Oleh: Wahjudi Djaja*
Idealisme demokrasi (demos—kratos, democracy) yang tak kunjung tuntas membentuk masyarakat madani melahirkan fenomena democrazy (kegilaan massa). Keberadaan institusi pendukung demokrasi ternyata tidak dengan sendirinya mampu menopang pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Belum juga prinsip demokrasi diterapkan, sudah harus berhadapan penguasa yang memiliki tabiat berlama-lama duduk di kursi kekuasaan. Kasat mata politicking (bermain politik dagang sapi) dimainkan untuk menata kekuatan agar posisi tetap bisa diamankan. Operator politik tak henti bergerilya, membolak-balik kawan dan lawan, memobilisasi dukungan dan anggaran, memanfaatkan jaring kekuasaan, bahkan menegasikan etika dan moralitas.
Keterhimpitan hidup akibat beragam permasalahan yang tak terselesaikan bertemu dengan naiknya kesadaran dan pendidikan politik warga. Semua mencoba memanfaatkan momentum, entah bandul siapa yang lebih berat di timbangan kekuasaan. Ketiadaan pemahaman akan prinsip dasar demokrasi yang mestinya dipegang teguh bersama, melahirkan laku politik yang tidak saja niretika tetapi juga brutal. Tanpa malu lagi elite politik menelan kembali ucapan-ucapannya sendiri. Tanpa tedeng aling-aling mereka memperagakan budaya politik machiavellis, hal yang susah payah kita hadang saat Orde Baru mencoba mempraktikkan.
Kegagalan negara mencerdaskan kehidupan bangsa menjadikan warga dengan mudah termakan hoaks. Melalui peran buzzer, penguasa membombardir nalar dan akal sehat warganya. Literasi digital yang belepotan menjadi mangsa content creator. Hidup menjadi hiruk pikuk dan bergemuruh bukan oleh derap langkah pembangunan tetapi kasak kusuk yang kehilangan empati. Nyaris tak pernah ada upaya sistematis dan terprogram untuk benar-benar menyelesaikan masalah rakyat secara purna dan tuntas. Gimmick menjadi pola komunikasi politik yang sulit dicerna akal sehat.
Tak ada kepalsuan yang mampu bertahan dari gempuran kewajaran dan kenyataan. Kabeh ana watese, semua ada batasnya, baik usia biologis manusia maupun usia ideologis-politis sebuah rezim. Kurang kuat apa Firaun menjaga singgasanannya. Kurang hebat apa Soeharto mengkooptasi dan menata kekuasaan. Kurang taktis apa Marcos dan Mobutu dalam meniru Louis XVI yang men-declare diri bahwa Negara adalah Aku (L’État, c’est moi). Tetapi mereka tak akan mampu menghadapi mahkamah sejarah. Tumbang, bahkan secara tragis.
Rakyat perlu hiburan. Dan mereka mempunyai cara dan moda tersendiri untuk melupakan kemiskinan dan penderitaan. Ada kalanya tertawa melihat tingkah polah laku elite politik yang jumpalitan beratraksi untuk meraih kursi. Kadang bongkar-bongkar jejak digital seorang kandidat yang belepotan menyajikan data. Atau boleh juga membuat instalasi seni seperti yang terpajang di depan industri kreatif Joger di Bali.
Sebuah bemo menanti kedatangan pengunjung bertuliskan “Bemocrazy Melayani Trayek Semua Jurusan, Kecuali ke Neraka”. Terlepas ini soal kepentingan marketing bisnis, negara ini harus jujur diakui membutuhkan orang baik. Orang yang mampu mengajak ke jalan yang benar bukan dengan perkataan tetapi teladan. Sopir yang mampu menjaga dan menggerakkan hidup dengan karakter lokal, bersahaja dalam kehidupan, selamat menapaki perjalanan, bahagia dalam kebersamaan, dan…tidak menjerumuskan kita ke neraka.
Bali–Yogyakarta, 6-7 Februari 2024
*Pembelajar demokrasi



