Anies Baswedan Sebagai Fenomena Politik Kebudayaan (1)

Oleh: Wahjudi Djaja*

Suatu saat ayah (alm) di tahun 1990-an pernah bercerita bagaimana guyup rukun merdekanya pelaksanaan Pemilu 1955. Saat itu usianya 25 tahun. Rakyat beragam kalangan bisa mengikuti kampanye, mendengar dan menyimak orasi para tokoh, lalu pindah ke area kampanye dengan tokoh dan partai yang lain. Semua berjalan demokratis tanpa ada tekanan dan rasa takut. Dalam beberapa hal fenomena itu ditemukan saat Anies Baswedan melakukan kampanye Pilpres 2024.

Pada pemilu pertama setelah Indonesia merdeka, penyadaran politik dilakukan untuk membangun kepercayaan berbasis ilmu dan ideologi. Tokoh-tokoh politik baik pusat maupun daerah, baik dari golongan nasionalis, sosialis, agama, komunis dan perseorangan berdatangan ke berbagai daerah melakukan kampanye. Lebih dari sekedar penyampaian program, mereka melakukan pendidikan politik dalam arti sebenarnya. Partai politik–menurut Affan Gaffar–mestinya memang menjadi mata, telinga, dan mulut rakyat.

Pemilu 1955 menjadi monumental karena negara–meski masih dikepung beragam permasalahan pelik–memiliki kesadaran konstitusional untuk memberi ruang terbuka yang setara, partai politik menjalankan peran secara nyata, dan rakyat–sebagai pemegang kedaulatan–menikmati panggung politik dengan penuh kenyamanan. Kedaulatan rakyat benar-benar bisa diwujudkan dan dirasakan.

Bagaimana Pemilu 2024 yang diikuti 18 parpol dan dilakukan secara serentak untuk memilih DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR Pusat, DPD dan Presiden/Wakil Presiden? Tulisan berikut hanya akan mengulas ketiga kandidat calon presiden sebagai catatan seorang pembelajar demokrasi. Berturut dan bersambung akan ditulis tentang Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Membaca Anies Baswedan
Tak mudah–kelihatannya–sebagai seorang Anies. Lahir di Kuningan dalam tradisi Arab, tumbuh besar di Yogyakarta, cicit AR Baswedan–tokoh penting yang membawa nota pengakuan de jure dan de facto Mesir atas kemerdekaan Indonesia–dan sukses menapaki pendidikan, Anies bisa jadi merupakan tokoh muda yang membuka harapan. Selepas Rektor Universitas Paramadina, naik menjadi Gubernur DKI dalam belutan polarisasi masyarakat yang menggumpal sampai sekarang. “Jawab pernyataan dengan kenyataan”, demikian dia meyakinkan orang saat menanggapi cibiran, hanya bisa menata kata dan gagal menata kota.

Tak sulit menemukan fakta–andai mau mengulik–bagaimana Anies cukup berhasil menyelesaikan programnya selama kampanye. Jakarta mengalami transformasi, tidak saja dalam tagline tetapi bukti kerjanya bisa dilihat. Jika antitoleransi dilekatkan–sebagai salah satu contoh saja–kita dengan mudah melihat betapa bahagia umat beragama hidup penuh kerukunan dengan berpuluh rumah ibadah yang dibangun selama kepemimpinannya. Kolaborasi dan kesetaraan menjadi kunci, keberpihakan kepada warga Jakarta menjadi orientasi gerakan menuju keadilan. Rekam jejak ini nampaknya dipersiapkan betul oleh Anies, tidak saja dalam rangka mewujudkan program kampanye, tetapi juga menjadi bekal bagi karier politik berikutnya. Tapi bukan di situ fokus catatan singkat ini.

Anies dinilai mampu menembus sekat kekuasaan–tanpa harus menunjukkan sikap bermusuhan–dan memperlebar ruang demokrasi, antitesis dari praktik kekuasaan yang cenderung menegasikan hak bicara dan pemenuhan hak asasi manusia. Berikut beberapa gerakan yang coba ditawarkan Anies Baswedan.

Pertama, gagasan sebagai inti kebudayaan. Seolah menegasikan tagline “Kerja…Kerja…Kerja”, Anies menempatkan tiga fase sebelum sebuah program dilaksanakan. Gagasan, narasi, eksekusi. Ketiganya ditempatkan dalam setiap program yang akan dilaksanakan. Gagasan Anies bertumpu pada upaya pemenuhan keadilan dan kesetaraan. Membangun trotoar, taman, integrasi transportasi, membuka akses jalan vital bagi pengantaran pesanan, sampai pembebasan pajak bagi tokoh-tokoh berjasa, membangun TIM dan JIS, sekedar contoh bagaimana gagasan keadilan dan kesetaraan diterapkan.

Langkah yang tak mudah dikerjakan, harus diawali dengan diskusi marathon dan memakan waktu cukup lama, tetapi Jakarta kemudian mengalami transformasi penting. Hasil diskusi menjadi simpulan yang bisa menjadi content narasi, dan saat selesai dikerjakan menjadi fakta sosial tentang keterhubungan pusat ekonomi dengan kebutuhan hidup dan usaha warga. Upaya itu dia namakan sebagai membangun ruang ketiga–selain rumah dan tempat kerja–sebagai media tegur sapa budaya lintas kelas.

Kedua, demokrasi sebagai esensi. Cukup mencengangkan upaya dan strategi yang dilakukan Anies untuk menyampaikan gagasannya. Tidak saja dilakukan di ruang-ruang akademis, tetapi berhadapan langsung dengan rakyat di semua lapisan dan golongan di berbagai penjuru tanah air. Desak Anies adalah fenomena berdemokrasi yang layak diapresiasi. Gagasan disampakan secara langsung, tak hanya berasal dari konstituen partai politik pendukung tetapi terjun langsung ke masyarakat. Sebuah langkah berani dan tentu saja riskan jika tidak dibekali dengan ilmu dan pemahaman yang detail dan kompleks tentang beragam permasalahan kebangsaan. Dalam beberapa hal, langkah itu berhasil dia hadapi. Dia nampaknya kuat memegang sikap “dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang”.

Pernah kuliah di Amerika dengan konsentrasi politik kebijakan, dilengkapi rekam jejak menjadi Gubernur DKI Jakarta, nampaknya menjadi bekal berharga saat harus menjawab pertanyaan rakyat tentang Indonesia ke depan. Sambutan atas acara Desak Anies tidak saja diminati rakyat–sehingga secara suka rela datang–tetapi juga kawula muda. Generasi Z yang menjadi pemilih terbanyak Pemilu 2024 berhasil dia dekati. Kebebasan bicara yang dia junjung tinggi dengan tagline Wakanda No More, Indonesia Forever ditransformasikan dalam gerakan yang membuka ruang kesetaraan.

Desak Anies menjadi efek berantai yang signifikan baginya. Gen Z menyambut dengan berbagai aksi penuh antusiasme. Bak tumbu entuk tutup, tiba-tiba Anies membuka komunikasi dengan mereka melalui Tik Tok, sebuah aplikasi online khas generasi muda. Anies paham kebudayaan dimana di dalamnya ada teknologi dan manfaat serta dampaknya bagi perubahan sosial. Tidak seserius saat di Desak Anies, dalam komunikasi melalui Tik Tok Anies benar-benar cair, mengalir dan masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan Gen Z. Didakulah Anies sebagai Abah Online, pengakuan sebuah generasi yang sering disebut mengalami fatherless. Anies menggantikan peran ayah di jagad maya, dan Gen Z dengan senang menyebut diri sebagai Anak Abah. Muncul pula nadzar politik yang menjadi trending topic, sebuah gerakan organik untuk mendukung langkah Anies.

Anies Antara Debat dan Sambung Rasa
Cukup berani dan vulgar melihat Anies dalam dua debat capres. Detail tertata dengan emosi terjaga dia menyampaikan gagasan. Keras–bukan emosi apalagi marah–dia menghadapi beda pendapat. Pijakannya jelas, kebijakan adalah urusan publik, bukan pribadi atau personal yang bisa dibuka dan didiskusikan rakyat. Mempertanyakan atau adu data adalah kewajaran. Semua dilakukan dalam koridor debat, hal yang nampaknya belum benar-benar membudaya dalam demokrasi kita. Beda dengan generasi pertama elite bangsa yang menempatkan perdebatan sebagai cara bersama menemukan kebenaran. Hubungan personal Natsir dan Kasimo–sekedar contoh dari dua kutub ekstrim ideologis–tetap hangat bersahabat meski di meja Konstituante mereka sengit berdebat saling gebrak meja.

Debat menurut KBBI adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam pengertian itu, debat adu data, visi dan keberpihakan, serta kemampuan mengartikulasikan gagasan, menjadi penting. Ia harus ditopang dengan kemampuan menjaga intonasi dan emosi agar audiens paham akan pesan yang disampaikan yang–harapannya–berdampak pada elektabilitas.

Format debat Pilpres 2024 nampaknya tak sepenuhnya membuka ruang bagi adu pendapat sampai tercapainya batas kebenaran. Pembatasan waktu menjadi kendala, tetapi di situlah kualitas calon dalam memformulasikan pemikiran dan mengelola waktu bisa dinilai. Ada yang bisa fokus dan taktis, ada pula yang berpanjang lebar sampai kehabisan waktu.

Dalam dua debat Anies terlihat cukup bisa memainkan peran itu. Pola pikir sistematis dan laku hidup disiplin–dalam soal pekerjaan apalagi ibadah–mempermudah baginya untuk memanfaatkan waktu sesingkat apapun. Dalam sebuah kesempatan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres tercengang dengan kemampuan Anies saat menguraikan gagasannya dalam Dialogue Between C40 Mayors and UN Secretary General-Advancing Carbon Neutrality and Resilent Recovery for Cities and Nations. Hanya dalam dua menit Anies bisa memengaruhi PBB.

Kemampuan Anies dalam debat bolehlah diakui, tetapi dia berhadapan dengan masyarakat yang belum sepenuhnya melek literasi soal debat politik. Masyarakat nampaknya masih terbuai dengan model sambung rasa–seolah adat ketimuran–ala Kelompencapir era Orde Baru. Dalam KBBI, sambung rasa diartikan sebagai komunikasi yang terjadi apabila gagasan dan perasaan yang disampaikan pembawa pesan dapat menggugah dan menggerakkan hati penerima pesan. Tak ada perbedaan pendapat yang tajam diasah, éngkél-éngkélan, dan semua pihak menjaga harmoni sopan santun.

Realita sosial ekonomi politik nampaknya tak sepenuhnya mampu menopang apa yang disampaikan tokoh atau elite saat kampanye atau menyampaikan program. Dalam beberapa kasus, rakyat seperti di(ter)tipu. Janji sekedar janji yang tak bisa didukung bukti setelah tokoh meraih kursi. Cukup elegan bagaimana Anies menjawab fenomena ini. Janjinya diterjemahkan ke dalam program, dirinci dan dimasukkan ke dalam urusan dinas terkait, lalu dijalankan sebagai agenda kegiatan atau pekerjaan. Ada tim sinkronisasi yang menyelaraskan janji dengan program dan urusan. Ada ukuran dan indikator yang dijadikan pegangan, lengkap dengan pertimbangan empat hal, yakni kesetaraan dan keadilan, public interest, data keilmuan, serta peraturan. Keempatnya dipandu dengan sistem nilai dan etika berbasis meritokrasi.

Menjadi hak demokrasi Anies Baswedan untuk maju dan bertarung di ajang pemilihan presiden di 2024. Menjadi kewajiban kita untuk meneliti dan melacak rekam jejaknya untuk menemukan kapasitas, integritas dan kompetensinya. Tak susah rasanya di zaman sekarang melakukan hal itu semua. Syaratnya sederhana, miliki akal sehat, lapang dada, jadilah pembelajar yang baik, dan, tentu, kuota internet yang cukup.

(Bersambung)

Ksatrian Sendaren, 11 Januari 2024
*Pembelajar demokrasi

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co