Oleh: Wahjudi Djaja*
Orang sering lupa, menari seolah hanya dimaknai dan dianggap sekedar memainkan gerakan dengan iringan gamelan. Tak sedikit orang Jawa yang terjebak pada gerak gemulai kasat mata, dan mengabaikan esensi filosofis dari tari.
Tari, dalam bahasa Jawa artinya mempersilakan, nari artinya meminta respon atau pendapat dan penilaian orang lain tentang suatu objek. Jika orang tua berkata, “Mengko tak tarine bocahe”, atau “Mengko nari bocahe gelem apa ora”, itu artinya ada keinginan untuk konfirmasi dan klarifikasi sebelum memutuskan segala sesuatu.
Penari, dengan demikian, merujuk pada seseorang yang menawarkan sesuatu, dibahasakan dalam gerak badan berbalut iringan, kepada penonton atau orang lain. Biarkan mereka menafsirkan sendiri apa arti dan maknanya sesuai cakrawala berpikir yang mereka miliki. Jika pas dengan rasa pangrasa, maka yang menonton akan senang dan terhibur. Ada kesamaan frekuensi. Nyambung.
Lahir dari trah seniman–ayah pangrawit, ibu sinden, canggah seniman–Agus Sukina menjelma jadi penari bertalenta. Tak lelah belajar tari, dari sanggar ke sanggar, menjadi seniman yang bisa hidup dari tari. Bahkan, bisa melanglang buana ke berbagai penjuru Nusantara dan belahan dunia. Alumni ISI yang kini menjadi guru SMKI Yogyakarta ini mendedikasikan bakat dan keterampilannya untuk memberi pencerahan dan kesadaran tentang warisan luhur budaya bangsa ini.
Apa yang bisa dipetik dari laku hidup seorang Agus Sukina? Tuhan sudah menyediakan bekal yang teramat berharga dari keluarga kita. Tiap anak, dalam pandangan ilmuwan, mempunyai kecerdasan masing-masing. Gardner menyebut ada sembilan kecerdasan majemuk, yakni musikal, naturalis, linguistik, interpersonal, intrapersonal, visual spasial, logika matematika, kinestetik, dan moral. Tak banyak orang tua yang tahu apalagi paham dengan talenta, bakat dan kecerdasan anaknya. Rata-rata mereka terjebak pada nilai atau IQ yang tinggi.
Lupa bahwa hidup itu multisisi yang kadang tak bisa dihadapi dengan bekal sekolah atau pendidikan. Faktor kecerdasan, apalagi bawaan, tak kalah penting dikelola dan dikembangkan. Inilah potret kesalahan sistem pendidikan kita: menggeneralisir kemampuan anak sesuai kurikulum sambil melupakan bakat kodrati anak yang dititikan Tuhan padanya.
Ketekunan dan keseriusan Sukina dalam mencarikan tempat yang bisa dijadikan kawah candradimuka bagi olah seninya, jelas perlu diberi catatan tersendiri. Yogyakarta adalah kota budaya. Di penjuru wilayah terdapat sanggar dan pawiyatan. Tetapi kian hari itu tidak menjadi perhatian orang tua dibanding kebingungannya mencarikan tempat les atau privat matapelajaran anaknyabagar lulus ujian. Inilah ironi dalam hidup kebudayaan kita.
Agus Sukina, salah seorang penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Kreator ini, telah memberi bukti empiris bagaimana bakat bawaan yang dikelola dengan baik akan menjelma menjadi telaga inspirasi yang tiada pernah kering, sehingga darinya hidup bisa dijalani dengan indah dan berkah. Selamat atas pencapaiannya, semoga semakin berkibar dan berkah. Aamiin
*Pemimpin Redaksi Mabur.co



