Budiyono Kampret Ngilo: Menangkap Jiwa yang Meronta

Yan Jangkrik membuka ruang dengan petikan gitar. Lembut dan syahdu. Segera memenuhi rumah seni Kembang Jati yang temaram berhias nyala lilin. Dia lanjutkan dengan repertoar tentang kerusakan zaman. Wahjudi Djaja segera menyambung dengan sajak Kursiku Retak Cermin Bangsaku Koyak.

Budiyono Kampret, pelukis arang ini berloncatan dari satu ke lain kanvas. Ada 10 kanvas dia sediakan untuk momen spontanitas itu. Ia goreskan jiwa-jiwa yang meronta dari tiap kata yang diucap, dari.tiap bunyi yang dilontarkan Denny Dumbo, musisi Sirkus Barock yang piawai mainkan alat musik etnis ini. Tedjo Badut masuk dan merias wajah. Menjelma menjadi Petruk. Liar dia permainkan kursi hingga kesurupan dan terkapar di atasnya. Performan akhirnya ditutup dengan sebuah lagu dari Yan Jangkrik yang nglangut dan tabur bunga di atas kursi yang menjelma menjadi pusara.

Itulah performan yang menandai opening pameran tunggal Budiyono Kampret yang berlangsung 14-25 November 2023 di Kembang Jati Art House. Pameran bertajuk “Ngilo” atau Bercermin ini dibuka secara resmi oleh Ananda O’edan dan dihadiri para pelukis seperti Joseph Wiyono.

Budiyono Kampret telah menekuni lukis arang ini sejak 2010. Beragam karyanya telah menghiasai galeri dan event budaya seperti Upacara Kebo Ketan di Ngawi. Lahir pada 1976 di Ngawi, Budiyono merupakan alumni ISI Yogyakarta. Melanglang buana ke berbagai negara di Eropa, Kampret seolah ingin melanjutkan tradisi seni purba. “Arang kayu talok menjadi pilihan yang terbaik bagi saya karena lembut di tangan dan tingkat kehitaman yang pekat namun mudah menempel ke permukaan medium karya dengan kuat”, katanya.

Apa yang hendak disampaikan Budiyono Kampret dengan pameran tunggalnya? Ia sedang mengajak kita kembali untuk memaknai dan mengevaluasi hidup. Dredah dan segala kekacauan yang terjadi saat ini tak lepas dari laku lampah kita sebelumnya.

Ketika pertama kali menelepon penulis untuk berkolaborasi (30/10/2023) ia berkeinginan membuat terobosan agar pembukaan pameran tidak monoton. Ada teatrikal dan spontanitas pentas untuk kemudian dia respon menjadi lukisan. “Kayaknya kalau seperti itu kok menarik ya, Pakdhe?” Ajakan yang tak memerlukan pemikiran panjang bagi saya untuk selain mendukungnya.

Dan hasilnya memang luar biasa. Kembang Jati Art House seolah penuh lukisan yang mistis, purba, bahkan dalam beberapa lukisan seperti sebuah tragedi. Ada jeritan yang tertahan. Ada luka yang menganga. Ada cinta yang membatu. Ada air mata yang membeku.

Dalam kacamata dosen ISI Yogyakarta Joseph Wiyono, apa yang dilakukan Budiyono Kampret masih termasuk Fine Arts. “Model ini sebetulnya telah ada sejak manusia purba mengenal seni lukis dinding. Ini bagian dari drawing, dan dia cukup konsisten di situ”, katanya.

Setelah pembukaan pameran tunggalnya, Kampret segera pamitan. Dia harus terbang ke Jerman karena istrinya telah menunggu. Semoga dia memperoleh hasil dan peningkatan kualitas hidupnya setelah bercermin di Kembang Jati. “Mugo biso resik lan bagus. Resik saking godo-rencono, resik saking tumindak olo, lan bagus budi pakertine, bagus tindak-tanduke, bagus, bagus…kersaning Gusti Alloh”. Aamiin

Wahjudi Djaja (Penikmat Seni)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co