpin oleh orang yang paling fasih berbahasa Jawa mengingat yang disowani, didatangi, tidak saja pinisepuh tetapi juga masih kuat mencengkeram budaya Jawa. Mereka berjalan dari ujung ke ujung untuk ngabekti, silaturahmi sambil memohon maaf. Pernah, waktu kecil dulu, pintu-pintu rumah masih terbuka meski telah tengah malam. Hanya untuk menerima tamu yang akan ujung. Dalam pengertian ini, ujung dimaknai pergerakan sekelompok manusia menyangkut cakupan geografis.

Kedua, ujung bisa merujuk pada pertemuan dua tangan antara yang disowani (didatangi) dengan yang sowan (datang). Lihat foto di atas. Bu Haji duduk di kursi, sedang Tukimin merendah sambil mempertemukan kedua ujung tangan. Seperti salaman, tetapi tak terlalu erat sempurna seperti kalau kita melakukannya pada teman sebaya. Ada etika yang harus dijaga. Ada bahasa yang menjadi media. Dan bahasa Jawa–yang berjenjang dengan mempertimbangkan status, usia serta strata sosial–harus disampaikan dalam rasa yang pas. Posisi Tukimin sebagai pihak yang muda terlihat jelas menunjukkan kelapangan, keikhlasan, dan kesadaran dalam konteks hubungan sosial masyarakat Jawa. Dan posisi Bu Haji yang menunduk untuk mendengar penuh ketulusan menandakan kesediaan untuk menerima pengakuan akan kesalahan, dengan struktur bahasa yang penuh pangrengkuh, penerimaan pada yang muda.

Kondur sami-sami Nak Tukimin. Kula ingkang kapatah langkung sepuh temtu kathah klenta klentunipun. Saestu kula nyuwun pangapunten, mugi-mugi Allah tansah paring ridlo lan inayah dateng kita sadoyo saperlu nglajengaken amanah lan sejarah.

Tradisi ujung adalah prosesi paling sakral dalam konteks lebaran. Orang belum bisa disebut sepuh (tua) jika belum bisa membawakan diri dalam memimpin keluarga atau rombongan saat ujung dalam bahasa Jawa krama halus. Bahkan, dahulu kelompok remaja harus berlatih dulu sebelum ujung ke pinisepuh. Masing-masing elemen, baik yang muda maupun tua, tak akan bisa berkomunikasi penuh kehangatan dalam bahasa Jawa yang halus jika di hati masih ada ganjalan apalagi dendam. Artinya, pada titik itulah penyucian diri sedang berlangsung.

Rombongan anak-anak ujung dipimpin yang tertua (Foto: Wahjudi Djaja)

Zaman bergerak, generasi pun berganti. Semakin langka masyarakat yang masih bertahan dengan tradisi ujung dalam format dan tatacara sesuai tradisi. Orang semakin praktis dan pragmatis dengan alasan kesibukan. Cukup dengan bersalam-salaman di lapangan setelah salat atau berkumpul di masjid lalu bersalam-salaman melingkar dari ujung ke ujung. Bahkan, semakin dalam teknologi memasuki kehidupan masyarakat, format permohonan maaf pun semakin simpel. Kirim whatsapp, komentar di facebook atau kirim flyer di instagram.

Saat teknologi mengusai hampir semua sisi kehidupan, kohesi sosial semakin renggang dan tak hangat lagi. Lebaran bukan lagi arena atau momentum untuk me-refresh diri agar ada pencerahan dan energi baru tetapi sebuah etalage peradaban baru yang lengkap dengan beragam komoditas sesuai karakter zaman. Jawa–karena dianggap ribet dan memakan waktu–akhirnya semakin hilang. Apa boleh buat.

Ksatrian Sendaren, 10 April 2024
*Budayawan Sleman, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *