Oleh: Anif Punto Utomo*
Pesona Sungai Garonne, Bordeaux
Bordeaux. Seandainya Herdy tidak kuliah di kota itu, mungkin saya tidak akan mengenalnya. Nama Bordeaux jarang mampir di telinga tidak seperti Paris, Lyon, Mersailles, Nantes, ataupun Tolouse. Rupanya Bordeaux merupakan salah satu kota pelajar di Perancis. Ada puluhan mahasiswa dari Indonesia yang menimba ilmu di kota yang terkenal sebagai penghasil anggur kelas dunia.
Pagi itu, Kamis 6 Juli 2023, kami bergegas meninggalkan hotel menuju stasiun metro (subway) Madeleine. Tujuannya ke stasiun kereta antarkota Paris Gare Montparnasse. Untuk sampai ke stasiun itu kami harus berpindah metro dua kali. Untung hanya membawa ransel dan satu koper kecil, koper besar yang kami bawa dititipkan di hotel.
Ketika kereta metro sudah sampai tujuan, ternyata posisi stasiun antarkota tersebut berada di permukaan, tidak di bawah tanah, sehingga kami harus naik tangga sampai tiga level. Waktu sudah agak mepet, kami perlu sedikit berlari sambil mata waspada melihat petunjuk arah agar tidak salah jalan. Sekali salah jalan repot, bisa-bisa ketinggalan kereta.
Sampai di atas, kereta Train a Grande Vitesse (TGV) yang akan kami tumpangi ke Bordeaux sudah menunggu. TGV merupakan kereta cepat pertama di Eropa. Presiden Perancis Francois Mitterand yang meresmikan kereta api tercepat di dunia itu pada 22 September 1981. Rute pertama yang dilayani adalah dari Paris menuju Lyon.
Sekitar enam menit duduk di kursi dan nafas masih belum normal, TGV berangkat mengantarkan kami ke Kota Anggur. Dengan kecepatan rata-rata 320 kilometer per jam (kecepatan dapat dipantau di layar televisi yang ada di tiap gerbong), Paris-Bordeaux yang berjarak 499 kilometer ditempuh 2 jam 11 menit karena harus singgah di tiga stasiun. Harga tiket cukup mahal, 73 euro (Rp 1,22 juta) per orang.
TGV yang sekarang dioperasikan adalah generasi ketiga, memiliki gerbong dua tingkat (bi-level). Sekali jalan bisa mengangkut 508 penumpang. Kami mendapat nomor kursi di lantai atas sehingga pemandangan yang dilihat lebih luas. Di tiap tingkat gerbong ada 20 pasang kursi, separuh menghadap ke depan, separuh yang lain menghadap belakang. Di dekat pintu masuk kereta tersedia ruang untuk menempatkan koper-koper berukuran besar. Sepeda juga bisa dibawa.
Kereta begitu nyaman, tidak ada suara saat melewati sambungan rel. Pemandangan di perjalanan dihiasi lahan pertanian yang luas. Sesekali terlihat kincir angin untuk menghasilkan listrik. Ada yang berputar pelan, ada yang tidak. Sambil menikmati indahnya pemandangan, saya membayangkan tak lama lagi akan naik kereta cepat Jakarta-Bandung yang mungkin lebih nyaman.
Lebih nyaman? bisa jadi, karena konon ketika uang koin diletakkan berdiri di kereta cepat Jakarta-Bandung, tidak jatuh. Ketika saya coba hal yang sama di TGV, langsung menggelinding.

Saat memasuki Bordeaux, kereta melintas sungai besar: Sungai Garonne. Sungai ini membelah kota Bordeaux sebagaimana Sungai Seine membelah kota Paris. Sungainya lebih lebar dari Seine, tetapi airnya tak sejernih Seine. Persamaannya, beberapa area wisata berada di tepian Sungai Garonne yang mengalir ke Samudera Atlantik.
Di sepanjang tepi Sungai Garonne, terdapat trotoar (pedestrian) luas yang menyajikan pemandangan indah sehingga menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat dan wisatawan untuk bersantai, berolahraga, dan menikmati suasana kota. Sungai Garonne memberikan pesona khusus bagi kota Bordeaux. ‘’Besok pagi lari di tepian sungai ini nih,’’ batin saya.
Waktu menunjukkan pukul 06.30. Rute untuk lari pagi sudah saya siapkan tadi malam. Dari penelusuran ternyata hanya sedikit tempat rekomendasi wisata yang berada di jalur sepanjang Sungai Garonne. Beberapa di antaranya Place de la Bourse, Place de Quinconces, dan Rue Sainte Catherine. La Cité du Vin, atau museum wine sebetulnya dipinggir sungai namun lokasinya terlalu jauh. Rekomendasi wisata seperti Bordeaux Cathedral, Musée d’Aquitaine, dan Victory Square agak jauh dari sungai.
Setelah melakukan pemanasan dan peregangan secukupnya, langkah pertama dijejakkan pukul 06.48. Suhu udara sekitar 23 derajat selsius. Dari hotel menuju sungai sekitar 800 meter, dari situ kemudian baru mulai menyusur sungai. Selama di jalan menuju sungai sama sekali tak berpapasan dengan orang yang berlari, baru ketika sudah di trotoar sungai terlihat beberapa orang berolahraga, ada yang lari, ada yang jalan, ada yang senam.
Trotoar pinggiran sungai sangat lebar, antara 10-20 meter. Leluasa sekali untuk berolahraga. Beberapa burung merpati mulai terlihat mencari-cari makanan di pangkal-pangkal pohon yang menghiasi trotoar. Di sebuah kursi panjang terlihat seorang gelandangan masih meringkuk tidur berselimut warna coklat tua yang kumal.
Tempat pertama yang saya lewati adalah Place de la Bourse. Zaman dahulu, tempat yang juga dikenal dengan nama Place Royale ini menjadi pusat aktivitas keuangan dan perdagangan. Gedung itu mendukung kota Bordeaux yang terus berkembang sebagai pusat perdagangan anggur pada abad 18. Kini bangunan megah itu masuk dalam daftar Unesco World Heritage.
Pembangunan Place de la Bourse dilakukan atas perintah Raja Louis XV pada tahun 1730. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa betapa kota Bordeaux merupakan kota perdagangan yang makmur. Proyek pembangunan ini dipercayakan kepada seorang arsitek bernama Jacques Gabriel, yang sebelumnya berhasil merancang Place de la Concorde di Paris. Konstruksi Place de la Bourse dimulai pada 1730 dan selesai pada tahun 1755.
Place de la Bourse dirancang dengan gaya arsitektur klasik yang indah sekaligus elegan. Keindahan dan keeleganan bangunan itu dipercantik dengan adanya kolam reflektif (persis di tepi sungai) yang berada di seberang jalan. Kolam reflektif ini menciptakan efek cermin besar yang memantulkan keindahan de Bourse, sehingga menjadikannya salah satu daya tarik wisata terkenal di Bordeaux. Di sore hari banyak anak-anak bermain di kolam itu.

Lari dilanjutkan ke arah utara sampai ke hotel Bourse Maritime. Hotel itu dulunya adalah gedung pusat kegiatan perdagangan maritime yang dikenal sebagai Palais de la Bourse Maritime, yang berarti ‘Istana Perdagangan Maritim’.
Setelah sedikit melewati hotel Bourse Maritime saya balik arah. Inginnya diteruskan sampai museum anggur, tetapi waktu sangat terbatas. Maklum saja, menjelang siang akan berwisata ke Archacon untuk menikmati pantai berpasir putih di ujung barat Perancis.
Tak jauh dari hotel Maritime, sekitar 400 meter, melewati Place de Quinconces alun-alun yang menjadi kebanggaan masyarakat Bordeaux. Tadi sewaktu berangkat sempat saya lirik waktu melewatinya. Place de Quinconces dibangun tahun 1818 sampai 1828 dengan arahan arsitek Jacques Gabriel, yang juga terlibat dalam pembangunan Place de la Bourse.
Nama ‘Quinconces’ berasal dari desain tata letak pohon-pohon di alun-alun ini. Pohon-pohon ditanam dalam pola quincunx, yaitu susunan lima pohon di mana empat pohon membentuk bentuk persegi dan satu pohon diletakkan di tengahnya. Pola quincunx ini menciptakan tampilan yang unik dan teratur di alun-alun ini.
Di gerbang masuk ada dua kolom rostral setinggi 21 meter yang menghadap ke sungai Garonne. Patung kolom didirikan oleh Henri-Louis Duhamel du Monceau pada tahun 1829. Satunya melambangkan perdagangan , dan yang lainnya melambangkan navigasi . Patung marmer putih Michel de Montaigne dan Charles de Secondat, baron de Montesquieu (oleh pemahat Dominique Fortuné Magges) ditambahkan pada tahun 1858.
Di alun-alun itu terdapat beberapa patung dan monumen yang memiliki makna sejarah dan simbolisme berbeda. Patung paling terkenalnya adalah Patung Girondins yakni patung yag didedikasikan untuk mengenang kelompok politik bernama Girondins, sebuah kelompok moderat di Konvensi Nasional Prancis selama Revolusi Prancis. Patung setinggi 54 meter itu didirikan antara tahun 1894 dan 1902.
Patung Girondins ini berada di tengah Place de Quinconces dan menampilkan patung malaikat yang berada di puncak tiang tinggi. Malaikat tersebut mengenakan elang yang melambangkan semangat kebebasan. Di bagian bawah patung, ada beberapa figur yang melambangkan martir dan pahlawan Girondins yang menghadapi nasib tragis selama Revolusi Prancis.
Place de Quinconces sering digunakan untuk berbagai acara festival sehingga hampir selalu ramai. Tetapi pagi itu sedang tak banyak dikunjungi. Patung Girondis seperti kesepian. Di kejauhan hanya tampak dua orang yang duduk santai di rerumputan di tempat terpisah.
Nah, saat menjelang sore hari, saya berwisata ke jalan yang selalu ramai tersebut. Setelah lelah jalan-jalan, saya dan Lilies mampir minum di McD yang ada di perempatan jalan, berhadapan dengan Galeries Lafayette. Saya duduk di luar. Di sebuah sudut ada anak muda berwajah melayu sedang asyik main HP. Tiba-tiba…

‘’Ayo balik sisan opo ora,’’ satu dari empat orang sambil berjalan sedikit berteriak ke arah anak muda. Ayo kembali sekalian apa tidak.
‘’Tinggal wae, aku tak nongkrong ndisik.’’ Tinggal saja, saya nongkrong dulu. Jawab anak muda.
‘’Weh.. wong Jowo,’’ bisik saya ke Lilies.
Langsung saya menengok ke belakang. ‘’Mas Jowone pundi?’’ Mas Jawanya mana?
‘’Kulo saking Temanggung Pak.’’ Saya dari Temanggung.
Temanggung? ‘’Wah iyo to..kene Mas, lungguh kene. Podo-podo wong Temanggung.’’ Saya mengajaknya duduk di kursi sebelah yang kosong.
Sesama Temanggung kami ngobrol ngalor-ngidul. Asalnya dari desa mBengkal, Kecamatan Kranggan. Sekolah di SMK Pertanian di Ngablak, Kabupaten Magelang. Sang pemuda itu rupanya bekerja di kapal pesiar. ‘’Susah cari kerja di bidang pertanian,’’ katanya. Sudah mulai kerja pada 2019, tapi ketika Covid sempat berhenti dan kerja di hotel di Jogja. Begitu covid mereda, dia kembali kerja di kapal.
Kapal pesiar tempat dia kerja sedang berlayar keliling Eropa, dan hari itu singgah di Bordeaux. Para pekerja kapal dibolehkan menghidup usara segar Bordeaux. Karena kapal hanya singgah sehari semalam, ia pun hanya dibolehkan keluar pukul 10.00 dan kembali lagi pukul 15.00. Lumayan katanya, bisa refreshing.
Ia sempat cerita, dengan bekerja di kapal dia bisa menyimpan utuh gajinya yang 1.000 dolar per bulan. Seluruh kebutuhan hidup sudah ditanggung manjamen kapal. Sedang untuk makan-makan dan sedikit belanja seperti di Bordeaux ia menggunakan uang tips. Dari tabungan itu dia sudah bisa menyewa ruko di depan Polres Temanggung untuk dijadikan warung yang dikelola adiknya.
Setelah meneropong ke Sainte Catherine, lari kembali dilanjutkan. Awalnya meneruskan di sisi jalan seberang trotoar sungai. Namun ketika melewati jalan terusan dari jembatan Pont de Pierre (jembatan melintas Sungai Garonne yang pertama kali dibangun di Bordeaux oleh Napoleon Bonaparte), saya menyeberang kembali menyusur trotoar sungai.
Baru beberapa langkah menginjak kawasan trotoar, ternyata di sepenggal trotoar sepanjang 100 meter itu ada bursa barang bekas. Ketika berangkat, belum ada aktivitas apa-apa di situ. Tapi begitu jalan pulang, para penjual sedang menyiapkan dagangannya. Para penjual beragam, ada yang berkulit putih, kulit hitam, dan dari Turki. Tidak tampak wajah Asia.

Sempat melihat barang-barang yang dijual. Jenis barang yang dijual macam-macam ada benda antik, hiasan rumah, lukisan, buku, sampai mainan anak. Jadi seperti car free day, banyak yang jualan di trotoar. Entah berapa harganya, mau tanya-tanya tidak enak karena mereka masih menyiapkan dagangannya.
Dari pasar barang bekas, saya langsung kembali ke hotel yang jaraknya masih sekitar dua kilometer. Jalan menuju hotel searah dengan jalur trem, jadi mudah diingat. Trem adalah salah satu angkutan umum di Bordeaux selain bus. Jalurnya lengkap meliputi seluruh penjuru kota.
Total jarak tempuh lari pagi sembari menikmati pesona Sunga Garonne itu 7,24 kilometer. Lumayan.
*Jurnalis Senior



