112 Tahun Kak Sultan, Bapak Pramuka Indonesia

Oleh: Wahjudi Djaja*

12 April 1912 adalah hari lahir Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Raja Yogyakarta yang tidak saja menjadi raja pertama di Nusantara yang berdiri di belakang Proklamasi 1945 tetapi juga yang berjibaku menopang tegaknya NKRI saat masih belia. Diakui peran kepeloporannya dalam melahirkan dan memimpin Gerakan Pramuka, melalui SK Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 046 Tahun 2018, tanggal 12 April ditetapkan sebagai Hari Bapak Pramuka Indonesia.

Momentum kelahiran Bapak Pramuka tahun ini dicemari dengan kebijakan Mendikbud yang tak lagi menempatkan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah. Opini berikut akan mengelaborasinya dikaitkan dengan peran kesejarahan Kak Sultan.

Dari Padvinder, Pandu ke Pramuka

Ngarsa Dalem lahir saat padvinder (kepanduan) masuk ke Indonesia. Pada 1912 orang Belanda mendirikan Nederlansche Padvinders Organisatie (NPO). Mangkunegara VII kemudian memprakarsai berdirinya Javaansche Padvinders Organisatie (JPO). Kepanduan menjadi elemen penting bagi tumbuh kembang nasionalisme dan pergerakan nasional. Hampir semua organisasi pergerakan nasional mempunyai eksponen muda yang tergabung dalam padvinder. Fenomena ini mengkhawatirkan kekuasaan Belanda sehingga pada 1926 melarang gerakan padvinder.

Agus Salim kemudian mengusulkan penggunaan istilah kepanduan, sedang perguruan Muhammadiyah membentuk Hizbul Wathan dengan tokoh Sudirman. Padvinder atau kepanduan menjadi kelompok protagonis bagi berkembangnya nasionalisme 1928 yang mencapai klimaks pada 1945. Ngarsa Dalem yang sejak dini dididik ayahandanya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII untuk belajar dan berinteraksi dengan beragam latar belakang masyarakat mulai aktif menjadi padvinder tahun 1921. Dorodjatun masuk dalam kelompok Welp (Siaga) kategori usia 6-11 tahun. Peran kesejarahan dan jasanya semakin besar bagi tumbuh kembang kepanduan sampai periode awal kemerdekaan.

Ngarsa Dalem antara lain mengusulkan nama Pramuka sebagai pengganti kepanduan. Pramuka diambil dari istilah Jawa para muka yang artinya pasukan terdepan dalam peperangan. Harapan Ngarsa Dalem adalah generasi muda menjadi pionir pembangunan bangsa. Kita kemudian mengenal Para sebagai kesatuan prajurit angkatan udara dan Resimen Pramuka sebagai kekuatan inti polisi militer. Makna Pramuka kemudian diperkaya menjadi Praja Muda Karana oleh Soemartini, mahasiswa Fakultas Sastra UI yang kemudian dikenal sebagai Kepala ANRI.

Peran Ngarsa Dalem yang fenomenal adalah menyatukan 60-an organisasi kepanduan. Dalam banyak kesempatan Presiden Sukarno konsultasi kepada Ngarsa Dalem selaku Pandu Agung agar kepanduan bisa berperan lebih aktif dan efektif bagi bangsa. Pramuka akhirnya menjadi organisasi resmi yang tertuang dalam Tap MPRS Nomor II/MPRS/1960. Bersama Prof Prijono, Azis Saleh dan Achmadi, Ngarsa Dalem menyusun Anggaran Dasar Gerakan Pramuka hingga keluar Keppres Nomor 238 Tahun 1961.

Tokoh yang akrab disapa Kak Sultan ini kemudian dilantik sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka pada 14 Agustus 1961 ditandai penerimaan Panji Kepramukaan dari Presiden Sukarno dalam defile di Istana Negara. Ngarsa Dalem bahkan memimpin Pramuka selama empat periode (1961-1963, 1963-1967, 1967-1970, 1970-1974).

Kepeloporan Ngarsa Dalem pun diakui badan dunia sehingga memperoleh Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada 1973.

Menegasikan Pramuka Meminggirkan Sejarah

UU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka dengan jelas menempatkan Pramuka sebagai kawah candradimuka bagi generasi muda untuk mendapatkan kesempatan pengembangan potensi diri, pembentukan akhlak mulia, pengendalian diri dan kecakapan hidup. Bahkan pada pasal 10 disebutkan sistem pendidikan yang digunakan adalah sistem among, model pendidikan warisan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa.

Sistem among merupakan proses pendidikan kepramukaan yang membentuk peserta didik agar berjiwa merdeka, disiplin dan mandiri dalam hubungan timbal balik antarmanusia (ayat 2). Prinsip kepemimpinan yang diterapkan adalah di depan menjadi teladan, di tengah membangun kemauan, di belakang mendorong dan memberi motivasi kemandirian.

Cukup mencengangkan bahwa Mendikbud mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah yang menghapus Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib di sekolah. Ketika generasi penerus bangsa semakin dijauhkan dari pendidikan karakter dan kepribadian, entah seperti apa masa depan bangsa ini.

Kurikulum Merdeka yang diterapkan belum sepenuhnya mampu meng-cover kebutuhan mental kepribadian siswa, kini diikuti dengan menegasikan gerakan Pramuka. Rasanya, cukup rasional kalau kita khawatir dengan arah pendidikan nasional kita. Semoga Mas Menteri masih mau berlapang dada untuk mendengar aspirasi orang tua, guru dan masyarakat yang ingin memiliki generasi penerus bangsa yang Pancasilais, tangguh, sehat, humanis dan berkepribadian.

*Wahjudi Djaja, S.S., M.Pd, Dosen STIEPAR API Yogyakarta, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama).

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co