Mabur.co
Tensi hubungan Indonesia-Malaysia sedikit menghangat setelah kunjungan PM Malaysia Dato’ Sri Ismail Sabri Yaakob ke Jakarta awal April 2022. Tidak ada hujan tidak ada angin, dia mengusulkan agar Bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi ASEAN.
Kita tidak tahu pasti apa motivasi dibalik usulannya itu. Hal yang pasti, pernyataannya justru membuka catatan publik tentang kebijakan dan keberanian Malaysia terkait pengakuan sepihak atas beragam khazanah budaya Indonesia. Kebudayaan kita yang diklaim sebagai milik Malaysia antara lain reog ponorogo, batik, pencak silat, wayang kulit, Rasa Sayang-Sayange (lagu), tari Pendet, rendang, tari Piring, tari Tor Tor, angklung, lumpia semarang, dan alat musik godang sembilan. Beberapa diantaranya bahkan telah diusulkan Malaysia ke Unesco.
Bukan hal yang aneh jika publik Indonesia merasa gerah dan memicu beragam reaksi. Lalu, bagaimana keterkaitan Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia dan posisi Indonesia dalam politik kebahasaan di ASEAN?
Bahasa Melayu semula merujuk pada bahasa etnik pada lingkungan yang terbatas. Istilah “Melayu” diambil dari sebuah kerajaan kecil di tepi sungai Batanghari, Riau. Jejak arkeologis yang mengungkap keberadaan bahasa Melayu (kuno) terdapat pada prasasti Kota Kapur, prasasti Kedukan Bukit dan prasasti Talang Tuo sekitar tahun 680 M.
Dalam perkembangannya, bahasa Melayu ditransformasikan menjadi bahasa perdagangan, bahasa kerajaan, dan bahasa agama terutama saat Kerajaan Sriwijaya meluas pengaruhnya. Sedang saat pengaruh Islam menguat, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa kesusastraan dan bahasa pergaulan seiring meluasnya aktifitas pelayaran dan perdagangan di kawasan Asia Tenggara.
Kehadiran Belanda di Nusantara mempercepat perkembangan bahasa Melayu.
Para pemuda dari berbagai etnis di Nusantara menggelar Kongres Pemuda pada 26-28 Oktober 1928. Bahasa Melayu diangkat menjadi Bahasa Persatuan dengan nama Bahasa Indonesia. Sejak saat itu gelora perjuangan menghadapi kolonial Belanda semakin menguat hingga kemerdekaan Indonesia bisa diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Bahasa Indonesia pun dikukuhkan dalam UUD 1945 sebagai Bahasa Negara.
Jika ingin menjadikan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Resmi ASEAN, maka tak bisa meninggalkan begitu saja keberadaan Bahasa Indonesia. Benar bahwa Bahasa Melayu ada di berbagai negara anggota ASEAN, tetapi bahasa itu sudah ditransformasikan sebagai bahasa negara oleh Indonesia. Disinilah letak pentingnya diplomasi kebudayaan. Tidak saja Kementerian Luar Negeri RI tetapi juga Kemendikbud dan seluruh elemen budaya untuk terlibat aktif dalam bernegosiasi. Kita tunggu saja.
(Jay)



