Coruptio Optimi Pessima

*Oleh: Wahjudi Djaja

Banyak kenangan yang saya alami bersama mendiang GM Sudarta. Dalam membahasakan realita menjadi karya seni, tak banyak yang bisa menyamai sosok kelahiran Klaten ini. Tajam, kena, menggelitik. Melalui Oom Pasikom, Kangmas GM–demikian saya sapa beliau–hadir rutin di Harian Kompas. Kebetulan saya yang juga lahir di Klaten beliau percaya untuk memimpin Komunitas Oom Pasikom. Selain ajang komunikasi, forum ini juga didedikasikan untuk bertukar apresiasi dan proses kreatif.

Suatu kali pernah diajak Kangmas GM ke Jakarta naik mobil dari Klaten untuk menghadiri pameran lukis di Bentara Budaya dan mengikuti pameran keramik karya Prof Chitaru Kawasaki ”Knot, Connection and String Playing” di Galeri Nasional 2012. Kawasaki hampir 30 tahun mendedikasikan hidupnya di daerah saya di Bayat bersama para perajin keramik dan gerabah. Saya pernah diajak ke ISI Yogyakarta untuk membuka pameran Think Talk Thanks: Visual Art Exhibition di Galeri Katamsi pada 17 September 2012. Selain bertemu kawan-kawan beliau di Sanggar Bambu dan Prof Madoka Fukuoka dari Jepang, saya ditunjukkan dan diceritakan seni instalasi karya beliau yang luar biasa visioner.

Sebuah kursi kebesaran dengan hamparan karpet merah tetapi dipenuhi oleh tikus. Karpet itu digelar memanjang sejak pintu masuk galeri sampai ujung ruangan dimana posisi karya seni instalasi Kangmas GM tepat berada di tengah. Segera setelah melihat tata ruang pameran, kita seperti sedang marak sowan ngabyantara, audiensi ke penguasa. Ada aroma kewibawaan tetapi sekejap berubah menjadi jijik melihat puluhan tikus yang memenuhi kursi dan karpet merah. Kangmas GM memberi nama karyanya itu “Coruptio Optimi Pessima“. Kurang lebih artinya, korupsi terbesar yang berada di paling atas.

Sebuah karya yang–dalam tafsir sederhana saya–sangat kena, lintas zaman dan selalu aktual. Korupsi–berakar kata Latin corrumpere, corruptio atau corruptus artinya merusak atau menghancurkan–menjadi sejarah kelam bagi negeri ini. Dalam literasi Arab disebut Risywah (suap). Lembaran sejarah kita penuh dengan kosa kata korupsi.

Hancurnya VOC pada 1799 konon karena praktik korupsi para pejabatnya yang kongkalingkong dengan para bangawan dan penguasa lokal. Kerajaan-kerajaan di Nusantara pun tak luput dari tradisi–maaf menggunakan kata ini–upeti, pasok sampai beragam jenis pungutan. Pesan Bung Hatta–sosok berintegritas yang kebal dari beragam korupsi–sangat jelas, “Jangan biarkan korupsi menjadi bagian dari budaya Indonesia” pada 1961 silam, nampaknya sulit untuk dielakkan. Potensi raksasa yang dimiliki bangsa ini tidak saja gagal menyejahterakan rakyatnya, tetapi justru menjadi sumber malapetaka akibat praktik korupsi.

Dalam buku Selamatkan Indonesia, Amien Rais membagi korupsi dalam tiga katagori. Ketiganya adalah Petty Corruption (misal sogok, pelicin, upeti), Grand Corruption (misal pencurian uang negara oleh birokrat) dan State Capture Corruption (misal negara digadaikan pada korporasi asing). Runtuhnya kekuasaan Orde Baru antara lain karena praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang–waktu itu dipandang–akut.

Adalah ironis jika pasca reformasi, pemerintahan yang dibentuk–dengan pengorbanan rakyat banyak–itu semakin hari cenderung mengulangi kesalahan yang sama. Korupsi bergerak ke bawah seiring dengan otonomi. Ini yang cukup mencengangkan! Berdasar laman ICW, periode 2004 sampai Januari 2022 ada 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota yang ditindak KPK. Data Kejaksaan dan Kepolisian mencatat antara 2010 – 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Data Transparency International Indonesia menyebut Corruption Perception Index tahun 2022, Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Abaikan data, dan lihat bagaimana realita kehidupan rakyat. Harga kebutuhan pokok melambung, peluang kerja menyempit, biaya pendidikan mahal, kesenjangam sosial ekonomi makin menganga, alam rusak karena eksploitasi. Lalu, kita masih melihat negeri ini masih baik-baik saja?

Dalam masyarakat paternalistik, bisa dipahami jika praktik korupsi bersumber dari jantung kekuasaan. Jika pusat kekuasaan menerapkan budaya transparan, kinerja yang terukur dan memiliki akuntabilitas yang tinggi, ke bawah akan menjadi model pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun jika sebaliknya, maka kehancuran bangsa sebenarnya tinggal menunggu waktu. VOC sudah membuktikan, era Soeharto pun demikian. Aneh bin ajaib jika praktik kotor itu makin terang benderang dilakukan.

Yang menyesakkan dada adalah pelaku korupsi sering justru dianak emaskan oleh penguasa. Jika berasal dari kelompok atau partai penguasa, jangan harap mereka bisa ditangkap dan dipenjara. Kalaupun tertangkap KPK–lembaga yang kian hari kehilangan marwahnya karena politicking ini–para koruptor pun masih bisa tertawa bebas lepas. Memakai baju orange nampaknya bukan berarti apa-apa. Etika dan moralitas hanyalah soal wacana bagi mereka yang belum berkuasa. Bisa jadi demikian bawah sadar mereka berkata.

Maka menarik dan tepat sekali seni instalasi karya Kangmas GM di atas. Orang sering mengutip ungkapan, ikan busuk dari kepala atau power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. Jika diformulasikan ke dalam kursi–kekuasaan–dengan karpet merah dan puluhan tikus nampaknya juga tidak terlalu salah. Yang menjadi pertanyaan, jika hampir semua lembaga negara yang berkompeten untuk mengurusi korupsi sudah dikooptasi, lumpuh dan tak memiliki taring, kemana lagi dewi keadilan akan diminta kehadirannya?

Di tengah badai korupsi yang menggurita itu kita mempersiapkan Pemilu 2024 dan memilih calon pemimpin bangsa. Sedari awal korupsi coba dimainkan untuk menghadang laju calon, baik versi pemerintah maupun LSM dan rakyat. Sesekali di media sosial kita disibukkan dengan beragam berita lama sekedar mengingatkan potensi korupsi yang mungkin pernah dilakukan oleh salah satu pasangan. Yakin Pemilu 2024 akan berlangsung Luber dan Jurdil? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

Selamat Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2023. Kejujuran adalah modal utama terbentuknya integritas individu, kolektif dan kelembagaan. Menghadapi korupsi, dengan demikian, tak bisa hanya sporadis dan sektoral tetapi total dan menyeluruh tanpa pandang bulu. Nampaknya kita hanya bisa menunggu datangnya Ratu Adil.

Ksatrian Sendaren, 9 Desember 2023
*Penulis buku Korupsi Bukan Rezeki, Bro dan Peraih Anugerah Kebudayaan Sleman 2023

0

Share

By About

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mabur.co

© 2025 Mabur.co