Oleh : Riyadi Sastro Dihardjo*
Teringat masa kecilku. Hari-hari panas di tengah ngarai bercaping kecil di pematang sawah. Tak pernah kurasakan lelah, bahkan inilah ujud kewajiban seorang anak membantu orang tua bercocok tanam lazimnya para petani di desa. Dengan senang hati tugas mandiri (bukan dari guru) dari orang tua ini aku jalani sesudah pulang dari sekolah kadang bersama adik kadangpula bersama kawan-kawan sebaya yang bertetangga, bahkan waktu kami masih SD kelas rendah. Tak pernah kami bersusah acapkali tugas berdatangan baik dari musim tanam atau musim panen.
Sebenarnya kami senang berteman dengan sekawanan burung pipit yang silih berganti mendatangi kami. Mereka (sekawanan burung emprit – bahkan emprit kaji) lincah-lincah berpesta di ujung – ujung bulir padi kami yang hampir panen. Kami terpaksa mengusir mereka dan membubarkan pesta mereka. Mereka pun beralih ke rimpun-rumpun milik tetangga dan kemudian diusir lagi dari tetanggga ke tetangga lain lagi. Begitu berlangsung pengusiran demi pengusiran .
“Hàayo! Haayo! Haaayo! Pergilah kuhallooo!” Dengan senang hati dan bernyanyi kami usir hama pasi kami. Bersauhatanlah ramai – ramai dengan para tetangga petak sawah.
“Breeerrr…. brerrrr…. breerr ” Turut bergoyang memedi sawah yang sudah kami siapkan.
Hàayo! Haayo! Haaayo! Pergilah kuhallooo – Burung burung kecil itu pun seolah tanggap dan menikmati pengusiran, maka beterbanganlah mereka dengan menari-nari mengikuti lagu kami membawa bahagia dan bangga mengembara. Kami pun tidak kalah bahagia kadang mengganti syair lagunya dengan hasil mencongak sesudah berakhirnya pelajaran di kelas SD kami.
“Selamat siang, Pak Guruuu?!” Murid-murid hormat benar dan lega telah usai pelajaran hari ini.
“Slamat Siang!” Kataku memulai kegiatan pembubaran murid-murid. Menurut hematku tidak mencongak lagi. Seperti dilakukan para guru di kelas atau sekolah lain. Kami tidak lagi mencongak satu persatu untuk para murid sebagaimana dilakukan guru-guru kami tempo dulu. Kami merasa perlu berlonggar waktu sedikit memberi kesempatan kepada para murid berbakti kepada orang tua dan membantu di rmah masing-masing seperti laiknya kami masih bocil dulu.
Kesempatan yang kami berikan kadang tidak berjalan mulus, sebab tidak sedikit orangtua yang tiadak memberi tugas di rumah untuk membantunya. Dengan alasan kasihan, maka anak-anak lebih bebas bermain HP di kamar dan tidak lagi merajut bhakti ke sawah-sawah.
“Ssdst! Syahh! Perrgìi! Ssdst! Syahh! Perrgìi!” Dengan terbata-bata dan terbatuk-batuk di teras rumah perumahan, kami mengisi waktu pensiun kami dengan mengusir sekawanan burung sriti yang hendak tinggal di teras-teras sempit rumah kami. Kami enggan dengan kehadiran mereka (burung-burung sriti) yang membawa sarang, kotoran, bahkan bau tak sedap. Komunitas burung sriti pun hijrah dari satu teras ke teras rumah lainnya.
Dulu memang banyak dipelihara orang atau pedagang, bahkan mudah diselundupi komunitas burung walet. Di samping harga sarang burung sriri yang relatif rendah jika dibandingkan sarang burung lawet, kami enggan berkomoditi hewan yang merusak lingkungan masyarakat kami. Kami ingin hidup nyaman tampa kehadiran mereka yang dapat mengotori tempat tinggal kami.
Purworejo, 3 Juni 2024. 15:24
*Sastrawan Purworejo



