Oleh: Wahjudi Djaja
Keajaiban musik telah lama dipelajari dan dipraktikkan. Saat hamil banyak ibu yang memutar musik klasik agar didengar janin. Gelombang irama musik klasik konon bisa merangsang pertumbuhan otak anak. Pohon bunga yang tiap pagi diperdengarkan musik klasik atau nada aransemen Kitaro juga mengalami pertumbuhan yang lebih indah. Masyarakat Jawa–pada masa lalu–cukup dengan memutar gending-gending klonengan atau uyon-uyon akan merasa damai hatinya.
Tak banyak yang tahu bahwa dedengkot musik klasik, Ludwig van Beethoven (17 Desember 1770 – 26 Maret 1827), adalah seorang tuna rungu. Pencipta simfoni kelima dan kesembilan, dan lagu piano Für Elise itu sejak 1801 telah kehilangan pendengarannya. Dalam keterbatasan kadang muncul kecerdasan dan keajaiban yang tak seorang pun menduga dan membayangkan.
Agus Budi Nugroho, peraih Anugerah Kebudayaan Sleman 2023 Kategori Pelestari dan Pelaku Seni, paham betul bagaimana energi yang dipancarkan oleh musik sangat bermanfaat bagi tumbuh kembang jiwa manusia. Dalam tekanan Covid-19, Agus yang pernah mengalami kesulitan bernafas, melakukan eksperimen nada D-E pada seruling hingga lahir gelombang teta yang bisa digunakan untuk terapi. Keberhasilan dalam percobaan akan membuka jalan bagi pengabdian.
Mengenal gamelan sejak SMA dilanjutkan seruling dan angklung, Agus kemudian merasa perlu untuk mendirikan Komunitas Suling Bambu Nusantara. Sumber daya yang dimiliki hampir semua desa di Indonesia ini dia kembangkan tidak saja untuk musik tetapi juga terapi termasuk pada orang yang cuci darah dan hilang kesadaran.
Serupa nada irama yang ditiup, ide dan gagasan yang dilontarkan Agus mencari ruang dan waktu tersendiri. Yang dibutuhkan adalah ketekunan, keseriusan, totalitas dan keikhlasan. Itu yang membuka jalan bagi Agus untuk bisa berkiprah lebih luas. Kesediaannya untuk mencoba, berbagi dan memancarkan energi positif bagi kehidupan menarik untuk diteladani. Hidup kadang tak bisa dikalkulasi dengan pasti karena ada rasa yang menyertai. Dan rasa, bagi manusia Jawa, bukan hanya urusan lidah, tetapi hati dan sukma atau jiwa.
Orang Amerika pernah bertanya dan heran saat melihat niyaga memainkan gamelan sambil terkantuk-kantuk. “Andai dia serius dan keras dalam memukul gamelan tentu irama yang dihasilkan akan jauh lebih bagus”. Dia lupa bahwa orang Jawa lihai menata dan mengelola rasa. Juga dalam memainkan gamelan, karena peralatan yang dipegang sudah mempribadi dan hapal irama ketukannya.
Apa yang bisa dipetik dari perjalanan seorang Agus? Inovasi adalah kunci kebudayaan. Trial and error dalam kebudayaan merupakan hal yang lumrah, karena dari sanalah proses penciptaan karya akan dimulai. Dari bambu yang bertebaran di penjuru Sleman bisa diberdayakan menjadi beragam karya kebudayaan. Industri kreatif tentu saja tak boleh ditinggalkan karena akan menggerakkan perekonomian Sleman.
Optimalisasi potensi merupakan langkah penting berikutnya. Nusantara kaya dengan beragam potensi dan kekayaan musikal. Hanya butuh keseriusan dan ketekunan untuk bisa mengangkat potensi itu agar menjadi beragam karya (musik) yang khas dan berkarakter Sleman. Beragam jenis kesenian (musik) yang pernah ada di Sleman perlu direvitalisasi dan dihidupkan kembali. Akar sejarah ini penting diangkat karena bisa untuk mengisi story telling tentang kebudayaan Sleman.
Ruang eksplorasi dan ekspresi seni musik perlu diperluas agar Agus bisa mendedikasikan ilmu, pengalaman dan jaringannya demi maju dan tumbuh kembangnya kesenian dan kebudayaan di Sleman. Musik adalah bahasa universal, tetapi tidak dilarang bagi kita untuk mengolahnya agar menjadi sesuatu yang unik, antik dan apik.
*Pemimpin Redaksi Mabur.co



