Oleh: Wahjudi Djaja*
Hari terbaik Dia pilih untuk orang yang baik. Jelang Subuh hari Jumat (19/1/2024) penyair sufistik, cendekiawan, budayawan dan pemikir Islam–Abdul Hadi Wiji Muthari–telah dipanggil kembali ke pangkuan-Nya. Kepulangan adalah kewajaran manakala hidup kita maknai sebagai perintah Pemilik Kekuasaan agar kita melakukan perjalanan, penghambaan, pencarian. Ketika perintah itu sudah Dia anggap cukup, pulang adalah kosa kata yang senantiasa kita tunggu.
Pejalan Peradaban
Kesedihan bisa saja muncul ketika orang yang–padanya masih kita harapkan petuah gagasannya bagi bangsa yang kian jauh meninggalkan keadaban ini–berdedikasi secara keilmuan, berintegritas secara kepribadian dan bersahabat dalam jaring peradaban, Dia panggil sementara kita belum selesai membacanya. Abdul Hadi adalah seorang pejalan peradaban. Tidak saja dalam kerangka menapaki jenjang keilmuan dan berinteraksi dalam anjangsana peradaban, dia juga menelusuri aspek kesejarahan.

Jika kita bisa membaca dan memahami Bapak Sastra Indonesia, Hamzah Fansuri yang hidup pada abad XVI, dia adalah salah satu duta yang dengan berani mencoba menelisiknya. Dalam buku Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, kita melihat bagaimana Abdul Hadi secara detail mengurai pemikiran Fansuri baik sebagai penyair, pemikir maupun cendekiawan. Perspektif dan cakrawalanya jelas dan luas, dalam bingkai sufistik. Dan itu langka dalam khazanah susastra kita.
Secara pribadi baru tiga kali saya bertemu dan berdiskusi dengan Abdul Hadi. Pertama, di Taman Ismail Marzuki dalam Diskusi Kabudayaan 26 September 2012 dengan tema “Rusak Budaya, Hancur Negara”. Hadir sebagai narasumber GM Sudarta, Johan Silalahi, Radhar Panca Dahana, Abdul Hadi WM, Zawawi Imron, Sys NS, Prijo Budi Santosa, Hajriyanto Y Tohari, Rocky Gerung, Teguh Juwarno, dan Deddy Mizwar. Dalam diskusi itu Abdul Hadi menyampaikan kesalahan strategi pendidikan. (Seutuhnya saya tulis dalam opini Koran Merapi, 30 Sept 2012 berjudul “Rusak Budaya, Hancur Negara”)
Pendidikan kita hanya melahirkan manusia-manusia robot tanpa hati nurani dan karakter. Pendidikan justru menjauhkan anak-anak bangsa dari budaya dan identitas bangsanya. Ini amat tragis dan menyedihkan kita semua. Bangsa ini dibangun di atas fondasi budaya daerah yang telah berabad lamanya hidup dan berkembang di Nusantara. Negara bisa rusak tapi budaya harus kita pelihara karena akan menjadikan hidup kita damai penuh kebersamaan.
Kedua, bersama Dr Free Hearty dan teman-teman Perhimpunan Sastrawan Budayawan Negeri Serumpun (PSBNS) terbang ke Malaysia bareng Abdul Hadi. Kami mengikuti Festival Pulara (Puisi Lagu Rakyat Antarbangsa) VII di Pangkor Malaysia 8-11 Desember 2016. Kesempatan emas ini saya gunakan untuk berbincang dengannya tentang kebudayaan di negeri serumpun. “Kebudayaan masih menjadi PR besar bagi bangsa ini”, katanya seolah mengingatkan dan memberi pesan amanat.

Ketiga, bertemu saat digelar Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) pada 21-23 Nopember 2019. Temanya, “Tuhan dan Alam (Membaca Ulang Panteisme – Tantrayana dalam Kakawin dan Manuskrip-Manuskrip Kuno Nusantara)”. Dalam kesempatan itu kami tentu saja berbincang, minum kopi dan berdiskusi dengan Habib Chirzin, Abdul Hadi, Zawawi Imron. Kami berpisah saat Ayahanda–demikian saya sapa penuh cinta–Zawawi Imron minta diantar ke anaknya yang kebetulan berada di dekat Gunungpring Muntilan, sebelah timur Candi Borobudur.
Dalam tiga pertemuan itu saya banyak belajar padanya secara langsung, tentang keluasan cakrawala yang hanya bisa diraih dengan membaca, menguasai detail masalah, menjalin silaturahmi dan–tentu tak lupa–memelihara akar budaya sebagai bagian identitas diri. Inilah yang kemudian memantik kesadaran saya untuk lebih mengakrabi sastra di luar kompetensi saya sebagai seorang sejarawan.
Penjaga Rumah Metafiksi
Di luar interaksi di tiga kesempatan di atas, sejak kuliah di FS UGM tahun 1990 saya kliping beberapa artikel Abdul Hadi. Dari situ saya memperoleh banyak perspektif keilmuan. Ada jembatan yang bisa mempertemukan sejarah dengan sastra. Abdul Hadi pernah menulis artikel “Sastra, Rumah Metafiksi dan Kekuasan yang Terpinggirkan” (Republika, 30/5/1993). Dalam pandangan Hagiwara Sakutaro, penyair Jepang sebelum PD II–demikian Abdul Hadi menulis–sastra adalah ekspresi nostalgia.
Seorang sastrawan pada umumnya menjadi kreatif apabila telah menyaksikan suatu dunia yang lebih baik dalam penglihatan batinnya dibandingkan dengan keadaan masa kininya. Dunia tersebut dinamakan rumah metafiksi dan bertempat di alam misal atau dunia imajinasi pengarangnya. Atau boleh juga ia disebut dunia yang tersembunyi di alam bawah sadar jiwa pengarang. Berdasarkan alasan itulah Subagio Sastrowardojo pada tahun 1957 berpendapat bahwa puisi merupakan suara-suara alam bawah sadar.

Pada bagian lain, Abdul Hadi menulis kaitan erat sejarah, sastra dan konteks.
Karya-karya yang menjadikan mitos purba, pengalaman sejarah (yang dekat ataupun jauh) sebagai sarana untuk mentransformasikan dan memroyeksikan pengalaman masa kininya, juga dapat dikatakan sebagai ekspresi nostalgia. Dengan memfiksikan kembali peristiwa-peristiwa masa lampau atau mitos purba dalam kemasan penafsiran baru, dan menjadikannya sebagai cermin untuk membaca dan memahami masa kini, tidak bermakna bahwa pengarang ingin mengembalikan masa lampau ke masa kini. Mungkin ia ingin menilai bahwa masa kini telah menyimpang jauh dari teladan masa lampau.
Tak pernah terbayang dalam batas pemahaman saya sebagai sejarawan, cakrawala seorang penyair bisa begitu menukik kesadaran sejarah yang sering hanya ditemukan di bangku kuliah Jurusan Sejarah. Abdul Hadi telah meneliti dan menuliskan bagaimana pemaknaan yang benar terkait kepeloporan Hamzah Fansuri dan beberapa karyanya yang lain. Bagi saya pribadi, penyair kelahiran Sumenep Madura 24 Juni 1946 ini, tidak saja sosok inspiratif dan monumental tetapi juga Guru Peradaban.
Saat menginjak usia 66 Tahun pada 24 Juni 2012 saya uraikan nama Abdul Hadi WM menjadi puisi:
Ada tangis di 24 Juni pada 66 tahun silam
Bayi lahir di Sumenep sunyi selimuti malam
Dari Abu Muthar-RA Martiya putri bangsawan
Ukir kata sejak beliaraih puncak penghargaan
Laut Belum Pasang karya yang membayang
Hiasi lembar sastra dalam beragam karya
Ajarkan pengalaman religi dalam semesta kata
Dakwahkan diri di berbagai lembaga budaya
Ikuti cara hidup sufi di hampir setiap puisinya
Waktu lalu begitu cepat berlalu
Moga Guru diberi usia panjang berkah selalu
Dalam sikap, karya dan keseharian, Abdul Hadi WM adalah seorang Penjaga Rumah Metafiksi. Ada idealisme yang dipegang erat, ada ilmu yang dijaga penuh hikmat, ada kepribadian yang hadir penuh hangat. Selamat jalan Guru, damai bahagialah di keabadian. Ilmu dan keteladananmu mengalir jernih dan segar di sungai penuh warna dan pahala. Aamiin
Ksatrian Sendaren, 19 Januari 2024
*Ketua Umun Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), Anggota PSBNS



