Guru

Oleh: Rendra Agusta*

Setia kepada Guru, guru yang mana?
Patuh kepada Guru, guru yang bagaimana?

Sebulan terakhir saya mendapat pertanyaan “Dalam kebudayaan Jawa, Guru yang terstandarkan, profesional, itu yang bagaimana?” Saya tak segera bisa menjawabnya.

Sembari mengerjakan hal lain, kebetulan saya mengikuti sebuah zoom epigrafi tentang pengajaran masa Jawa Kuna di Jawa Timur, lalu saya teringat akan prasyarat ini.

Belasan tahun lalu, saya dikenalkan dengan satu bait Dhandhanggula, dalam Serat Wulangreh karya Sunan Pakubuwana IV, soal “siapa yang boleh dijadikan guru?” dalam konteks masyarakat Jawa Baru, di lingkungan Kraton Surakarta. Tentu, kemudian hari juga berkenalan dengan prasyarat menjadi guru dalam Tradisi Jawa Kuna. Kedua teks tersebut memberi saya satu standar dalam memilih guru, dan atau menyebut seseorang dengan label “guru”.

Bagi saya, sebelum meletakkan kesetiaan dan kepatuhan kepada seorang guru, langkah awalnya adalah melihat sikapnya sebagai manusia. Sebelum ndakik-ndakik melihat ngomongin ilmu surga dan ilmu dunia, lihat dulu saja sikap hidupnya, bagaimana dia bersikap untuk dirinya dan orang lain. Jangan gegabah meletakkan kesetiaan kepada guru tanpa tegas membuat prasyarat.

Belakangan ini saya mendengar banyak pelanggaran etik akademik dan etika sosial yang dilakukan oleh seseorang berlabel guru dan calon guru. Sikap saya akan sama, ketika Anda melanggar prasyarat dalam masyarakat Jawa itu, jelas Anda bukan guru bagi saya. Terlebih, ketika para guru sudah keterlaluan melanggar, mulai merugikan orang lain, segera tinggalkan.

Walaupun demikian, Jawa mengajarkan saya untuk ber-samudana, saya akan tetap memberi Anda sebuah senyuman, jabat tangan, dan bungkuk penghormatan. Tetapi, itu satire yang selalu akan saya kirimkan kepada Anda, sampai anda kembali pada “adĕg-aděg” yang benar.

Akhirnya, pertanyaan tentang “guru yang standar” tadi bagi saya adalah guru yang memenuhi prasyarat. Setialah kepada guru yang baik. Sikap setia dan patuh, dimulai dari memilih guru. Pada masa lalu, pengembaraan “sisya lelana” dan “santri lelana“, memberi gambaran kita kedewasaan dalam bersikap.

Satya ring Guru, Satya ring Brata, Nut ing Dharmma.

*Filolog, Peneliti Naskah Kuna Komunitas Sraddha Surakarta

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co