Oleh: Wahjudi Djaja*
Alam selalu mempunyai mekanisme untuk membangun harmoni. Manusia-manusia dengan laku utama akan mampu menangkap sasmita atau tanda yang dikirimkan alam. Hubungan antara manusia itu dengan alam akan melahirkan ikatan batin yang kuat, saling memahami dan–dengannya–akan membuka beragam kisah dan rahasia.
Lahir dari seorang juru kunci Gunung Merapi–gunung api paling aktif di dunia yang menjadi salah satu pancer Kraton Yogyakarta–Asih digembleng oleh alam untuk bisa menjadi penerus jejak Mbah Maridjan. Dia diberi amanah sejarah untuk menjaga dan merawat tradisi Labuhan Merapi, baik Labuhan Alit (tiap tahun) maupun Labuhan Ageng (sewindu sekali).
Dengan kasat mata Asih ditunjukkan secara langsung bagaimana menjadi abdi yang baik. Saat badai sudah di depan mata–sebagai seorang juru kunci–Mbah Maridjan bersikukuh untuk bertahan. Dia perintahkan warga sekitar Merapi untuk mengungsi ke daerah yang aman. Sejarah kemudian mencatat, pada 26 Oktober 2010 Mbah Maridjan menunaikan janjinya untuk mengembalikan amanah sejarah pada Sang Maha Pencipta.
Laku utama yang ditinggalkan Mbah Maridjan kini menjadi falsafah kemerapian. Jangan bertindak melanggar etika dan moralitas jika tak ingin Merapi memberikan hukuman. Cintai alam semesta dan jangan sekalipun merusak agar kehidupan bisa lestari. Adil pada sesama dan jangan adigang adigung adiguna. Serupa kodifikasi, ajaran Mbah Maridjan terekam dalam diri Mbah Asih.
Terlibat dalam tradisi labuhan sejak kecil, Mbah Asih seolah disiapkan untuk menjadi seorang Surakso Hargo. Dia diangkat sebagai juru kunci secara resmi pada 4 April 2011 oleh Sri Sultan Hamengku Buwana X. Peran ini melengkapi kedudukannya sebagai Tetua Adat Upacara Tradisi Labuhan Merapi.
Merawat dan mengembangkan tradisi bukan sekedar menggelar seremonial kirab budaya atau merti. Dibalik upacara itu ada ritual puja doa mantra yang dipersembahkan kepada Yang Maha Kuasa. Bahwa nafsu dan keserakahan manusia bisa dengan mudah merusak keseimbangan alam. Bencana bisa datang karena ulah manusia. Melalui tradisi labuhan, kita mencoba mengetuk pintu langit agar kesalahan manusia dimaafkan dan keselamatan bisa Dia anugerahkan.
Memimpin tradisi adalah memimpin dengan bahasa hati. Dia tak bisa dibaca hanya sekedar seremonial belaka. Yang ikut kirab tradisi juga harus ikhlas, manekung dan melepas segala semat, drajat, pangkat. Kita, manusia ini, kecil dihadapkan dengan semesta. Selalu menegakkan laku dalam keseharian utama akan menjadi jalan terbentuknya harmoni kehidupan.
Mbah Asih (Mas Wedana Surakso Hargo) bersama istrinya Mursani (Nyi Mas Lurah Surakso Boga Mursani) telah dipilih oleh sejarah untuk membantu kita memahami Merapi. Sebuah tugas mulai tetapi jelas tak mudah. Itulah kenapa Mbah Asih menerima Anugerah Kebudayaan 2023 dari Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Dinas Pariwisata (Kundha Kabudayan) Sleman. Selamat Mbah, semoga berkah sepanjang langkah. Aamiin
*Pemimpin Redaksi Mabur.co



