Preman dan Premanisme

Oleh: Maman S. Mahayana

Preman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan dengan dua makna: (1) pertikelir, swasta; bukan tentara, sipil; kepunyaan sendiri, dan (2) sebutan kepada orang jahat (hlm. 894).

Makna pertama tampaknya diambil dari Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) Poerwadarminta, (hlm. 768), sedangkan makna kedua diambil dari bahasa percakapan yang hidup di masyarakat. Jadi, kata itu punya dua makna: yang netral dan yang negatif. Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia—Eko Endarmoko (hlm. 486) menambahkan beberapa kata lain dengan makna negatif, seperti bajingan, bandit, bromocorah, gali, residivis.

Begitulah, kita menerima makna sebuah kata ketika kamus menyebutnya demikian. Tentu saja pencantuman makna itu dalam kamus, penting artinya sebagai rujukan. Tidak salah jika publik menerimanya begitu. Meski demikian, dalam beberapa kasus, munculnya ungkapan atau kata tidak lahir begitu saja. Kerap ada peristiwa atau kejadian yang melatarbelakanginya. Sebut misalnya, gol tangan Tuhan. Ungkapan ini melekat pada diri Maradona yang lewat sentuhan tangannya, bola masuk ke gawang Peter Shilton. Akibatnya, Inggris tersingkir dalam Piala Dunia 1986 karena kalah 1-2 dari Argentina.

Pemaknaan kata preman, terjadi agak unik. Maknanya bergerak dari yang semula netral, diberi beban lain yang maknanya negatif. Mengapa bisa terjadi begitu? Untuk menjawabnya, eloklah kita serbasedikit menelusuri dari mana dan bagaimana proses pembentukan kata itu dan bagaimana terjadinya penyempitan maknanya.

Kata preman merupakan bentukan baru dari dua kata bahasa Belanda, yaitu vrije (bebas) dan man (orang). Seseorang yang sedang bebas, tidak melakukan kegiatan, punya waktu kosong atau tidak mengerjakan sesuatu disebut vrije man. Seorang guru atau tentara, ketika sedang di rumah dan tidak melakukan kegiatan apa-apa, juga dapat disebut vrije man. Jadi, vrije man adalah sebutan bagi siapa pun yang tidak melakukan kegiatan apa pun di luar pekerjaan rutinnya.

Awalnya makna kata itu netral. Vrije man bukanlah orang yang tidak punya pekerjaan, bukan pengangguran, bukan pula orang yang dalam kesehariannya sekadar berleha-leha. Tetapi, mengingat orang yang dianggap paling banyak punya waktu luang itu adalah para pegawai nonpemerintah, maka vrije man dikenakan pada pihak swasta atau partikelir. Makna kata itu mulai melebar dan cenderung ditimpakan bukan hanya untuk sebutan pada seseorang, tetapi juga pada lembaga atau institusi. Terjadi semacam dikotomi: pemerintah-swasta; dinas-pribadi. Jadilah ada makna tambahan untuk kata vrije man, yaitu untuk pihak swasta, partikelir dan bersifat privat yang nonkedinasan.

Bagaimana dua kata vrije dan man ditulis jadi preman? Boleh jadi ia diambil dari cara pengucapannya. Tetapi kira-kira kapan ia dijadikan entri bahasa Indonesia? Dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia yang terbit sebelum tahun 1976, tidak ditemukan kata preman. Dalam Kamoes Indonesia Baroe (1941), A.W. Rata—kamus pertama yang memakai kata Indonesia—atau Kamoes Indonesia (1942) E. Sutan Harahap yang awalnya berjudul Kitab Arti Logat Melajoe (1914, 1917), juga tak ada kata preman. Bahkan, dalam Logat Kecil Bahasa Indonesia (1948; 1950), Poerwadarminta—yang menjadi cikal-bakal KUBI (1953) kata itu belum masuk. Baru dalam KUBI (1976) yang diolah kembali Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kata itu masuk, meski dengan maknanya yang netral. Dengan begitu, kata preman sebagai sebutan bagi pelaku tindak kriminal, terjadi selepas tahun 1976.

Entah bagaimana mulanya, preman—vrije man, orang bebas yang tidak punya kegiatan atau yang tidak sedang melakukan pekerjaan rutin dimaknai penganggur(an). Melekatlah makna penganggur (jobless; unemployed) pada kata preman. Boleh jadi, lantaran ada saja di antara para penganggur itu yang berbuat iseng, memalak atau memeras, kata preman pun diidentikkan orang jahat. Makin melebar pula makna kata itu untuk menyebut bagi siapa pun yang (pernah) berbuat jahat. Kata preman dengan maknanya yang negatif itulah yang kini sering dipakai masyarakat.

Kasus vrije man (netral) menjadi preman (negatif) adalah satu contoh, bagaimana makna sebuah kata dapat meluas dan menyempit, positif—negatif atau sebaliknya. Tentu masih banyak contoh lain dari kasus sejenis yang dapat ditelusuri berdasarkan sejarah pembentukannya. Yang pasti, tidak ada hubungannya aksi premanisme dengan (budaya) lebaran. Apalagi jika dikatakan, tindakan memaksa, mengancam, dan minta sumbangan THR menjelang Hari Raya Idul Fitri sebagai fenomena budaya lebaran Indonesia sejak dahulu kala. Tidak ada tradisi itu! Tak!

*Dosen FIB UI


Share

By About

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co