Oleh: Wahjudi Djaja*
Sulit membicarakan dinamika kebudayaan tanpa menyertakan bagaimana kekuasaan dioperasionalisasikan. Komunitas dan jaringan kebudayaan memang bertebaran di berbagai daerah yang telah menggoreskan nilai-nilai kebudayaan, tetapi di ujung perjalanan sering–mau tak mau–beririsan dengan kekuasaan. Menarik membicarakan hubungan timbalik kuasa dan budaya.
Budaya Kuasa
Desa budaya di Yogyakarta, misalnya, tentu berbeda dengan desa adat di Bali. Desa budaya di Yogyakarta diinisiasi sebagai bagian dari upaya mewujudkan desa mandiri budaya yang dipayungi langsung dengan Peraturan Gubernur No 93 Tahun 2020. Sedang desa adat di Bali sudah hidup, berkembang dan melembaga sebagai keseharian masyarakat sejak lama. Keduanya sama-sama menempatkan budaya sebagai ruh atau energi, tetapi ada perbedaan karakter diantara keduanya.
Jika kebudayaan adalah–mengutip Umar Kayam–kualitas pernyataan kita dalam menjawab tantangan kebangsaan, maka dinamika selama 2023 telah melahirkan potret atau lukisan yang amat vulgar. Kekuasaan menjadi fokus perhatian yang–dengan segala atribut dan peluangnya–melahirkan beragam anomali kehidupan. Konstitusi bukan lagi sesuatu yang sakral untuk diotak-atik karena menguatnya kepentingan elite kekuasaan. Ketakwajaran menjadi kebiasaan, penyimpangan pun didiamkan. Ada ketakutan untuk menyuarakan ketakadilan karena ada resiko hukum yang bakal ditimpakan.
Cari selamat, asal aman, asal dapat menjadi sikap hidup dan karakter elite di keseharian. Ketekunan, keteguhan, dan kejujuran seolah menjadi barang bekas yang layak ditertawakan dan dicari-cari kesalahannya. Siapa kuat bersuara, dia yang akan didengarkan. Buzzer menjadi instrumen bangsa yang–suka tidak suka–dengan leluasa memberi warna pada kehidupan. Dalam kontestasi kekuasaan 2024, peranan mereka cukup fenomenal, sampai kemudian muncul perubahan konstelasi politik terkait pasangan capres dan cawapres. Budaya kuasa pelan-pelan mendapat resistensi dan penolakan seiring menguatnya kesadaran berbangsa.
Kuasa Budaya
Ketakwajaran yang dipertontonkan tidak saja melahirkan kesumpegan dalam hidup, tetapi–justru–membuka ruang bagi kesadaran. Ada hukum alam yang dilupakan. Atau dalam kosmologi Jawa, sapa nandur bakal ngunduh. Masyarakat yang dianggap tak berdaya–tetapi masih juga dianeksasi dan dibohongi–bisa jadi tak mampu memberikan perlawanan. Tetapi semua ada mangsane, ada saatnya.
Kurang kuat apa Firaun menegakkan kekuasaannya, tetapi sekali sejarah telah memukulkan palunya, tumbang juga akhirnya. Hal yang sama juga terjadi pada Louis XIV, Mobutu, Marcos, Sukarno, Suharto. Di tangannya, kekuasaan seolah kemilau, kuat dan tak terpatahkan, tetapi alam memberikan mekanismenya pada kehidupan. Ada yang mengatakan cakra manggilingan, ada yang berpendapat urip iku mung gentenan (hidup itu sesungguhnya soal pergiliran). Ada siklus ilahiyah yang menentukan hitam putih kekuasaan dan kehidupan.
Sebagaimana manusia yang bersendikan akal, kebudayaan pun sangat tergantung pada gagasan. Koentjaraningrat menyebut, budaya itu menyangkit ide, kebiasaan dan peninggalan. Negara ini lahir bukan dari tapa brata atau samadi di bawah pohon kamboja semalam suntuk. Negara ini dibangun dari dialektik perjuangan, gagasan dan perdebatan. Generasi pertama elite kita dipenuhi oleh kaum intelektual yang memasang harga diri teramat tinggi untuk sebuah nation state yang hendak didirikan.
Kadang kita dengan mudah dijebak dengan ideologi nasionalisme yang kering dan out of context. NKRI Harga Mati, misalnya. Tanpa diimbangi kesadaran tentang kesadaran akan kenyataan, betapa ketakdilan dalam kehidupan akan menjadi kewajaran semata. Bukan saja tak diberitakan tetapi–ini yang memprihatinkan–juga tak dianggap sebagai masalah. Sulit menemukan elite yang mau dan mampu mengorbankan kepentingan golongannya sebagaimana diteladankan oleh ulama-negarawan dalam sidang BPUPKI hingga dengan iklas menghapus keislaman dalam Preambule Konstitusi 1945, atau kisah romantis Natsir dan Kasimo. Lahir dari dua kutub ideologis yang berbeda tetapi sama-sama hangat menikmati kopi.
Budaya kuasa mengikis habis sikap kenegarawanan. Kuasa budaya melahirkan kesadaran kebangsaan. Dan 2024 kita dihadapkan pada pilihan. Mampukah kita menegakkan kembali marwah keindonesiaan sebagaimana generasi 1908, 1928 dan 1945 yang tidak saja mampu merumuskan tantangan kebangsaan tetapi juga meletakkan dasar bagi tegak berdirinya negara kebangsaan yang kuat dan berkarakter? Indonesia sedang memilih.
Ksatrian Sendaren, 31 Desember 2023
*Budayawan



