Oleh: Wahjudi Djaja*
Sebuah kehormatan bagi saya bisa dipercaya sehingga dinilai perlu diberi Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) untuk kategori Budayawan (2/12/2023). Tidak saja di luar dugaan tetapi juga terlalu besar mengingat tanggung jawab moral intelektual yang kemudian harus diemban. Sebagai bagian pertanggung jawaban kepada masyarakat atas amanah itu, berikut saya tulis pokok pikiran yang menjadi bidang tugas dan pengabdian yang selama ini saya geluti.
Desa Sebagai Locus Budaya
Lebih dari sebuah entitas sosial kemasyarakatan, desa adalah taman sari tempat tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai keutamaan. Jauh sebelum hadirnya kota, desa telah memainkan peran penting bagi terbentuknya kebudayaan dan peradaban. Fakta sejarah menyebut, hadir dan tegaknya kerajaan di Nusantara bermula dari berdirinya sebuah desa. Peran sosio kultural desa itu kemudian diperkaya dan diperluas dengan peran sosiologis, ekonomis dan politis sehingga membuka ruang bagi terbentuknya kota. Transformasi ini diikuti dengan perubahan sistem nilai yang kemudian menjadi pembeda antara desa dan kota.
Kita tidak pernah menduga saat Danang Sutawijaya membuka Alas Mentaok pada abad XVI kemudian akan menjadi kota Yogyakarta seperti yang sekarang kita banggakan. Terlalu banyak prasasti, candi dan jejak sejarah yang bisa dilacak dan diangkat narasinya sehingga kita paham terhadap masa lalu Sleman sehingga kini memperoleh predikat Kota Seribu Candi. Akumulasi dari falsafah hidup, laku langkah berikut adat tradisi yang ada pada masa lalu mengkristal menjadi sistem nilai yang mengurat akar dalam kehidupan kita. Di situlah kita disadarkan, jika bangun sosial kemasyarakatan dan kebangsaan ingin kita jaga dan kembangkan, aspek kebudayaan tak bisa ditinggalkan. Budaya adalah ruh bangsa yang locus-nya ada di desa.
Lebih dari 13 tahun saya keluar masuk desa, baik sebagai pribadi, dosen maupun konsultan untuk memfasilitasi, mendampingi dan membangkitkan potensi desa. Beragam potensi desa seperti sejarah, arkeologi, budaya, adat tradisi, kuliner, kerajinan dan industri kreatif tidak saja memiliki nilai tambah tetapi juga menjadi bagian dari karakter dan jati diri desa. Lahirlah desa wisata, desa budaya, desa wisata sejarah atau desa pemajuan kebudayaan. Tidak saja di wilayah Sleman dan Yogyakarta, jejak pengabdian saya juga ada di Purworejo, Klaten, Batang, Kebumen, Karanganyar, Sragen dan Semarang.
Apa yang bisa dipetik dari perjalanan itu? Desa adalah pilar utama kota dan sokoguru bangsa. Beragam produk desa menyuplai kehidupan warga kota. Saat negara dihantam badai seperti pandemi, desalah yang menjadi perisai dengan menampung eksodus warga kota. Bahkan ketika tata nilai kehidupan mengalami pergeseran, orang menjadikan desa sebagai rujukan. Tetapi bagaimana nasib desa? Kapitalisasi sektor pariwisata merambah desa, proyek skala nasional membelah desa, dan kohesi maupun harmoni desa dikomersialisasikan. Desa-desa menjadi rusak, baik secara geografis, sosiologis, arkeologis maupun historis.
Kuasa Politik Desa
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi desa di atas pelan-pelan menyadarkan banyak kalangan. Pemerintah menyiapkan dana triliunan untuk membantu pembangunan desa. Dalam konteks Yogyakarta, ada dana keistimewaan yang bisa diakses untuk mendukung kalurahan sebagai pilar utama pengembangan perekonomian. Namun, apakah kebijakan itu dengan sendirinya menjadikan desa makmur sejahtera?
Dari refleksi atas perjalanan pengabdian selama ini, bisa ditarik benang merah bahwa maju dan tidaknya desa ternyata tidak tergantung pada anggaran. Dalam banyak kasus hal itu sangat ditentukan visi, kapasitas dan kemampuan kepala desa (lurah). Melalui kekuasaan dan kewenangan para elite di masing-masing level telah mencoba membuka kran bagi terciptanya kemandirian dan kemakmuran desa. Tetapi selagi kepala desa gagal mengidentifikasi potensi, memetakan peluang dan memberdayakan jaringan, desa nampaknya hanya akan jalan di tempat. Potensi yang dimiliki kadang justru diserahkan kepada pelaku investasi sedangkan warganya cukup menjadi penonton atau tukang parkir.
Dalam konfigurasi kekuasaan dan kompleksitas permasalahan desa itu, secara bijak Gubernur DII Sri Sultan Hamengku Buwono X saat Sapa Aruh 28 Oktober 2023 berpesan agar para lurah dan pamong bersikap netral terkait Pemilu 2024. Mobilisasi kontestasi bisa melahirkan dan mempertajam polarisasi. Ujungnya akan mengurbankan pembangunan dan kepentingan warga. Itulah sebabnya kita perlu mendukung semboyan Jogja Nyawiji ing Pesta Demokrasi saat politik mencerai-beraikan kehidupan.
*Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), Dosen STIEPar API Yogyakarta, Peraih Anugerah Kebudayaan Sleman 2023



