Catatan Pembelajaran Bersama Komunitas Kandang Kebo

Oleh: Wahjudi Djaja*

Program dan kegiatan Komunitas Kandang Kebo makin hari makin diminati. Sebuah komunitas yang benar-benar dibangun di atas fondasi relawan, patembayan, serkileran, dan karenanya organis. Kondisi ini menarik untuk diamati setidaknya dalam tiga catatan.

Ruang Pembelajaran Bersama

Setiap tiga bulan sekali mereka menggelar sarasehan di basecamp Ngalihan dalam beragam tema (prasejarah, klasik, Islam, kolonial). Lebih dari sekedar sarasehan, mereka serius dalam mengemas kegiatan. Serius bukan dalam pengertian zaklijk seperti layaknya sarasehan, tetapi cair mengalir dalam formasi lingkaran reriungan. Keseriusan terutama terlihat dalam upaya mereka untuk menghadirkan narasumber. Ini kunci penting. Daya jelajah para pengurus dan anggota–terutama yang tergabung dalam group facebook–memaksa kita untuk melakukan konfirmasi dan klarifikasi atas beragam tema temuan menyangkut cagar budaya dalam pengertian luas.

Narasumber yang dihadirkan benar-benar expert di bidangnya sehingga kompetensi menjadi ukuran sejauh mana informasi yang diangkat benar-benar berbasis data dan keilmuan. Mulai pakar geologi, antropologi, sejarawan sampai akademisi lintas bidang sengaja dihadirkan. Selain untuk pengayaan, hal itu menjadi media pembelajaran pengurus, anggota maupun peserta. Bahwa ada langkah metodologis yang harus diperhatikan dan dipahami terkait tema meskipun itu menyangkut masa lalu atau benda-benda yang bagi masyarakat umum dipandang tak lebih sebagai sampah atau bekas.

Setahap lebih serius, selepas sarasehan mereka mengajak peserta sarasehan untuk blusukan. Sebuah cara untuk mengidentifikasi dan mengonfirmasi informasi yang diangkat dalam sarasehan sesuai konteks dan kondisi di lapangan. Dua tema terakhir–tentang makam mataraman dan jejak kolonial–jujur saya bisa belajar banyak hal dari kedua kegiatan. Keragaman nisan dan makam di Sleman menjadi khazanah sejarah yang luput diperhatikan, kekokohan bangunan Belanda menanti uluran tangan. Ini saya kira akan menjadi tema serius untuk kami tindak lanjuti sesuai bidang tugas.

Terstruktur Berbasis Kultur

Sepengetahuan saya, Komunitas Kandang Kebo memiliki struktur organisasi yang tidak saja legal tetapi juga operasional. Perbedaan mereka dibanding komunitas yang lain adalah programnya justru berbasis gerakan. Tanpa kenal lelah, satu sama lain sesama pengurus dan anggota memiliki kepedulian yang tinggi dan kesadaran yang hidup terkait jejak peninggalan sejarah arkeologis. Kadang mereka mendatangi suatu objek berdasar informasi, sering mereka sendiri yang bergerilya. Langkah yang kemudian diambil cukup mencengangkan, mereka membersihkan lingkungan, mendata objek yang ditemukan, melacak sumber terkait dan melaporkan kepada pihak yang berwenang terutama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Yogyakarta. Bagi mereka, filosofi yang mendasari berdirinya komunitas–Menapak Jejak Sang Leluhur Nusantara–bukan hanya sekedar tagline atau gagah-gagahan.

Satu sama lain sesama pengurus membangun kohesi sosial yang padu padan. Saling mengisi dan membantu, tanpa harus mengedepankan model perintah dalam pengertian garis komando. Mulai survei lokasi blusukan, berbagi tugas saat sarasehan, mengondisikan area dan jalan yang akan dilalui peserta blusukan, serta mendokumentasi seluruh kegiatan yang digelar menggunakan peralatan yang dimiliki. Asyiknya, mereka saling bercanda penuh kehangatan di dunia maya setelah berbasah keringat di lapangan. Bagi saya hal itu mengindikasikan adanya–jika bukan tingginya–kesadaran para pengurus tentang pentingnya dokumen saat mengangkat sejarah.

Ahli Tak Harus tentang Akademisi

Pengurus Komunitas Kandang Kebo ini banyak berasal dari beragam latar belakang. Mereka memiliki hobi–dan karenanya kepedulian yang tinggi–tentang jejak leluhur, siapapun mereka dan dimanapun mereka berada. Keinginan untuk bisa mengetahui, mengerti dan memahami setiap jejak, situs atau peninggalan, ditambah perpustakaan yang disediakan di basecamp, mendorong mereka menjadi pembelajar bahkan–dalam beberapa hal ahli–di bidang kepurbakalaan.

Tak sedikit dari mereka yang tak mengenyam pendidikan formal kepurbakalaan, tetapi peran dan keberadaan mereka sangat membantu institusi terkait. Entah praktisi nisan, makam, percandian, prasasti dan beragam jenis jejak peninggalan arkeologis. Bisa jadi masing-masing dari mereka belajar secara mandiri, tetapi dengan bergabung dalam Komunitas Kandang Kebo, daya jelajahnya semakin bertenaga, dihargai dan–karenanya–dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Dalam ketiga catatan, apresiasi tulus jujur harus kita berikan kepada Komunitas Kandang Kebo. Jauh dari kesan egoisme kelompok, mata proyekan, atau partisan, mereka hadir memberi manfaat bagi ilmu, budaya dan masyarakat. Selamat atas tugas peradaban yang diemban dan diaktualisasikan dengan penuh kesungguhan. Semoga berkah sepanjang langkah. Aamiin

Ksatrian Sendaren, 3 Juni 2024
Budayawan Sleman, Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama)

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co