Oleh: Wahjudi Djaja*
Yogyakarta adalah kunci Indonesia. Bukan isapan jempol semata, tetapi lembar sejarah mencatat bagaimana Yogyakarta memainkan peran penting sejak negara ini masih belia. Pada 1946-1949 ibukota pindah ke Yogyakarta. Bung Karno berkantor di Istana Gedung Agung, Bung Hatta di Istana Ngupasan (Makorem 072/ Pamungkas). Semua berkat ketulusan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Saat perang dan diplomasi datang silih berganti, Sleman menjadi wilayah dengan peran yang mengagumkan. Jika di penjuru kabupaten ini berdiri beragam tetenger, tugu, monumen dan situs, itu karena kedudukannya sebagai pilar penyangga perjuangan. Salah satunya berada di Kaliurang.
Ada tiga jejak sejarah yang masih berdiri tegak sampai sekarang: Wisma Kaliurang, Wisma Gadjah Mada dan Pesanggrahan Ngeksigondo. Menjadi cagar budaya sejak 8 Januari 2020, Wisma Kaliurang tercatat resmi dalam SK Bupati Sleman Nomor 3.15/Kep.KDH/A/2020. Berada di bawah pengelolaan Korem 072/Pamungkas, bangunan yang didirikan 1931 ini semula milik Leh Meyer (Jerman). Inilah hotel pertama di Kaliurang. Kawasan Kaliurang kemudian menjadi tempat plesir para pejabat Belanda mengingat lokasinya yang indah dan cuaca yang dingin. Jika Merapi menjadi pilar spiritual Yogyakarta maka Kaliurang menjadi perisai Indonesia saat kemerdekaan dan kedaulatan hendak dianeksasi Belanda.
Pernahkah membayangkan Fatmawati Sukarno, Rahmi Hatta dan para istri pemimpin bangsa mengenakan kebaya bertemu para istri diplomat yang hadir di Wisma Kaliurang? Itulah episode paling romantis saat digelar Perundingan Kaliurang pada 13 Januari 1948. Difasilitasi Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas Australia, Amerika dan Belgia, perundingan itu akhirnya melahirkan Notulen Kaliurang.
Belanda nampaknya selalu mengajak berunding manakala posisi pasukannya terjepit. Begitu ada ruang untuk bergerak, meraka akan melakukan operasi dan agresi militer. Itulah yang kemudian terjadi pada 19 Desember 1948. Mereka melancarkan agresi militer kedua untuk menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap para pemimpin bangsa. Tetapi TNI dan rakyat tak bisa dipatahkan, bahkan Belanda keteter saat harus menghadapi strategi perang gerilya yang dipimpin Panglima Besar Soedirman. TNI bersama rakyat akhirnya melancarkan Serangan Oemoem 1 Maret 1949. RI tetap tegak berdiri. Itulah sebabnya 19 Desember ditetapkan sebagai Hari Bela Negara melalui Keppres Nomor 28 Tahun 2006.
Apa yang bisa diambil dari sekilas narasi sejarah di atas? Sleman adalah penyangga kedaulatan bangsa. Saat Yogyakarta diduduki Belanda, wilayah Sleman menjadi basis perjuangan TNI dan Tentara Pelajar. Banyak rumah rakyat yang masih bisa dilihat sebagai bukti perjuangan mereka. Dan Kaliurang menjadi saksi bisu saat wilayah Indonesia yang tinggal Yogyakarta dan sekitarnya hendak dicaplok Belanda. Berkat kepiawaian Ngarsa Dalem IX, kompleks Kaliurang dijadikan tempat perundingan Indonesia dan Belanda dengan mediasi KTN.
Wisma Kaliurang memperoleh Anugerah Kebudayaan Sleman 2023 melalui Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) untuk kategori Cagar Budaya. Penganugerahan diberikan Bupati Sleman pada Sabtu (2/12/2023) dan diterima Mayor Agus Jumawan (Pasiminlog Staflog Korem 072/Pamungkas).
Jika pada masa lalu para pemimpin bangsa hilir mudik di Kaliurang, mestinya menjadi inspirasi bagi kita untuk mengisi kemerdekaan. Kita bisa mengambil momentum itu untuk menggerakkan kesadaran kebangsaan (nasionalisme) melalui beragam kegiatan kesejarahan di situs-situs sejarah itu. Hanya dengan begitu, kita menjadi generasi penerus yang paham sejarah dengan penuh tanggung jawab.
*Pemimpin Redaksi Mabur.co



