Oleh: Wahjudi Djaja*
Nabi Muhammad SAW pernah bercerita tentang seorang pemuda miskin yang mengguncang langit. Dia tinggal di pinggiran Yaman bersama ibunya yang tuna netra. Kepatuhan dan baktinya pada ibu tak terduakan.
Ada satu permintaan ibunya sebelum meninggal dunia yang harus ditunaikan. Ibunya ingin naik haji. Membayangkan jarak ribuan kilometer dari Yaman sampai ke Mekah sudah menguras pikirannya. Dia gembleng fisiknya dengan menggendong anak sapi naik turun gunung selama delapan bulan. Dibully dan dianggap gila oleh masyarakat. Setelah kuat, dia pun rela menggendong ibunya menempuh jarak jauh itu untuk menunaikan ibadah haji. Punggungnya mengelupas, kaki bengkak dan berdarah, tak dirasa karena kecintaan pada ibunya.
Kisah itu tiba-tiba hadir sesaat setelah membaca postingan Ampun Sutrisno, pelukis alumni SMSR yang tajam intuisi dan jiwa seninya. Kita simak tulisannya:
“Kulukiskan gambar Ka’bah yang kupajang depan sajadah Simbok, karena sholatnya Simbok seringkali arah kiblatnya berubah-ubah ke timur, selatan, utara entah kemana dan tetap saya biarkan. Doaku semoga ibadahnya Simbok yang berumur 86 tahun dan sudah pikun dengan ikhlas semoga sampai ke tujuan-Nya. Amin YRA”.
Sejenak tertegun setelah membaca pengantar lukisannya itu. Ampun yang lekat dengan dunia seni memperoleh kasadaran baru begitu melihat cara simboknya beribadah. Usia 86 tahun masih memiliki keteguhan hati untuk manembah mring Pengeran, beribadah kepada Allah melalui shalat. Teladan apa lagi yang kita butuhkan setelah melihat keikhlasan Simbok-nya Ampun.

Iwan Fals sempat menyampaikan kisah mulia sahabat nabi ini sebelum menyanyikan lagunya yang berjudul Ibu. Berkaca-kaca matanya. Suaranya tersendat. Tubuhnya bergetar. Posisi dan peran Ibu tak terduakan apalagi tergantikan. Perempuan yang darinya kita dilahirkan merupakan Ibu Peradaban. Darinya kita belajar membaca, menulis, berdoa dan menapaki kehidupan. Kasih sayang dan empati pada sesama disemai oleh Ibu. Bekal ini amat kita rasakan saat kita sudah dewasa dan Ibu tak lagi menyertai hidup kita.
Lukisan Ampun Sutrisno memang memikat. Ngundhuh dari aktivitas lukis on the spot (OTS), tak bisa kita bayangkan bagaimana dia membangun imaji antara Ka’bah di Mekah dengan ritual Simbok yang shalat di Bantul. Yang bisa kita bahasakan, Ampun sedang ingin memastikan arah kiblat (qiblat, qabila berarti acuan untuk menghadap). Sejarah sedang memberi peran pada Ampun untuk membetulkan arah bagi Simbok-nya. Peran ini tak serta merta datang pada setiap anak. Ada anak yang dijauhkan, ada anak yang didekatkan. Dan Ampun nampaknya diberi peran kedua.

Saya justru terpukau lada lukisan lain. Seorang perempuan yang tengah beribadah. Dalam pengamatan sekilas, tak sulit kita mengenali itu sebagai Simbok. Ada yang berbingkai tulisan Arab, ada yang menghadap samping dengan pesan Ampun yang menusuk batin bagi yang melihat dan membacanya. Apakah ini merupakan prasasti totalitas sutrisno (cinta yang indah) dan pengabdian Ampun kepada Simbok-nya?
Lompatan karya seorang seniman apalagi pelukis sering terjadi saat kesadaran religi menyala dan bangkit dari dalam dirinya. Tiap goresan ibarat dzikir, tiap sapuan adalah amal, dan pilihan warna adalah jihad. Dia dibatasi kanvas, cakrawala kehidupan atau, dalam bahasa masyarakat Yogyakarta dimana Ampun Sutrisno tinggal, makrokosmos Mataraman (Matr, Mother, Ibu). Simbok, secara tak langsung, mengetuk nurani Ampun. Sebagaimana pada Uwais, Simbok menanti totalitas Ampun dalam berkesenian. “Wis titi wancine, Le”. Bisa jadi, setelah ini kita akan nikmati karya master piece-nya. Aamiin
Ksatrian Sendaren, 3 Maret 2025
*Penulis dan Penikmat Seni



